Saksikanlah Artis-artis Kita...!
Satu hal yang dulu harus dilakukan band atau penyanyi yang akan tampil pada konser di sebuah kota adalah ”rolling show”, pawai dengan mobil untuk promosi. Diarak dan dadah-dadah ke fans.
Superstar rock pada masa silam dielu-elukan sampai dikejar penggemarnya. Kontradiktifnya, senyum tersungging sang superstar disertai lambaian tangan tak melulu merefleksikan sikap narsistik mereka. Sebagian dari mereka justru tersipu-sipu saat diarak bak maneken.
Vokalis Powerslaves, Heydi Ibrahim, mengenang saat grupnya tengah menikmati hari-hari yang dipadati tur. Jadwal itu sudah rutin. ”Kira-kira 10-15 tahun lalu ngalamin itu terus. Siangnya pawai keliling kota. Malamnya konser,” katanya, Kamis (19/8/2021).
Heydi dan rekan-rekan diangkut jip terbuka. Panitia dengan pengeras suara berkoar-koar memaklumatkan pertunjukan seheboh mungkin. ”’Saksikanlah Powerslaves!’, begitu teriakannya. Sering diikuti bocah-bocah yang naik sepeda atau lari sambil menjerit,” katanya sambil tersenyum.
Warga sontak menyambut idolanya di pinggir jalan. Di hadapan mereka, terlihat bintang rock sedang dadah-dadah seraya tersenyum. Kontras dengan penampakan yang penuh percaya diri, Heydi malah merasa sebaliknya. ”Kalau mau jujur, malu. Tapi, kita kan harus mendukung sponsor. Memang, itu bagian dari penampilan,” ujarnya.
Demikian rutinitas penyanyi ternama era 1970-an hingga 1990-an sebelum konser. Pada siang yang terik hingga sore, mereka menyapa fansnya. ”Salaman juga dengan mereka. Yang jelas, kita mesti senyum. Sampai gigi garing, deh, kena angin,” ujar Heydi.
Selain kegiatan arak-arakan sebelum konser yang disebut ”rolling show”, para musisi juga mesti wira-wiri ke sejumlah stasiun radio untuk diwawancara. Baliho didirikan, spanduk dipasang, dan selebaran dibagikan. Maklum saja, media sosial belum ada. ”Sekarang, promosi dari rumah juga bisa. Arak-arakan juga sudah enggak ada,” ujarnya.
Masuk angin
Pengalaman serupa ditempuh Atiek CB. Biduanita rock itu juga biasa dibawa keliling kota dengan truk sebelum tampil pada malamnya. ”Lucu sekaligus pathetic (mengenaskan) dan humiliation (memalukan). Kayak boneka dipajang-pajang,” ujarnya sembari tergelak.
Kadang-kadang Atiek sampai masuk angin gara-gara terus berdiri di bak terbuka. Ia kerap pula heran, mengapa dirinya mau melakukan itu. ”Saya mikir, what am I doing here (saya ngapain di sini), tapi luar biasa. Itu momen historis buat saya,” ucapnya sembari terbahak.
Perjalanan itu bisa berlangsung tiga jam hingga maghrib. Atiek tetap menganggap kejadian itu lucu sekaligus sebagai apresiasi kepada pengagumnya. ”Hebatnya, fans waktu itu kok tulus sekali, ya. Saya pernah dikejar-kejar sampai bandara,” katanya.
Ia begitu takjub dan terharu. Penggemar bersahaja itu memacu sepeda motornya hanya untuk memberikan Atiek keripik pisang untuk oleh-oleh. ”Susah dilupakan. Siapalah saya ini. Saya pun bersyukur. Masa ketika bekerja masih fun (menyenangkan),” katanya.
Sementara bagi Achmad Albar, menjadi simbol God Bless adalah berkah walau kadang menyulitkan. Ia wajib ada saat promosi, termasuk pawai keliling kota menjelang pentas. Mereka diarak, kadang sudah pakai kostum panggung lengkap: baju ketat meling-meling dan sepatu hak tinggi.
