Belum lama ini ”ditemukan” kembali artefak relief dari era Orde Lama yang cukup menghebohkan di pusat perbelanjaan Sarinah, Jakarta. Relief Sarinah itu salah satu monumen publik yang dipamerkan Galeri Nasional Indonesia.
Oleh
Nawa Tunggal
·5 menit baca
Belum lama ini ”ditemukan” kembali artefak relief dari masa Orde Lama yang cukup menghebohkan di pusat perbelanjaan Sarinah, Jakarta. Sedikit mencekam ketika muatan artefak itu membangkitkan trauma politik di tahun 1965. Akan tetapi, justru karena itulah Relief Sarinah memberi ruang belajar bagi masa depan.
”Peninggalan ini bagi kita menjadi ruang belajar baru seni rupa. Di situ ada sosialisme yang beda dengan komunisme, ada cita-cita hidup adil dan makmur sesuai tujuan negara. Relief itu memuat 15 figur yang penuh sukacita memanen hasil kerja dan menjalani tugas mereka,” ujar Asikin Hasan, kurator Galeri Nasional Indonesia, Kamis (19/8/2021).
Asikin diserahi tugas oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi untuk meriset Relief Sarinah sejak 2020. Sementara ini artefak tersebut diberi nama Relief Sarinah. Pembuatnya masih anonim atau belum diketahui. Di sinilah kearsipan tentang karya seni rupa kita terlihat kedodoran. Akan tetapi, pembuatannya diperkirakan dikerjakan tahun 1963 di lantai dasar Sarinah.
Di situ ada sosialisme yang beda dengan komunisme, ada cita-cita hidup adil dan makmur sesuai tujuan negara. Relief itu memuat 15 figur yang penuh sukacita memanen hasil kerja dan menjalani tugas mereka. Asikin Hasan
Pusat perbelanjaan modern pertama di Indonesia itu diresmikan Presiden Soekarno pada 17 Agustus 1966, seperti disebutkan dalam siaran pers Galeri Nasional. Akan tetapi, laman Sarinah.co.id menyebutkan, peresmiannya pada 15 Agustus 1966.
Relief Sarinah memuat tubuh-tubuh kekar laki-laki yang sebagian besar bercaping dan para perempuan dengan baju kebaya yang terlihat ramping. Mereka sebagai figur petani, nelayan, dan kuli. Para perempuan yang berkebaya sebagian tampak menyunggi tampah atau membopong wadah hasil bumi untuk dagangan mereka. Sosok-sosok itu dibentuk gigantik, gagah, dan elok. Ini sebagai citra ideal wong cilik atau masyarakat kecil yang ditampilkan tengah bekerja penuh percaya diri.
Pekerja
Ini mengingatkan mantra Soekarno tentang prinsip ekonomi yang berdikari, berdiri di atas kaki sendiri. Pembuat relief masih dalam proses penelitian lebih lanjut. Dugaan awalnya adalah para perupa dari Sanggar Pelukis Rakyat yang dipimpin oleh Harijadi Sumadidjaja dan Saptoto, berdasarkan pengakuan yang pernah dinyatakan pematung Edhi Sunarso.
”Edhi Sunarso juga membuat patung di bagian lain di Sarinah, di lantai 14. Akan tetapi, karyanya sudah musnah karena kebakaran pernah terjadi dua kali di Sarinah,” ujar Asikin, dosen Seni Rupa di Institut Teknologi Bandung (ITB). Relief Sarinah membentangkan sukacita para pekerja di dinding yang memanjang sampai 12 meter dengan tinggi 3 meter. Bahan yang dipergunakan berupa batu dan cor semen.
Saat ini Sarinah masih dalam proses renovasi. Relief Sarinah dirancang agar begitu mudah terlihat bagi pengunjung yang datang. Asikin belum menjumpai kelompok tertentu atau keluarga seniman pematung yang menyampaikan klaim sebagai pembuat karya tersebut. Gedung Sarinah merupakan bagian dari proyek mercusuar Presiden Soekarno bersama Monumen Nasional (Monas), Hotel Indonesia, Stadion Gelora Bung Karno (GBK), dan patung-patung publik lain di Jakarta.
