Di balik gambar sepeda-sepeda di atas kardus itu tersimpan sebongkah harapan. Harapan tentang seni agar menjadi milik semua orang.
Oleh
Nawa Tunggal
·5 menit baca
Di balik gambar sepeda-sepeda di atas kardus itu tersimpan sebongkah harapan. Harapan tentang seni agar menjadi milik semua orang. Harapan tentang seni agar seperti roda sepeda yang terus menggelindingkan kehidupan penuh martabat, penuh kebebasan dan harga diri yang tidak akan pernah terbeli.
”Saya tinggal di dekat pasar. Begitu mudah mendapatkan limbah kardus dari pasar. Kardus-kardus itulah yang kemudian saya pakai untuk menggambar,” ujar Kana Fuddy Prakoso (47), membuka percakapan tentang pameran tunggalnya di Galeri Seni Rolling Door, Jakarta, Rabu (11/8/2021).
Kardus adalah pemberontakan Kana. Lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta ini risau dengan anggapan berkarya seni menggambar atau melukis harus menggunakan media konvensional yang jauh lebih mahal ketimbang limbah kardus. Untuk menuangkan gagasan, ia memilih tinta hitam yang akrab disebut tinta china dengan harga terjangkau. Kana memilih kardus-kardus rokok yang cukup kuat.
Jika tidak terkena air dan tidak lembab, kardus itu bisa berumur panjang. Karya seni di atas kardus bisa menjadi pajangan rumah setiap orang. Bahkan, siapa pun punya bekal untuk membuat karya seni sendiri dari pengalaman pribadi sejak masa kecil, dari situasi lingkungan terdekat, atau imajinasi yang sebebas mungkin demi keindahan dan harapan kebaikan.
Masa kecil
Kana menggambar sepeda dari pengalaman masa kecilnya. Di dinding ruang pamer yang cukup sempit itu, ia menyusun tiga lapis kardus. Ada sepotong kardus di bagian paling bawah yang bercerita tentang sepeda roda tiga yang pernah didapatnya sebagai kado ulang tahun. Di balik sepeda roda tiga di masa kecilnya, seniman kelahiran Kudus, Jawa Tengah, 9 Desember 1973, itu, bertutur tentang peristiwa tak terlupakan. Seperti bocah lainnya, ketika usia sekitar tiga tahun, Kana pernah mencorat-coret dinding rumah dengan sembunyi-sembunyi.
Sepeda berarti kesederhanaan dan kesederhanaan berarti kebahagiaan. Demikian kutipan dari Mahmet Murat Ildan, seorang penulis dan sastrawan asal Turki, dituliskan Kana di sela gambar-gambar sepeda di atas kardusnya. ”Di masa pandemi Covid-19 ini, sangat relevan untuk mengungkap pesan kesederhanaan sebagai pesan kebahagiaan bersama. Di dalam kesederhanaan, kita berbagi kebahagiaan,” ujar Kana, yang memiliki kenangan unik bersepeda di masa remaja.
Rasa bahagia terbit begitu sederhana dirasakan Kana ketika mengayuh sepeda tanpa memegang kendali. Tidak hanya di jalan menurun, Kana sering melakukan itu tatkala di jalan menanjak. Di situ pula Kana kerap terjatuh dari sepedanya ketika oleng karena kayuhan kaki menjadikan sepeda berat sebelah, tidak lagi seimbang. Kana menjumput lagi kutipan menarik dari Albert Einstein yang berbunyi, ”Hidup ini seperti mengendarai sepeda. Untuk menjaga keseimbangan, kita harus tetap mengayuh.”
Akan tetapi, Einstein tidak pernah menganjurkan saat mengayuh sekaligus melepas kendali setang sepeda seperti dilakukan Kana. Kana merasakan sensasi tersendiri ketika melepas setang sepeda sambil mengayuh. Setiap kali berat sebelah dan oleng karena kayuhan pedal, muncul tantangan untuk mengembalikan keseimbangan dan terus melaju. Keseimbangan bersepeda bukan berarti dalam gerak melaju yang terdiam. Keseimbangan bisa menoleransi beban kayuhan.
