Indie Ten, Etalase Musik Alternatif Kala Itu
Kemunculan band-band baru dari kancah alternatif di level nasional tahun 90-an membuat riaknya sendiri. Kaum muda berlomba-lomba bikin band, juga menulis lagunya sendiri.
Album kompilasi Indie Ten tahun ini berusia 23 tahun. Album berisi 10 band ini menggambarkan suatu masa ketika anak muda bersemangat membuat band menjagokan lagu ciptaan sendiri, beranjak dari pendahulunya yang cenderung memainkan lagu populer semirip mungkin. Etos itu langgeng hingga hari ini.
Definisi ”indie” sebagai singkatan dari ”independen” menyiratkan kebebasan, ketakterikatan. Dalam kaitan dengan produk musik, pelakunya bertungkus lumus mewujudkan cita-cita mereka: lagu ciptaannya didengar lebih banyak orang. Cara yang dipilih lantas bisa berbagai bentuk, membuat dan mengedarkannya sendiri, atau bergabung dengan label besar demi publikasi lebih luas. Ketenaran adalah bonusnya.
Pas Band menempuh gerilya mereka ketika membuat album mini 4 Through the Sap yang dirilis Oktober 1993. Album ini diproduksi oleh label bikinan mereka sendiri, yaitu SAP Music Management. Penjualannya kasetnya terbilang laris, mencapai 10.000 keping dalam waktu tiga bulan. Tak sampai setahun kemudian, label mapan Aquarius Musikindo merilis ulang mini album berisi empat lagu ini dan memberi kontrak panjang bagi kuartet asal Bandung ini mengerjakan album-album berikutnya.
Kegigihan serupa dilakukan band Bandung lainnya, Pure Saturday. Album perdana Pure Saturday keluaran 1996 berisi delapan lagu diproduksi mandiri. Distribusinya ”menebeng” pada majalah remaja Hai yang bertiras nasional. Tak kurang dari 5.000 kasetnya laku. Album ini diproduksi ulang oleh Ceepee Production milik Tantowi Yahya yang sekarang jadi Duta Besar RI untuk Selandia Baru itu.
Album keduanya, Utopia (1999), diproduksi oleh Aquarius Musikindo. Baik Pas Band maupun Pure Saturday memainkan musik yang saat itu kurang lazim bagi pendengar musik Indonesia. Kubu rock sedang didominasi slow rock gaya Nike Ardilla, Andy Liany, atau U’Camp. Sementara band Dewa dan Slank sedang di puncak produktivitasnya. Di kubu pop, Java Jive, Kahitna, dan Base Jam sedang ngetop-ngetopnya.
Pas Band dan Pure Saturday menyuguhkan racikan musik yang cenderung beda pada zamannya. Pas Band, misalnya, berkiblat pada rock funk gaya Porno for Pyros dan Red Hot Chilli Peppers tahun-tahun awal. Sementara warna pop Pure Saturday mengadposi kebisingan pop Inggris macam Ride, My Bloody Valentine, atau The Cure.
Referensi macam itu masih tergolong niche, alias sebagian kecil publik saja yang melahapnya. Maka wajar jika Pas Band dan Pure Saturday dianggap sebagai pemicu gelombang rock/pop alternatif di Indonesia.
Label Aquarius menangkap fenomena ini dengan mengeluarkan album kompilasi dengan judul agak pretensius: Indonesia Best Alternative (Tonggak Musik Alternatif) pada 1997 berisi 10 band/musisi. Pas Band dan Pure Saturday ada di dalamnya, masing-masing dengan lagu ”Impresi” dan ”Kosong”. Band lainnya, di antaranya, adalah Puppen (”Atur Aku”), Netral (”Wa…lah!!”), Nugie (”Tertipu”), Koil (”Matahari”), Kubik (”Gelap”), serta Plastik (”Seperti”). Pengusung musik alternatif tersemat di pundak mereka.
Pada tahun yang sama, Sony Music Indonesia baru saja mengontrak band rock alternatif lainnya, yaitu /rif. Album perdana Andy dan kawan-kawan berjudul ”Radja” (1997) kencang berputar di radio dan televisi nasional. Penjualannya lebih dari 150.000 keping, berpredikat platinum.
