Prestasi Gemilang Sineas Indonesia di Panggung Internasional
Nama Indonesia kembali harum di ajang perfilman dunia setelah keberhasilan film ”Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas” memenangi penghargaan Golden Leopard di Locarno International Film Festival 2021.
Oleh
WISNU DEWABRATA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Nama Indonesia kembali harum di ajang perfilman dunia setelah keberhasilan sutradara muda, Edwin, memenangi penghargaan Golden Leopard di Locarno International Film Festival 2021. Film bergenre laga komedi romantis berjudul Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas tersebut diangkat dari novel karya Eka Kurniawan.
Saat dihubungi per telepon ketika tengah masih mengikuti masa karantina di salah satu hotel di Jakarta, Edwin, Minggu (15/8/2021), mengaku bangga bisa membawa filmnya ke ajang dunia. Setidaknya dengan keikutsertaannya itu, film garapan Indonesia bisa ditonton dan dikenal oleh lebih banyak penonton di luar negeri.
”Ini film tentang kisah percintaan anak muda yang hidup di lingkungan serba keras dan penuh kekerasan sampai-sampai untuk menyampaikan ekspresi cinta pun harus dengan kekerasan juga,” ujar Edwin.
Walau banyak adegan laga, film itu, menurut Edwin, juga sarat dengan adegan romantis, termasuk soal kisah percintaan yang kandas. Dalam menyampaikan filmnya, Edwin mengambil gaya film-film laga sejenis ala film Hong Kong pada era 1980-an dan 1990-an, di mana aksi laga bisa bercampur dengan drama percintaan dan unsur komedi.
Sejumlah artis muda berbakat Tanah Air juga terlibat, seperti Marthino Lio (berperan sebagai Ajo Kawir), Ladya Cheryl (Iteung), Reza Rahadian (Budi Baik), Ratu Felisha (Jelita), dan Sal Priadi (Tokek). Kisah utama berpusat pada karakter Ajo Kawir, seorang jagoan berkelahi, yang tak takut mati.
Namun, di balik keganasan Ajo teryata juga terdapat rahasia kondisi kesehatan pribadinya yang mengalami disfungsi ereksi alias impoten. Satu waktu Ajo bertemu dan berkelahi dengan seorang petarung perempuan Tangguh, Iteung.
Tak disangka Iteung menghajar Ajo hingga babak belur, tetapi justru membuat Ajo jatuh cinta kepadanya. Ajo berharap bisa hidup bahagia bersama Iteung. Akankah Ajo bisa berdamai dengan dirinya sendiri, semua bisa dijawab dalam filmnya.
”Proses shooting-nya sempat tertunda enam bulan dari yang seharusnya kelar Maret 2020, tetapi terpaksa berhenti karena ada kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB),” ujar Edwin. Namun, terbukti kendala besar tersebut tak lantas menghambat Edwin menghasilkan karya film berkualitas, yang patut diganjar penghargaan internasional seperti sekarang.
Film Edwin, yang dalam bahasa Inggris judulnya menjadi Vengeance is Mine, All Others Pay Cash itu bahkan mengalahkan beberapa film pesaing dari sejumlah negara. Salah satunya film garapan aktor Hollywood, Ethan Hawke, terbaru Zeros and Ones.
Orang Indonesia pertama
Sebagai catatan, Edwin adalah sutradara pertama asal Indonesia yang sukses memenangi penghargaan Golden Leopard ini. Beberapa nama sutradara internasional juga pernah memenangi penghargaan yang sama, seperti Stanley Kubrick, Mike Leigh, Jafar Panahi, dan Jim Jarmusch.
”Penghargaan Golden Leopard ini semacam vaksin, booster, atau vitamin yang diharapkan mampu menguatkan kembali film Indonesia dan segenap jiwa raga pencinta film Indonesia di mana pun mereka berada,” ujar Edwin, seperti dikutip dalam siaran persnya.
Meski demikian, Edwin mengaku tak terlalu terbebani saat filmnya dinominasikan dan dipertandingkan dengan film-film dari negara lain. Kalaupun kemudian filmnya dinyatakan menang dan mendapat hadiah penghargaan, buat dia semua itu adalah bonus.
Pada September mendatang, tambah Edwin, filmnya itu juga akan mengikuti ajang Contemporary World Cinema di Toronto International Film Festival 2021. Festival itu, menurut rencana, akan digelar 9-18 September 2021.
”Sekarang saya berharap film saya ini masih mungkin bisa ditonton masyarakat Indonesia lewat bioskop-bioskop. Tinggal bagaimana pemerintah bisa bekerja lebih keras dan strategis lagi sehingga persoalan (pandemi) ini tidak perlu diperpanjang-panjang lagi seperti kesannya terjadi sekarang. Saya, kok, enggak percaya kalau pemerintah kita selemah dan segagal itu dalam menanggulangi pandemi,” ujarnya.
Saat dihubungi terpisah, sutradara muda Ginatri S Noer berpendapat, sudah selayaknya pemerintah mulai mengapresiasi prestasi di bidang film sama seperti bidang lain, macam olahraga. Apresiasi, menurut dia, tak harus selalu dalam konteks memberi hadiah atau bonus uang.
Pemberian bonus seperti yang dilakukan pemerintah kepada para atlet berprestasi, dinilai Gina belum tentu menjadi jawaban tepat dan dibutuhkan oleh kalangan perfilman Indonesia. Selain itu, metode pemberian bonus juga belum tentu bisa sustain (berkelanjutan) untuk ekosistem perfilman tanah air.
Pembetulan
Paragraf terakhir (paragraf 16) pada berita di atas telah mengalami pembetulan sesuai keberatan dan permintaan dari nara sumber Ginatri S Noer. Kutipan kalimat pada berita sebelumnya berbunyi:
”Bisa juga dengan memberi bantuan, semisal biaya pemberangkatan para filmmakers, yang karyanya ikut bersaing di ajang festival internasional, tapi terancam tak bisa berangkat lantaran enggak punya biaya. Bantuan seperti itu akan berefek jangka panjang hingga satu waktu Indonesia juga bisa diakui sebagai negara yang perfilmannya mampu memengaruhi dunia,” ujar Gina.
Kutipan langsung tersebut tidak tepat dan merupakan hasil kesalahan interpretrasi penulis atas pernyataan narasumber. Kalimat diubah menjadi :
Pemberian bonus seperti yang dilakukan pemerintah kepada para atlet berprestasi, dinilai Gina belum tentu menjadi jawaban tepat dan dibutuhkan oleh kalangan perfilman Indonesia. Selain itu, metode pemberian bonus juga belum tentu bisa sustain (berkelanjutan) untuk ekosistem perfilman tanah air.
Dengan demikian pembetulan telah kami lakukan. Kami mohon maaf kepada narasumber atas kesalahan ini.