”The East” mengisahkan tragedi di Sulawesi Selatan berdasarkan perspektif serdadu muda Belanda, Johan De Vries. Ia terbentur konflik antara mematuhi doktrin militer dan nurani menyaksikan komandannya yang membabi buta.
Oleh
DWI BAYU RADIUS
·5 menit baca
The East yang menceritakan sepak terjang Raymond Westerling memicu kontroversi di Belanda lantaran dianggap membuka luka lama. Apalagi karya yang bercerita tentang kekejaman Westerling itu, dibuat oleh para sineas Belanda sendiri.
Serdadu-serdadu muda kembali ke tanah airnya, Belanda. Mereka baru kembali dari koloninya untuk menumpas pemberontakan. Kawanan itu gembira disambut sayup-sayup genderang menjelang berlabuh. Tak berapa lama, senda gurau dan senyum yang tersungging berangsur sirna.
Bukan gegap gempita drum band yang menyongsong mereka, melainkan makian warga. Botol-botol cat berwarna merah yang merepresentasikan darah berseliweran di udara. Kian dekat, tampaklah perahu-perahu pemrotes yang membentangkan spanduk berisi tuntutan untuk membebaskan Hindia Belanda.
Pasukan yang letih termangu-mangu mendapati serapah masyarakat sebangsanya. Mereka dituding tak berbeda dengan Nazi, sebutan untuk partai penguasa Jerman yang akhirnya identik dengan negara pemicu Perang Dunia II itu. Eropa dibuat porak-poranda, tak terkecuali Belanda.
Adegan awal itu saja sudah menggambarkan bagaimana kedatangan Belanda untuk kembali bercokol di Indonesia menimbulkan kegeraman, bahkan di negerinya sendiri. Kini, The East menyebabkan beberapa kalangan meradang pula lantaran mengoyak luka lama.
Kecaman yang termasuk paling keras dilancarkan Palmyra Westerling. Dilansir dari surat terbukanya, putri Westerling itu mengemukakan kekacauan pada Periode Bersiap atau seusai Jepang menyerah. Ia menuduh banyak kelompok teroris bangkit dan membunuh rakyat dengan kedok nasionalisme.
Palmyra mengacu kepada buku, studi, hingga dokumenter untuk menyatakan orangtuanya sangat sukses memenuhi misi dengan integritas, rasa hormat, dan kesetiaan militer. ”Ayah saya sangat menghormati orang, hewan, dan keluarga. Saya mengimbau untuk tak mendukung film fantasi The East,” ujarnya.
Menteri Pertahanan Belanda Ank Bijleveld melalui Twitter juga menyayangkan The East yang menimbulkan keresahan veteran Hindia Belanda. Lewat cuitannya, ia menjelaskan tentara-tentara itu, yang dikirim atas nama politisi, mempertaruhkan nyawa, dan menjalankan tugas tanpa kekerasan ekstrem.
Pro dan kontra tak ayal mengemuka. Di Belanda, pencinta film yang bisa menyaksikan The East lebih dahulu mengisi ruang-ruang virtual saat pandemi. Diskusi serupa diyakini bakal tersibak di Indonesia dengan kekejian Westerling yang justru diangkat praktisi film Belanda.
”Kemungkinan diskusi dengan mahasiswa kalau kuliah sudah dimulai lagi, bisa banget digelar. Film itu menarik,” ujar Lilis Puspitasari. Dosen Program Studi TV dan Film Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran tersebut berpendapat, The East dengan jujur memaparkan kekejaman Westerling.
”Diskusi akan terjadi di kalangan pemerhati film. Memikat karena karya itu bisa memberikan perspektif-perspektif yang lain,” ucap Lilis. The East tak hanya bisa dibahas dengan bingkai sinematografi, tetapi juga sosial, sejarah, dan politik.
Arief Budiman, pendiri dan pemilik DR Production, menyambut baik masuknya The East ke Indonesia. Film itu diperkirakan memantik pembahasan. ”Pencinta film bertanya-tanya mengenai kesesuaian The East dengan buku sejarah. Film itu juga menjadi bahan untuk memperkaya literasi,” ujarnya.