Riak baru
Kemunculan band-band baru dari kancah alternatif di level nasional ini membuat riaknya sendiri. Kaum muda berlomba-lomba bikin band, juga menulis lagunya sendiri. Ini bertolak belakang dengan kecenderungan band dari dekade sebelumnya yang berusaha semirip mungkin dengan junjungannya dari dunia Barat. Bikin band dan lagu jadi kebanggaan baru.
Band-band baru ini meretas jalan dengan mengirimkan demo ke sejumlah label rekaman agar albumnya diproduksi. Sony Music, salah satu label dengan kapital besar di Indonesia saat itu, juga kebanjiran demo kaset. Jan Djuhana, artist and repertoire Sony Music yang berhasil meminang /rif berupaya menampung antusiasme itu. Langkah awalnya adalah membuat album kompilasi Indie Ten.
”Saya terinspirasi karena banyak demo lagu yang dikirim ke saya. Sebagian besar adalah band-band baru. Saya pikir, mereka (band baru) perlu terekspos sebagai new comer. Kiriman demo itu berupa kaset, lengkap dengan biografi bandnya. Ada yang dikirim melalui pos, ada yang dititipkan di resepsionis,” kata Jan, Jumat (21/7/2021).
Ketika itu, Jan belum punya staf. Maka, dia sendiri yang memilih dan memilah demo setelah mendengarkannya. Sekitar enam bulan dia menekuni proses itu hingga terpilih 10 band, yaitu Wong (lagu ”Tak Ingin”), Cokelat (”Bunga Tidur”), Padi (”Sobat”), Caffeine (”Satu Untukmu”), Opus (”Peramal”), Gen (”Di Balik Senyummu”), Fable (”Bintang”), Layang (”Peduli”), Soda (”Imaji Cinta”), dan Ninh (”Kehidupan Itu”). Sepuluh band itu mewakili empat kota: Bandung, Jakarta, Yogyakarta, dan Surabaya.
Ingatan Jan samar-samar perihal kapan persisnya album itu keluar. Sementara Piyu, gitaris Padi, yakin album itu lahir pada 4 Agustus 1998, sekitar tiga bulan setelah rezim penguasa lama tumbang. Bolehlah disebut album kompilasi ini mengiringi munculnya era baru, eranya kaum muda lebih banyak bersuara.
Sok akrab
Band-band yang terpilih di kompilasi itu umumnya telah berjibaku sekian tahun untuk lebih didengar di kancah musik nasional. Piyu, misalnya, sering tinggal di Jakarta sejak 1995 untuk menjadi teknisi gitar bagi Andra Ramadhan dari band Dewa. Kala itu dia sudah bercita-cita punya band sendiri. Baru pada 8 April 1997, Padi—sebelumnya bernama Soda—terbentuk.
Gitaris bernama lengkap Satriyo Yudi Wahono ini sudah punya tabungan lagu demo ketika bandnya masih bernama Soda, di antaranya ”Beri Aku Arti”, dan ”Sudahlah”. Demo itu ia titipkan kepada Romulo ”Lilo” Radjadin, gitaris KLa Project, untuk diserahkan ke Jan Djuhana. ”Lilo bilang, Pak Jan menolak demonya,” kata Piyu.
Setengah tak percaya, Piyu berupaya menemui langsung Jan. Kesempatan itu datang ketika Dewa sedang punya gawe di Poster Café pada 1997 yang dihadiri banyak produser musik, salah satunya Jan Djuhana. ”Aku sok akrab saja nyamperin beliau, bilang pernah kirim demo,” ujar Piyu.
Tanggapan Jan membesarkan hatinya. Dia berniat mengirim ulang demo tersebut dengan menambahkan lagu baru, yaitu ”Sobat” dan nama bandnya sudah menjadi Padi. Lagu itu membawa rezeki. Jan tertarik pada lagu percintaan yang penceritaannya di luar pakem. Dia mengirimkan perwakilannya untuk memantau aksi panggung Padi ketika membuka /rif di Surabaya.
Piyu membujuk pemilik venue untuk bisa jadi band pembuka. ”Eggak dibayar juga enggak apa-apa,” katanya. Utusan Jan memuji penampilan Padi, tapi memberi catatan untuk mengubah sedikit lirik ”Sobat”, yang kelak tak perlu dilakukan. Permintaan mengganti lirik kurang berterima bagi Piyu. Dia berencana menelepon langsung Jan pada malam setelah pentas itu.
