Achmad Albar, Magnet God Bless
Pentas sepanggung dengan Deep Purple pada 1975 di Jakarta menjadi puncak penampilan God Bless sepanjang tahun. Mungkin sampai sekarang ketika God Bless berusia 48 tahun.
Suasana di Indonesia saat Deep Purple manggung di Stadion Utama Gelora Senayan (sekarang Stadion Utama Gelora Bung Karno) di Jakarta pada 4-5 Desember 1975 sebenarnya tengah genting jelang pergolakan politik di Timor Timur (sekarang Timor Leste). Operasi Seroja, yang oleh kalangan internasional disebut sebagai invasi militer Indonesia ke Timor Timur, baru dimulai 7 Desember 1975. Tidak heran jika pengamanan di panggung konser supergrup rock dari Inggris itu pun superketat, lengkap dengan anjing-anjing pelacak di sekitar panggung.
Di tengah situasi seperti itu, konser Deep Purple tetap punya magnitude tersendiri. Apalagi band pembuka yang dipilih ketika itu adalah God Bless, band rock lokal yang sedang naik daun. Tidak heran jika reportase tentang konser Deep Purple dan penampilan God Bless bisa bersaing dengan berita tentang gejolak di Timor Timur.
Saya menulis reportase konser Deep Purple di Kompas terbitan Senin 8 Desember 1975, bersaing keras pemuatannya dengan berita-berita situasi genting di Timor Timur. Namun, toh tulisan dimuat juga dengan dua foto besar.
Tak mau minder dengan supergrup, yang memasuki stadion dengan limusin, Achmad Albar, Ian Antono, Donny Fattah Gagola, Teddy Sujaya, dan Jockie Surjoprajogo juga memasuki lapangan Gelora Senayan berkendara mobil. Trek atletik serta lapangan rumput Gelora ditutup tripleks agar rumput lapangan sepak bola tak rusak. Tepuk tangan penonton di bagian sisi barat di belakang panggung pun menggelora menyambut God Bless.
God Bless membuka konser Deep Purple dengan empat lagu yang semuanya berbahasa Inggris. Mereka, antara lain, menyanyikan ”Keepin’ Time” milik grup Inggris, Trapeze, dan ”She Passed Away” karya God Bless sendiri. Dengan peralatan yang jauh lebih sederhana dari Deep Purple, mereka mendapat aplaus gempita dari puluhan ribu penonton.
Lantaran alasan teknis, God Bless hanya tampil pada hari kedua konser Deep Purple, 5 Desember 1975. Begitu banyaknya peralatan supergrup Deep Purple ditata memenuhi panggung, perlu waktu berjam-jam untuk menatanya. Panggung yang hanya berukuran 15 meter x 30 meter itu praktis penuh dijejali peralatan supergrup Inggris itu. Di kiri dan kanan panggung berjajar kotak pengeras serta peralatan sistem suara yang ditumpuk setinggi 3 meter lebih. Bagian alas dari kotak-kotak elektronik Deep Purple ini dipakai untuk pijakan lampu-lampu spotlight.
Di atas kepala penonton, berjajar lampu berwarna merah, biru, hijau, dan kuning yang jumlahnya lebih kalau cuma seratus buah, disangga tiang-tiang menara. Tepi depan panggung dijajari mesin-mesin dry ice penghasil asap buatan untuk melengkapi aksi panggung.
Jika mau diperbandingkan, peralatan supergrup kita, God Bless, yang di dalam negeri sudah dianggap termodern saat itu, tampak mini dibandingkan jajaran kotak sistem suara si supergrup, yang mirip jajaran menara pencakar langit di panggung. Toh, penampilan God Bless tetap prima. Mereka mengawali pentas Deep Purple dengan ”Keepin’ Time”. God Bless juga mengetengahkan lagu yang selalu mereka bawakan sepanjang pentas mereka pada 1975 di Jakarta, ”She Passed Away”, ciptaan Donny Fattah.