Pasukan Khusus
Westerling sudah akrab dengan penduduk Indonesia. Sejak pelajaran SD, ia digambarkan sebagai penebar teror. Merunut buku Westerling: Aksi Brutal Sang Jagal karya Tim Historia dan dipublikasikan Penerbit Buku Kompas tahun 2019, sosok itu menilai, pembunuhan menjadi cara terbaik menghadapi republikan.
Depot Speciale Troepen atau (DST) atau Depot Pasukan Khusus yang dipimpin Westerling datang untuk melancarkan pembunuhan massal. Pasifiksi berlangsung empat gelombang mulai Desember 1946 hingga Maret 1947. Versi terbanyak menyebutkan 40.000 korban.
Namun, dalam buku Nationalisme and Revolution in Indonesia yang ditulis George McTurnan Kahin, jumlah itu diperkirakan 11.000 warga sipil dengan 500-1.000 di antaranya menjadi tanggung jawab langsung Westerling. Sementara berdasarkan versinya sendiri, ia membunuh hanya 600 orang.
The East mengisahkan tragedi itu dari kacamata tamtama belia, Johan De Vries (Martijn Lakemeier), yang terbakar patriotisme. Awalnya, semua sesuai idealisme. Mayor Penders (Peter Paul Muller) menerangkan soal kekisruhan di Hindia Belanda.
”Racun Jepang telah masuk dalam pikiran bonekanya, Soekarno. Orang-orang merindukan kembalinya kedamaian dan kemakmuran yang dibawa Belanda,” ucap Penders. Johan dan koleganya yang ditugaskan ke Semarang, Jawa Tengah, juga bersenang-senang.
Mereka minum-minum di pasar malam, menonton penari, dan mendatangi lokalisasi. Lambat laun, kepiluan yang disulut pertempuran nyata adanya. ”Perang begitu menggairahkan bagi mereka yang tak pernah mengalaminya,” ucap intelektual Belanda Desiderius Erasmus yang hidup pada abad ke-16.
Johan berpatroli sampai jemu, dikhianati kekasih, sampai kehilangan sahabatnya. Di sela-sela dinas, ia bersua Westerling (Marwan Kenzari) yang menumbuhkan kekaguman karena kepiawaiannya. Mereka berangsur-angsur karib hingga terpilih menjalankan misi khusus di Sulsel.
Plot selanjutnya menautkan konflik Johan mematuhi doktrin militer dengan nurani menyaksikan polah bosnya yang membabi buta. Di Belanda, ia pun harus menghadapi palagan sendiri dengan memori kelam masa lalu, kehilangan pekerjaan, dan problem keluarga yang mendorongnya berkelana.
Adegan kekerasan
The East diproduksi New Amsterdam Film Company yang berasosiasi dengan Amazon Prime Video. Di Indonesia, sinema tersebut bisa disaksikan lewat Mola mulai 7 Agustus 2021. Film berjudul asli De Oost dengan durasi sekitar dua jam itu perlu diperhatikan kesesuaian umur penontonnya.
The East diwarnai beberapa adegan dewasa. Sutradara Belanda berdarah Maluku, Jim Taihuttu, juga merangkai filmnya dengan kekerasan. Terlepas dari sekuens yang berdarah-darah, ia menyajikan sinematografi apik. Properti film yang diperhatikan dengan detail membawa penonton ke tahun 1946.
Pemandangan alam yang berkabut dan perdesaan ditampilkan dengan indah. Kontras antara huru-hara di Nusantara dan kemajuan di Eropa juga terselaraskan dengan baik. Akting beberapa bintang Indonesia bisa pula dinikmati, seperti Lukman Sardi, Ence Bagus, dan Putri Ayudya.
Dalam buku Westerling: Kudeta yang Gagal yang ditulis Petrik Matanasi terbitan MedPress tahun 2007 dijelaskan, hingga kematiannya pada usia 68 tahun, tokoh itu tak pernah diadili. Ia juga berulah dengan kudeta yang gagal, tetapi berhasil kabur dan tiba di Belanda pada tahun 1950.