Tak ia duga, telepon rumah Piyu berdering sore sekitar pukul 16.00. Orang yang berbicara di ujung telepon adalah Jan. Padi ditawari bergabung dalam kompilasi Indie Ten lewat lagu ”Sobat”. Kesempatan bagus itu tak ia sia-siakan meski harapannya adalah dibuatkan album penuh.
Setelah tanda tangan kontrak di kantor Jan di Jalan Johar, Jakarta Pusat, Padi merekam lagu ”Sobat” di Studio 21 yang disediakan Sony di daerah Pluit, Jakarta Utara, pada Juni 1998. Jatah rekamannya cuma dua sif, atau sekitar 10 jam. Selain merekam lagu ”Sobat”, mereka juga berhasil merekam fondasi lagu ”Demi Cinta”.
Dari radio
Ketika Padi rekaman, lima muda-mudi berangkat dari Bandung berdempetan di mobil Vitara kuning menempuh jalur Padalarang-Cianjur-Puncak-Jagorawi menuju kantor Sony di Jakarta untuk tanda tangan kontrak bergabung dengan kompilasi Indie Ten. Mereka adalah band Cokelat, yang saat itu anggotanya adalah Kikan, Ronny, Robert, Bernard, dan Deden.
”Kami bawa satu gitar, satu bas, dan satu snare drum. Daripada repot naik kereta, mending patungan bensinin mobilnya Kikan,” kenang Ronny Nugroho, pemain bas, saat dihubungi dua pekan lalu. Setelah teken kontrak, mereka mendatangi studio, tepat ketika Padi baru kelar rekaman. Dua band ini belum saling kenal.
Cokelat menyumbangkan lagu ”Bunga Tidur”, yang sebelum masuk Indie Ten demo awalnya sudah berkibar di beberapa radio lokal di Bandung. Band yang terbentuk tahun 1996 ini sudah cukup sering manggung, termasuk di venue ”keramat”, seperti Fame Station, dan GOR Saparua, serta banyak acara-acara kampus.
Setiap manggung, selain membawakan lagu hits pada masa itu, seperti milik Alanis Morrissette, Sixpence None The Richer, dan Frente, Cokelat kukuh mengenalkan lagu sendiri. Mereka terpantik Pure Saturday dan Cherry Bombshell yang saat itu sudah punya album. Ronny juga ingin bandnya seperti mereka.
”Sekeren apa pun lo bawain Dream Theater, misalnya, tetep aja itu bukan lagu lo,” kata satu-satunya personel awal Cokelat yang masih bertahan hingga sekarang ini.
Maka, ketika nomor ”Bunga Tidur” diminta Jan masuk album kompilasi, mereka senang betul. Setelah dirilis, album itu terjual lumayan banyak, lebih dari 150.000 keping kaset. Lagu ”Tak Ingin” milik Wong jadi single unggulan menyusul ”Bunga Tidur”, dan ”Sobat” milik Padi.
Penghargaan platinum bagi album itu, kata Jan, tak lepas dari kegigihan Piyu mengerahkan ”pasukannya” untuk meminta lagu ”Sobat” diputarkan di radio-radio. ”Aku sampai buat flyer sendiri, kubagikan sambil pakai helm ke orang-orang, siapa saja,” ucap Piyu.
Selepas album ini, demo yang masuk ke Sony berlipat jumlahnya. Sony sampai membuatkan PO Box khusus di kantor pos untuk diambil tiga hari sekali. Sekali ambil, kata Jan, bisa berkarung-karung. Demo-demo itu kelak diseleksi untuk masuk ke album Indie Ten 2, yang sayangnya kurang bergaung.
Meski begitu, alumni awal, khususnya Wong, Cokelat, dan Padi mendapat kontrak rekaman di Sony. Bertahun kemudian, Jan juga merekrut band-band dari kancah pinggiran atau sidestream sebagai ”artis Sony”, seperti Superman is Dead, Navicula, Speaker First, Rocker Rockers, dan Burgerkill. Sampai di sini, batasan indie dan mainstream makin jumud, tak perlu didebatkan. Album-album kompilasi pada akhir dekade 1990-an, termasuk Indie Ten, mendorong peleburan itu.