Festival Flores Pulau Bernyanyi Hadiah Ulang Tahun Ke-76 Indonesia
Konser daring musik Flores menjadi hadiah untuk Ulang Tahun Ke-76 Indonesia.
Lantunan lagu-lagu merdu mendayu berisi beragam kisah tentang kekayaan dan keindahan alam, semangat serta cinta Tanah Air, kesenian, dan budaya tradisional silih berganti terdengar secara daring.
Sedikitnya ada 100 musisi tradisional dan kontemporer asal Nusa Tenggara Timur, terutama Flores, yang dilibatkan dalam Festival Flores Pulau Bernyanyi. Festival daring ini digagas Ivan Nestorman (54) bekerja sama Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
Festival yang tayang perdana di akun media sosial Kemenparekraf itu dibuka langsung Menteri Sandiaga Uno. Festival daring berdurasi 1,5 jam itu sekaligus menjadi hadiah untuk memperingati Hari Jadi Ke-76 RI, Selasa (17/8/2021).
Para musisi, penari, penyanyi, dan pemain alat musik tradisional bergantian mempersembahkan karya mereka. Kebanyakan lagu rakyat dan kontemporer dalam bahasa daerah Flores, yang juga diselingi sambutan-sambutan dari setidaknya delapan kepala daerah.
Tak lupa pula beberapa diaspora warga negara Indonesia keturunan Flores di luar negeri, yang juga ikut tampil mendendangkan lagu.
Selain lagu tradisional, yang dibawakan dengan menggunakan alat musik tradisional, beberapa lagu lain juga dimainkan dengan gubahan aransemen menarik serta genre musik berbeda dan lebih modern.
Dimulai dengan lagu berirama riang ”Flores the Singing Island” ciptaan sang penggagas acara, festival virtual dimulai. Selain sebagai penyanyi Ivan sendiri juga dikenal sebagai pencipta lagu dan musisi Neotradisi asal NTT.
Pada tahun 2020, Ivan meraih penghargaan Anugerah Musik Indonesia (AMI) untuk kategori Karya Produksi Terbaik Lagu Daerah. Saat itu dia berhasil mengalahkan dua pesaing utamanya, mendiang musisi Didi Kempot dan Judika.
Para musisi dan penyanyi pengisi acara juga membawakan lagu tradisional, baik yang dinyanyikan dalam bentuk irama aslinya maupun yang sudah diaransemen ulang.
Contohnya lagu ”Benggong” yang dinyanyikan secara berduet oleh Ketrin Peto dan Herto B Abul, yang terdengar sangat kental bernuansa pop modern.
Selain itu, juga ada kelompok vokal akapela Jamaica Café yang tak mau ketinggalan. Mereka membawakan dua lagu ”Gemu Famire” dan ”Mogi Dheo Keze Walo” alias ”Mogiye” ciptaan Ivan Nestorman sendiri.
Lagu pertama, menurut salah satu personel Jamaica Cafe, Michael ”Biyik” da Lopez, biasa mereka bawakan di mancanegara dan sangat disukai terutama masyarakat di Jepang.
”Tahun 2015 kami manggung di lima kota dan enam panggung di Jepang. Setiap kali lagu itu kami nyanyikan sambutan dan antusiasme penonton luar biasa. Mereka ikut menari dan menyanyi sekaligus menggoyangkan badan mereka,” ujar Lopez.
Semakin lama mendengarka tayangan konser virtual ini tak terasa orang semakin dibawa terpesona. Ada semakin banyak penyanyi dan musisi berbakat asal Flores yang kehebatannya berani diadu dengan para musis lain termasuk asal ibu kota.
Kreasi serta kemampuan bermusik mereka patut dibanggakan, apalagi setelah mendengar ada banyak gubahan aransemen, yang juga dimunculkan di festival kali ini. Semua lagu yang ditampilkan enak terdengar.
Salah satunya ”Doan Doan Kae”, yang oleh masyarakat Flores lebih dikenal sebagai lagu pengantar tidur untuk anak-anak dan kerap dinyanyikan seorang mama atau nenek.