Tidak seperti ”Keepin’ Time” yang menderu cepat, ”She Passed Away”—yang mengisahkan seorang kekasih yang meninggal justru pada hari pertama Musim Semi—lebih melodius, tetapi tetap berat dengan entakan bas Donny Fattah serta ditimpali raungan gitar listrik Ian Antono pada interlude. Gaung kibor Jockie Surjoprajogo sesekali terdistorsi gema di pengeras suara di panggung. Penampilan mereka memuaskan dan mendapat aplaus gempita dari puluhan ribu penonton.
Penonton hari pertama berkisar 30.000 orang dan hari kedua 40.000-an orang. Bisa lebih dari itu. Sebab, banyak juga penonton gelap yang menyelinap dari atap stadion atau sisi pintu stadion yang sepi pintu. Ada juga yang sengaja diselinapkan oleh para petugas keamanan.
Dengan dua kali pertunjukan, dari semula perjanjian hanya satu kali, manajemen Deep Purple menuntut tambahan bayaran Rp 30 juta. Jika dipenuhi semua, bayaran supergrup itu bisa mencapai Rp 46 juta. Semula bayaran yang disanggupi oleh cukong adalah Rp 16 juta. Sementara itu, God Bless dibayar Rp 3 juta, lalu Rp 1 juta lagi untuk tambahan peralatan listrik.
Atmosfer musik yang diciptakan pementasan Deep Purple tentu saja mengangkat kesuksesan God Bless yang rutin berlatih di Gadog, kawasan Puncak Pass di Bogor. Selain itu, God Bless banyak belajar dari pentas Deep Purple, terutama soal tata panggung, tata suara, dan tata lampu. Seperti diakui Achmad Albar, Donny Fattah, maupun Ian Antono, mereka juga mendapat kepercayaan diri tinggi di Tanah Air. Terbukti, sukses demi sukses pun dipetik God Bless, baik di dunia rekaman maupun pentas di dalam negeri, pada tahun-tahun setelah mereka sepanggung dengan Deep Purple.
Dapatkan tiket dan saksikan: Konser Virtual God Bless 48th Anniversary
Menaklukkan Bandung
Sebelum sepanggung dengan Deep Purple, pada awal Agustus 1975, God Bless terlebih dulu menjawab tantangan manggung di depan publik Bandung, kota segudang musisi rock, antara lain Giant Step dan Benny Soebardja vokalisnya. Masih ada lagi grup Freedom of Rhapsodia, Famous, Super Kid atau Harry Roesli & His Gang, serta grup ”23761” (Baca: Re-mi-si-la-do) dengan Teater Rock-nya.
Selain itu, Bandung dianggap salah satu barometer berpentas bagi grup-grup musik di Tanah Air saat itu. Grup musik Jakarta pada tahun 1970-an belum dikatakan berhasil jika belum sukses manggung di Bandung yang punya selera musik jauh lebih progresif, bahkan dibandingkan dengan Jakarta.
God Bless, yang sejak dibentuk lebih ngetop di Jakarta, semula dicemooh publik Bandung ketika naik pentas di depan lebih dari 40.000 penonton di lapangan Gasibu pada akhir Juli 1975. Namun, pada akhirnya God Bless disambut aplaus menggelora. Sistem suara God Bless ternyata jauh lebih jreng, lebih nendang, dan bahkan lebih bening dari sistem suara yang dipakai grup-grup rock Bandung di panggung Gasibu.
Ada 11 grup rock yang ditampilkan saat digelar musik rock ”Kemarau ’75” di Bandung pada 31 Juli 1975 itu. Ribuan kepala memadati lapangan Gasibu Bandung pagi itu. Nyaris tidak ada ruang tersisa. Bahkan, penonton pun ada yang bergelantungan di pohon sekitar Gasibu atau menduduki atap-atap rumah di sekitarnya.
Ternyata, selain digoyang irama cepat bak Deep Purple oleh God Bless, publik Gasibu terpikat ketika dialun-buaian lagu yang melodius ciptaan God Bless sendiri, ”She Passed Away” dan ”Huma di Atas Bukit” dari album perdana pada 1975. Kibor Jockie Surjoprajogo dan mini moog synthesizer-nya seperti membius publik di Gasibu dengan musik-musik megah mirip Genesis dan Steve Hackett-nya, atau Yes dan Rick Wakeman-nya.