”Biasanya siang sebelum manggung. Paling sumpek disuruh gitu, he-he-he. Tapi perlu dan wajib karena permintaan promotor. Promotor kadang ngumpulin anak motor dan komunitas mobil tua untuk muter-muter,” kata Albar.
Promosi ini umumnya terjadi di kabupaten. Bahkan, di kota-kota di wilayah timur Indonesia, mereka masih berpawai, tiga tahun lalu. ”Kalau anggota lain, bisa tuh izin enggak ikut dengan alasan masuk angin,” kata Albar yang terkekeh-kekeh.
Mereka diarak, kadang sudah pakai kostum panggung lengkap: baju ketat meling-meling dan sepatu hak tinggi.
Manajer dan promotor artis Dhani Pette menjelaskan soal tradisi band sebelum konser dengan rolling show pada era 1980-an. Artis diarak dengan jip dan dipromosikan memakai pelantang. ”Biasanya sekitar jam tiga. Malamnya, main jam tujuhan. Itu masih diterapkan sampai tahun 1995. Setelah itu, band enggak mau karena capek, malu, dan kepanasan,” ucap promotor tersebut.
Selain rolling show, mereka juga wajib road show ke radio yang efektif menjangkau audiens sekaligus menjalin hubungan dengan media. Jika didukung sponsor, band juga mesti datang ke tempat usaha si sponsor. ”Misal, sponsornya restoran cepat saji. Kami datang ke sana dan makan. Nanti, orang kan lihat,” ujarnya.
Sering kali, lanjut Dhani, musisi disuruh menghadap gubernur, bupati, atau petinggi bidang keamanan ke rumahnya sambil makan siang atau malam. ”Yang bikin males, nanti anak dan keluarganya ngajak foto. Enggak adil banget buat fans lain yang mesti rebutan untuk dapat foto dengan artis. Martabat kita jatuh banget,” ujar Dhani.
Promotor konser Log Zhelebour yang eksis tahun 1980-an hingga 2000-an menambahkan, ada alasan lain selain promosi di balik rolling show. ”Itu untuk menunjukkan ke publik bahwa artis yang mau konser sudah datang. Soalnya dulu suka ada tipu-tipu. Jual tiket, tapi artis enggak datang. Tujuan kedua, ya, menaikkan penjualan tiket,” katanya.
Dapatkan tiket dan saksikan: Konser Virtual God Bless 48th Anniversary
Seiring waktu, lanjut Log, rolling show sudah jarang dilakukan di kota-kota besar di Jawa pada akhir 1990-an. Namun, di kota-kota kecil di luar Jawa, rolling show masih terus dilakukan. ”Waktu menangani Jamrud, saya selalu pakai rolling show sampai tahun 2012, terutama di luar Jawa. Penonton senang,” ucap Log.
Meski era 1980-an dan 1990-an industri rock sedang gahar-gaharnya, nyatanya sarana penunjangnya memang masih serba minim. Padahal, rock sudah eksis mulai di pasar malam, festival, hingga konser sejak paruh kedua era 1970-an.
Log mengatakan, pada era 1980-an sampai 1990-an, sponsor, sarana promosi, rental panggung, pencahayaan, dan penyelenggara acara (EO) hanya tersedia di kota besar, seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Malang. Akan tetapi, karena sarana terbatas, penyelenggara konser jadi kreatif.
”Kalau konser, ya, bikin poster atau baliho sendiri. Gambarnya dibuat pelukis. Baliho dari kain supaya bisa dilipat dan mudah dibawa ke kota lain. Kalau baliho sudah terpasang, baru sponsor mau keluar duit,” kata Log yang dulu dijuluki raja konser rock Indonesia.
