Menengok Kembali Kesenimanan di Komunitas Mendadak Guru
Sebuah komunitas guru bidang seni rupa di berbagai jenjang pendidikan menengok kembali watak kesenimanannya. Meski dididik dan dibentuk menjadi seniman, mereka tidak harus menjadi seniman.
Sebuah komunitas guru bidang seni rupa di berbagai jenjang pendidikan menengok kembali watak kesenimanannya. Meski dididik dan dibentuk menjadi seniman, mereka tidak harus menjadi seniman, tetapi masih merasa berkewajiban untuk terus merawat karakter kesenimanan yang menebar napas kebaikan dan menyalakan semangat masyarakat.
Sejak tujuh bulan lalu mereka berhimpun di sebuah wadah kelompok Whatsapp (WA) yang diberi nama Mendadak Guru. Ini sempalan dari saking banyaknya kelompok WA yang terbentuk sebelumnya untuk mewadahi para lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.
Abdulrahman Saleh (46), seorang guru seni rupa di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Bunda Kandung, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, memelopori komunitas ini. Maman Seblat, panggilan akrabnya, menempuh studi Jurusan Seni Rupa Murni ISI Yogyakarta dengan minat utama Seni Grafis (1994-2002). Maman, selain mengajar di Jurusan Desain Komunikasi Visual SMK Bunda Kandung, juga pegiat konservasi harimau sumatera, sebagai penjangkau lapangan dan pemberi edukasi masyarakat.
Maman juga pendiri komunitas Rumah Tanpa Jendela (RTJ) untuk anak-anak dalam situasi khusus. ”Mendadak Guru sebagai proyek untuk melihat karakter disiplin pendidikan seni di tengah masyarakat. Ternyata saya melihat bidang seni sendiri ada kecenderungan lintas disiplin di dalam memberikan manfaatnya kepada masyarakat,” ujar Maman, seraya menuturkan pengalaman keikutsertaannya di dalam Jakarta Biennale 2013/2014.
Maman ketika itu lolos seleksi dengan menyertakan karya mural di gerobak pemulung. Ia menyadari ada perubahan karakter media seni rupa kekinian dengan unsur keterlibatan langsung di kancah perjuangan rakyat kecil. Di situ ada seni dengan lintas disiplin ilmu. Seorang seniman yang berprofesi di bidang keguruan termasuk juga menjalani lintas disiplin ilmu. Maman menghimpun sebanyak 20 lulusan ISI Yogyakarta yang menjadi guru dan mengajak mereka menengok kembali karakter kesenimanan.
Ia kemudian mengajak mereka untuk menggelar pameran karya seni rupa. ”Ternyata tidak semua anggota komunitas Mendadak Guru itu masih menggambar atau melukis. Bahkan, ada yang menyampaikan tidak bisa ikut pameran karena tidak bisa lagi menggambar atau melukis,” ujar Maman. Dari 20 anggota itu, akhirnya ada 13 orang yang bersedia membuat pameran bersama. Maka, jadilah pameran seni rupa bersama yang diberi tajuk ”Siasat Pandemi” yang berlangsung virtual di Bentara Budaya Jakarta, 29 Juli hingga 6 Agustus 2021.
Ternyata tidak semua anggota komunitas Mendadak Guru itu masih menggambar atau melukis. Bahkan, ada yang menyampaikan tidak bisa ikut pameran karena tidak bisa lagi menggambar atau melukis.
Dunia ”antara”
Selain karya Maman, juga ditampilkan karya anggota komunitas Mendadak Guru lainnya, antara lain, Agus Pisaro Widodo, Arintoko, Ary Okta, Endang ”Lies” Suseno, Hajar Harumi, Miftakhul Hoeda, Mulyono ”Emul”, dan Nugrahanto Widodo. Mereka menampilkan beragam corak karya seni rupa yang tidak hanya lukisan, tetapi juga seni grafis, seni komik, ataupun seni instalasi.
Kurator pameran Aryo Danusiri melihat komunitas Mendadak Guru ini berada di dunia ”antara”, di antara dunia kesenimanan dan keguruan. Ia juga melihat perkembangan dunia seni rupa kontemporer ternyata berada di dunia antara.
”Mereka hadir di dalam situasi yang tidak clear (jelas), tidak dipenuhi satu disiplin keilmuan. Mereka hadir di tengah perubahan seni kontemporer yang meruntuhkan hierarki, disertai karya-karya yang ambigu, mengalir, dan terus bergerak,” ujar Aryo, yang juga dosen Antropologi di Universitas Indonesia (UI).
Ada purifikasi di dalam dunia pendidikan yang menafsir link and match sebagai bentuk kesesuaian antara yang dipelajari dan kegiatan dunia kerja yang siap menampung lulusannya. Dunia seni rupa kontemporer meruntuhkan purifikasi tersebut dan menuntut kerja lintas disiplin ilmu. Komunitas Mendadak Guru menunjukkan kanal lain dari hasil purifikasi pendidikan seni. Mereka dididik menjadi seniman, tetapi akhirnya menjadi seorang guru.