Tak hanya iramanya yang menarik, isi syairnya pun punya makna mendalam, berkisah tentang rasa patah hati seorang perantau, yang dipaksa keadaan harus pergi keluar dari tanah kelahirannya. Lagu ini sendiri memang identik dengan rasa rindu mendalam akan kampung halaman dan keluarga di tanah kelahiran.
Lagu tersebut kali ini dibawakan dengan sangat indah dan mengena oleh trio penyanyi, yang menamakan diri mereka Perola Negra alias Mutiara Hitam. Ketiganya berada di lokasi terpisah, Debora Jemadu dari Jakarta, Gabriela Fernandez dari Yogyakarta, dan Annisa Bu di Labuan Bajo.
Selain pendekatan pop, jazz, dan akapela, salah satu penampil juga menyajikan lagu mereka berjenre rock, seperti dimainkan band Ring Roots. Mereka membawakan lagu bertema Kabupaten Manggarai Timur.
Selain band dan musisi kekinian, sejumlah sanggar tradisional seperti Sanggar Taroka dari Kabupaten Ngada, Theater Mata Community dari Kabupaten Ende, serta beberapa lagi juga ikut berkontribusi menyumbangkan lagu dan permainan musik mereka.
Dampak pandemi
Lebih lanjut dalam jumpa pers, Minggu (15/8/2021), Ivan juga menyebut kalau rencana awal acara festival besar ini digelar secara luring dengan melibatkan 10.000 penyanyi. Mereka bakal beraksi simultan di setiap kabupaten yang dilibatkan.
Sayangnya, pandemi mengubah rencana awal tadi sehingga pilihan pergelaran virtual menjadi alternatif. Total 100 pemusik, mulai dari yang tinggal di Flores hingga para diaspora dilibatkan.
”Flores menyimpan banyak irama khas. Ritme itu seperti dolo-dolo, bladu bladat, gawi, jai, mbata, dan ndundundake,” paparnya dalam jumpa pers.
Musisi kelahiran Flores itu juga mengemukakan harmonisasi, yang banyak menggunakan paralel tert dan penyajian polifoni. ”Itu onomatope instrumen musik dalam warna-warna lagu dengan penyajikan call and respond,” tambahnya.
Lebih lanjut, menurut Direktur Utama BPOLBF Shana Fatina, keindahan Flores perlu disertai upaya agar budayanya semakin populer tak hanya di Indonesia, tetapi juga dunia. ”Festival itu diharapkan berkembang. Kalau situasi sudah normal tahun depan mudah-mudahan bisa diadakan secara offline (luring),” katanya.
Hiburan tersebut bukan sekadar pementasan, tetapi juga gerakan. Mereka yang turut ambil bagian ingin mengampanyekan musik yang tak terpisahkan dari wisata Flores. ”Mimpi kami membangun eksosistem industri musik yang kuat di Flores,” katanya.
Dikagumi Jaap Kunst
Terkait sejarah musik di Flores, Ivan memaparkan, pada tahun 1930-an bahkan ada seorang etnomusikolog Belanda ternama, Jaap Kunst, singgah untuk merekam aneka musik di pulau itu.
Kunst menurut Ivan, datang dengan harapan tinggi dan kagum menyaksikan musikal, baik alat musik maupun beragam nyanyian yang unik. Saat mengikuti festival di Yugoslavia, Kunst langsung teringat Flores dan menyimak kesamaannya dengan Flores bagian timur.
Baca juga: Kebanggaan Panggung Virtual Kemerdekaan Indonesia
Kesimpulan itu lantas mengemuka dan dikaitkan dengan para pelaut Portugis, yang kebanyakan merekrut kru kapal asal Eropa Timur lantaran mau dibayar lebih murah.
Selanjutnya, terjadi pertemuan budaya cukup intens dalam jangka waktu lama di Flores. Bernyanyi choral pun merupakan suguhan umum di pulau itu. ”Di enclave (daerah kantong) Tanjung Bunga, mereka punya cara bernyanyi dua bagian dengan harmoni rapat,” katanya.