Yang paling menyebalkan, tambah Log, terkait soal perizinan. ”Dulu ngurus izin konser atau festival harus melalui 20 meja, mulai kelurahan, kecamatan, koramil, kodim, korem, polres, polda, dinas kebudayaan, sospol, kesbang, pajak, perekonomian. Pokoknya banyak banget. Satu aja (izin) enggak keluar, konser bisa batal. Sekarang enggak kayak gitu,” tuturnya.
Selera pasar
Di luar konser, para musisi juga mesti menghadapi berbagai kendala, mulai teknologi sampai soal ”penguasa” industri musik. Heydi, vokalis Powerslaves, menceritakan, untuk rekaman lagu, ia mesti begadang di studio. Berkutat hingga tujuh jam sehari untuk bernyanyi. ”Katakanlah dijeda. Total, satu sampai dua bulan baru kelar. Sekarang, dua atau tiga lagu selesai sehari. Refrein tinggal copy paste (kopi dan salin),” ucapnya.
Rekaman kelar, lanjut Heydi, tak jarang Powerslaves mesti berdebat dengan manajemen label lantaran lagu yang mereka sukai dinilai tidak sesuai ”selera pasar”. ”Pernah, kami suka banget lagu ’Find Our Love Again’. Diminta, liriknya diubah jadi Indonesia. Enggak mungkin. Akhirnya, lagu jagoannya jadi ’Impian’,” ucapnya.
Untuk bisa rekaman pun tidak mudah. Musisi mesti mengetuk pintu label satu per satu untuk menawarkan lagu. Kalau beruntung dan lagunya dianggap ”sesuai selera pasar”, mereka bisa rekaman.
Satriyo Yudi Wahono, alias Piyu, gitaris Padi, bercerita, agar dapat kesempatan rekaman, ia sempat bertingkah sok kenal sok dekat dengan Jan Djuhana, produser Sony Music Indonesia. Itu ia lakukan ketika pertama kali jumpa Jan di pentas Dewa 19. Piyu saat itu teknisi gitar Dewa 19. Acara itu dihadiri eksekutif label. ”Saya menghafal satu per satu muka eksekutif itu,” kata Piyu.
Dari pertemuan itu, demo beberapa lagu Padi, termasuk ”Sobat”, sampai juga ke tangan Jan. Sang produser terpikat dengan musik, lirik, dan karakter vokal Fadly. ”Sobat” akhirnya masuk album Indie Ten keluaran tahun 1998.
”Saya menggalang kekuatan supaya ’Sobat’ sering diputar di radio. Keponakan-keponakan saya kerahkan untuk request terus-menerus dengan nama beda,” katanya. Piyu juga membuat selebaran tentang ”Sobat” di pentas seni. Kadang, ia mengenakan helm karena malu jika ada yang mengenalinya.
Personel band God Bless pun pernah menghadapi kesulitan di awal kariernya, seperti diungkapkan dalam jumpa pers Konser God Bless 48th Anniversary: Mulai Hari Ini yang digelar secara daring, Jumat (20/8/2021), dan dihadiri Achmad Albar, Donny Fattah, dan Ian Antono.
God Bless yang dibentuk pada 1973 awalnya tidak punya peralatan musik lengkap. Mereka biasanya kumpul-kumpul saja berlima. Bikin lagu pun belum tahu dan masih mengaransemen lagu-lagu Barat.
Baca juga: God Bless, Rumah Terberkati bagi Para Raksasa
”Terus, sering dimusuhi tetangga. Dilempari batu kalau latihan. Dianggap berisik. Gondrong-gondrong, dianggap anak jalanan. Preman-preman tahun itu. Kalau ketemu cewek, diusir bapaknya karena kita dianggap punya masa depan suram,” kenang Donny seraya terbahak.
Pengalaman band-band era 1970-an sampai 1990-an ini mungkin tak dirasakan band-band era sekarang. Jalan yang ditempuh para musisi memang berbeda di setiap era. (BSW/HEI)