Saat ini potret Relief Sarinah menjadi salah satu karya patung monumen atau patung publik yang dipamerkan Galeri Nasional secara virtual di laman Galnasonline.id sejak 12 Agustus 2021. Pameran itu bertajuk Poros, menampilkan foto dari berbagai sudut pandang dan video untuk 16 patung publik, 3 miniatur patung publik, 4 relief, 1 mural, dan 1 lukisan. Sebagian besar karya-karya itu dibuat sebelum 1965.
”Relief Sarinah memberi ruang belajar kita untuk melihat pemikiran sosialisme yang dimiliki bangsa-bangsa terjajah pada waktu itu. Seperti di Eropa utara, sosialisme bisa terus berkembang dan memberi kesejahteraan bagi masyarakatnya sampai sekarang,” kata Asikin, yang prihatin atas adanya tumpang tindih pengetahuan sosialisme dengan komunisme yang dilarang.
Pameran Poros bisa untuk berkaca tentang kemunduran relasional antara penguasa pemerintahan dan para seniman saat ini. ”Saya ingin terus menyatakan, tumbuhnya Republik Indonesia sejak 1945 memiliki pertautan erat dengan pertumbuhan seni rupa kita. Dalam hal ini, terkait pula patung monumen atau patung publik yang kita miliki sekarang,” kata Suwarno Wisetrotomo, dosen Seni Rupa di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, yang juga kurator pameran Poros.
Tumbuhnya Republik Indonesia sejak 1945 memiliki pertautan erat dengan pertumbuhan seni rupa kita. Dalam hal ini, terkait pula patung monumen atau patung publik yang kita miliki sekarang. -- Suwarno Wisetrotomo
Pada masa dulu, Suwarno melihat peran seniman dalam konteks kebangsaan. Ada karakter karya yang dikaguminya. Karya-karya itu menawarkan imajinasi bebas, menjadi karya yang memerdekakan penikmatnya sepanjang masa. ”Ketika kita tarik mundur ke peradaban sebelumnya, candi-candi juga sebagai monumen publik yang menjadi bagian dari proses kebangsaan penuh dengan imajinasi,” kata Suwarno.
Karya seni rupa dalam berbagai bentuk dan lini masanya di Indonesia memberi sumbangan penting di tengah persaingan pariwisata global. Peradaban Hindu dan Buddha memberi warisan candi-candi nan elok. Masa kepemimpinan Presiden Soekarno mampu melahirkan karya-karya seni rupa modern yang mencengangkan dunia.
Masa Soekarno ternyata sudah diwarnai kiprah perempuan seniman. Kurator Galeri Nasional Indonesia, Bayu Genia, menunjukkan patung monumen ”Banteng Ketaton” yang dibuat di Madiun, Jawa Timur, pada 1947 oleh perempuan pematung pertama setelah kemerdekaan RI, yaitu Trijoto Abdullah.
Trijoto ini adik perempuan dari pelukis Basoeki Abdullah. Patung seekor banteng yang sedang marah dibuat Trijoto dengan dimensi 90 sentimeter (cm) x 290 cm x 160 cm di atas balok pedestal berukuran 255 cm x 480 cm x 175 cm. Saat ini patung tersebut dapat dinikmati di Kompleks Gedung Olahraga (GOR) Wilis di Kota Madiun.
Pameran Poros menampilkan karya lain, seperti maket patung berjudul ”Monumen Tonggak Samudra”. Patung ini dibuat Gregorius Sidharta Soegijo pada 1990. Monumen itu ditempatkan di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Bentuk dasarnya berupa jangkar dengan ketinggian menjulang hingga 17 meter. Ini sebagai simbolisasi kehidupan maritim di pelabuhan itu.
Dokumentasi mural juga dipamerkan berupa karya Harijadi Sumadidjaja berjudul ”Kehidupan di Batavia” (1974). Mural itu mencakup luas bidang 200 meter persegi di Museum Sejarah Jakarta.