Lewat sepeda, Kana menarik banyak hikmah. Kana juga pernah mengajar bidang seni rupa bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Ia begitu peduli dengan pendidikan seni bagi setiap anak. Kana memegang erat rumusan dari George Weah dan menuliskannya. ”Pendidikan adalah proses yang berkelanjutan, seperti sepeda. Jika kamu tidak mengayuh pedal, kamu tidak bergerak maju.” Keseimbangan dan kayuhan menjadi dua hal penting bagi hidup Kana. Keduanya dalam bingkai kesederhanaan dan kebahagiaan.
Roda sepeda itu akan terus berputar dari masa lalu menembus masa kini dan masa depan. (Kana Fuddy Prakoso)
Ia pun membuat sebuah mural di salah satu dinding ruang pamer tersebut. Kana membuat citra dirinya sedang mengayuh sepeda dengan empat pose tubuh, mulai dari melepas setang hingga memegang penuh kendali sepeda itu. ”Saya mengambil arang dari pot tanaman itu untuk membuat mural ini,” ujar Kana.
Ia ingin menunjukkan, untuk menciptakan karya seni bisa menggunakan apa saja yang ada di sekitar kita. Termasuk ketika ingin membuat mural di dinding, Kana menjumput arang yang tersedia begitu saja di sekitar galeri.
Sebuah instalasi seni di ruang pamer juga dibuat Kana. Ia membentuk sudut dengan kusen jendela kaca bening. Di balik jendela, ada sebuah kerangka sepeda tanpa kedua rodanya. Di dekatnya ditempelkan beberapa karya drawing sepeda.
Kana menyebut, kerangka sepeda tanpa roda itu adalah masa lalu yang diam tak bisa bergerak. Akan tetapi, ia menempatkan kedua roda yang lepas itu menembus dinding masing-masing di sebelah kusen jendela. ”Roda sepeda itu akan terus berputar dari masa lalu menembus masa kini dan masa depan,” ujar Kana bermetafora.
Ruang alternatif
Seniman seperti roda sepeda yang terus berputar dan bergerak menembus segala masa. Seperti Kana sebagai seniman yang terus bergerak dan bersiasat menembus ruang-ruang yang memungkinkan untuk menghadirkan karya-karyanya ke tengah publik, seperti di Galeri Seni Rolling Door ini.
”Galeri ini menjadi ruang alternatif bagi gagasan-gagasan seniman ketika harus terus bersiasat,” ujar Saepul Bahri (41), seniman asal Lombok, Nusa Tenggara Barat, pendiri Galeri Seni Rolling Door. Saepul memiliki almamater sama dengan Kana, ISI Yogyakarta.
Galeri Seni Rolling Door dibuatnya dengan ruang kecil berukuran sekitar tiga kali empat meter saja. Penutup ruang pamer itu berupa pintu gulung (rolling door) sehingga galeri itu dinamai Rolling Door.
”Galeri ini terlahir dari kebutuhan seniman-seniman yang sering berdiskusi di sini dan ingin mengekspresikan gagasan-gagasannya. Ruangnya dibuat kecil supaya seniman-seniman itu bersiasat,” ujar Saepul, yang juga memberikan pendidikan gratis bagi anak-anak untuk melukis di studio yang memiliki ukuran lebih luas di sebelah galeri.
Untuk pameran karya Kana, kurator Frigidanto Agung menyodorkan tema, ”Bukan Fiksi (E) Tapi Fakta”. Agung menyentuh salah satu fakta seniman yang tak mudah mendapat ruang pamer untuk setiap gagasan dan karya mereka.
”Seperti Kana yang mengajukan proposal untuk pameran tunggal di sebuah galeri dan menunggu sampai empat tahun lamanya tidak pernah ada jawaban sampai sekarang. Akhirnya, saya mengajak Kana berpameran di galeri ini sebagai ruang alternatif,” ujar Agung, yang menggelar pameran itu pada 6-17 Agustus 2021.
Seniman bukanlah fiksi. Mereka ada di tengah masyarakat. Keberadaannya makin terasa hadir di setiap ruang pamer karya mereka.