Di situ ada ambiguitas di antara kemampuan keguruan sebagai nilai tambah. Atau, mungkin pula ambiguitas pada kemampuan kesenimanan yang ditangkap sebagai nilai tambah bagi seorang guru.
Mereka hadir di tengah perubahan seni kontemporer yang meruntuhkan hierarki, disertai karya-karya yang ambigu, mengalir, dan terus bergerak.
Aryo menengarai, komunitas Mendadak Guru meraih sesuatu yang lain, yang ia sebut sebagai mendadak nilai. Pameran ”Siasat Pandemi”, ini pun menjadi pembongkaran makna atas kemungkinan-kemungkinan baru yang bisa diraih selama pandemi Covid 19.
”Pengalaman pandemi menghadirkan pengalaman obyek-obyek konkret sebagai tanda memiliki makna yang labil,” ujar Aryo. Ia menarik garis pemahaman tentang pengalaman pandemi yang membuat orang mempertanyakan ulang kemapanan masing-masing. Kesenimanan dan keguruan di dalam logika industri tidak berada di kotak yang sama, tetapi komunitas Mendadak Guru mempersatukan keduanya.
Wilayah transenden
Sebuah panggilan di wilayah transenden, wilayah di luar kesanggupan untuk menolak menjadi seorang guru, dialami salah satu peserta pameran, Yohanes Krismiyanto (49).
Ia menganggap, menjadi seorang guru itu sebuah panggilan bagi jiwanya. Krismiyanto menempuh studi Jurusan Seni Murni ISI Yogyakarta dengan minat utama seni patung. Masa pendidikan ditempuh cukup lama, yaitu antara 1994 dan 2004, tetapi lama bukan lantaran lambat atau banyak mengulang mata kuliah yang diajarkan. Ia berhasil menuntaskan semua mata kuliah tahun 1998.
Ketika itu, yang tersisa adalah penyampaian tugas akhir berupa pameran karya seni patung. Akan tetapi, Krismiyanto mulai disibukkan dengan membuat karya seni pesanan dari investor asal Italia. Ia larut dalam eksplorasi media dan kelimpahan nafkah hasil cucuran keringat sendiri.
Di tahun 2004, salah satu dosennya mengingatkan, masa studinya tinggal satu semester untuk menyelesaikan jenjang studi S-1. Krismiyanto tergugah untuk menuntaskan studinya dengan menggelar pameran sebagai tugas akhir kuliah dan lulus.
”Karya tugas akhir saya akhirnya juga diapresiasi investor asal Italia tadi,” ujar Krismiyanto, yang kemudian pergi ke Jakarta dan menjadi guru bidang Seni Budaya dan Prakarya SMP Santa Ursula di BSD Serpong. Ia lulus dari ISI tahun 2004 dan hingga kini sudah 16 tahun menjadi guru di institusi yang sama.
Sebelumnya, selama menempuh studi di ISI Yogyakarta, tidak pernah terlintas di benaknya untuk menjadi seorang guru. Yang terpikirkan saat itu, bagaimana harus menjadi seniman yang berhasil.
Saya mengajar seni rupa bukan untuk mendidik peserta untuk menjadi seniman. Saya ingin mengajarkan karakter-karakter kebaikan lewat seni rupa.
Tanda-tanda ke arah itu sudah dirasakan, tetapi setelah lulus studi, Krismiyanto mengambil jalan lain dan menjadi seorang guru sampai sekarang. ”Saya sudah lama sekali tidak melukis. Pameran komunitas Mendadak Guru ini mengobati kerinduan saya untuk melukis,” ujar Krismiyanto.
Karakter kesenimanan untuk terus mencipta karya seni tidak selamanya memudar bagi mereka yang memutuskan menjalani profesi seorang guru. Ini dilakukan Ary Okta (48), yang menempuh program studi Desain Komunikasi Visual ISI Yogyakarta tahun 1992-1997.
”Sampai sekarang saya tetap terus menjadi pekerja kreatif, baik sebagai desainer, ilustrator, maupun perupa,” ujar Ary Okta, yang mengajar seni rupa di Sekolah Citra Alam Ciganjur, Jakarta, sejak 2005 sampai sekarang. Saat ini Ary Okta bahkan menjadi Direktur Program Sekolah Citra Alam Ciganjur. Selain itu, Ary Okta memiliki banyak aktivitas lain sebagai pendiri sekaligus pemilik tempat berkesenian Saung Palakali di Depok dan Sekolah Citra Alam Yogyakarta.
Di beberapa tempat lain di Yogyakarta dan Boyolali, Jawa Tengah, Ary Okta mendirikan kedai sekaligus sebagai galeri untuk kegiatan berkesenian. Di situlah ia menggabungkan minat kesenimanan dan keguruannya.
”Saya mengajar seni rupa bukan untuk mendidik peserta untuk menjadi seniman. Saya ingin mengajarkan karakter-karakter kebaikan lewat seni rupa,” ujar Ary Okta, yang kini masih terlibat dalam suatu pameran seni rupa di Perpustakaan Nasional Jakarta.