Achmad Albar
God Bless didirikan sekembalinya Achmad Albar ke Indonesia setelah melanglang Eropa dan Amerika bersama grup rock Clover Leaf asal Belanda. Ia dan rekan segrupnya di Clover Leaf, Ludwid Lemans, ingin membentuk grup band di Indonesia. Maka, mereka mengajak pemain bas Donny Fattah, drumer Fuad Hassan, dan Deddy Dores, pemain instrumen organ.
Awalnya mereka menamai grupnya Crazy Wheels. Namun, pada pentas pertama mereka di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Mei 1973, mereka memakai nama God Bless. Saat itu, Jockie sempat masuk menggantikan Deddy Dores yang balik bermain di grup Freedom of Rhapsodia di Bandung.
Pentas besar yang membuat mereka dikenal luas pada 1973 adalah pesta musik ”Summer 28” di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, yang meniru Woodstock. Awalnya God Bless membawakan lagu-lagu dari grup rock Grand Funk Railroad, juga Deep Purple. ”Enggak dijiplak polos, tetapi dibuat aransemen ringan agar terasa lebih enak di telinga,” ujar Iyek, sapaan Achmad Albar, saat diwawancarai Kompas tahun 1975.
Belakangan God Bless mulai mengenalkan hard rock-nya. Meski begitu, panggung God Bless masih meniru grup Barat seperti Deep Purple, Emerson, Lake & Palmer, dan Genesis, dengan atraksi panggung memakai alat penyembur busa.
Tonggak bersejarah bagi God Bless di dunia rekaman terjadi di bulan Mei 1974. God Bless masuk rekaman bersama PT Pramaqua, tak hanya merekam lagu-lagu Barat, tetapi juga hits rock mereka yang berbahasa Indonesia, di antaranya ”Huma di Atas Bukit”, ”Setan Tertawa”, ”Binal”, ”Sesat”, dan ”She Passed Away” yang tetap klasik enak didengar sampai hari ini. Dari semula tarif main Rp 700.000 sekali naik pentas, bayaran God Bless pun menanjak mencapai hampir Rp 2 juta setelah masuk dapur rekaman.
Pada tahun 1975, justru gelombang musik Barat seperti menggerojok masuk. Dan, God Bless mendobrak dunia rekaman, yang semula didominasi corak musik-musik manis, sendu, sentimentil, baik pop maupun melayu. Achmad Albar dkk mengentak dunia rekaman dengan entakan rock keras, heavy sound, hard rock music. Saat itu, 1975, rock mendapat tempat lumayan bagus jika dibandingkan pada 1973.
Seiring waktu, personel God Bless mengalami bongkar pasang beberapa kali. Achmad Albar dan Donny Fattah tetap konsisten berada di grup setelah gonta-ganti formasi. Formasi termutakhir God Bless kini adalah Ian Antono, Abadi Soesman (kibor and minimoog), Fajar Satritama (drum), Achmad Albar, dan Donny Fattah.
Biarpun sering gonta-ganti personel, semua penggemar God Bless tampaknya akan sepakat bahwa roh grup musik super di Tanah Air ini memang ada pada diri Achmad Albar. Tiada pernah terjadi, God Bless tanpa Achmad Albar. God Bless tanpa Achmad Albar ya bukan God Bless.
Donny Fattah? Dia pendamping setia Achmad Albar, tidak hanya dengan dentuman basnya yang khas, tetapi juga backing vocal tinggi, melengking, khas Donny. Ian Antono juga backing vocal Achmad Albar untuk suara pelapis Donny di nada lebih rendah. Donny tak pernah meninggalkan God Bless di bagian pemetik basnya.
Di penampilan panggung, sorotan mata ribuan penonton juga selalu tertuju pada sosok khas Achmad Albar. Selain tinggi semampai 1,8 meter, daya tarik Achmad Albar, salah satunya, rambut kribonya yang mekar hingga dua jengkal dari kulit kepalanya. Kini, Achmad Albar memang tidak sekribo dulu. Usianya pun sudah 75 tahun, meskipun musiknya tetap berjiwa muda. Tetap hard rock menggebu kencang dari ritme degupan jantung manusia.
Musik kalemnya God Bless sesekali juga memberi ruang dingin pada diri kita.
Jimmy S Harianto, Wartawan Kompas 1975-2012