Enigma Ketidakterdugaan Goenawan Mohamad
Dunia seni menawarkan keindahan dan keindahan, bagi Goenawan Mohamad (80), ternyata tidak lain adalah ketidakterdugaan.
Dunia seni menawarkan keindahan dan keindahan, bagi Goenawan Mohamad (80), ternyata tidak lain adalah ketidakterdugaan. Ketidakterdugaan itu terlahir dari menolak pemujaan ide awal sekaligus sebagai hasil dari proses mengoreksi ide hingga terbangun sebuah enigma.
Goenawan memang lebih dikenal sebagai penulis dan penyair. Ia meletakkan konteks enigma ketidakterdugaan dikaitkan karya-karya gambar (drawing) dan lukisannya untuk pameran tunggal seni rupa ”Di Muka Jendela: Enigma”.
Goenawan menyebut pameran itu sebagai penanda umur 80 tahun saja ketimbang prestasi seni rupa mengingat banyaknya karya, ada 100 lebih drawing dan 50 lukisan, pameran pun diselenggarakan di dua galeri di Jakarta, yakni Galeri Salihara (29 Juli-28 Agustus 2021) dan Galeri Nadi (29 Juli-29 September 2021).
Goenawan, yang terlahir di Batang, Jawa Tengah, 29 Juli 1941, pernah menerbitkan buku sebagai penanda tahun kelahirannya yang ke-70. Saat itu sempat terpikir olehnya akankah nanti bisa sampai menginjak usia 80 tahun. Seiring waktu berjalan, lahirlah keinginan untuk memamerkan karya seni rupa di usia 80 tahunnya dan sekarang benar terwujud.
Goenawan gemar menggambar dengan pensil atau pena sejak remaja. Di awal tahun 1960-an, ia sempat bersentuhan dengan para perupa yang tergabung di Sanggar Bambu, yang bermarkas di sebuah kampung di Pasar Rumput, Jakarta.
Di situ Goenawan sering menumpang makan, mandi, bahkan menginap, hingga mencoba melukis dan menyaksikan dari dekat kegiatan melukis para perupa, seperti Danarto, Syahwil, Mulyadi W, atau Handoko Sukarno.
Ini berlanjut ketika Goenawan mulai mengelola majalah mingguan Tempo. Bersama rekan kerja Sri Malela Mahegarsari, S Prinka, dan Edi RM, Goenawan bersentuhan kembali dengan persoalan seni rupa untuk sampul depan majalah tersebut.
”Ketika waktu luang di sela-sela pekerjaan kantor, saya sering menghidupkan waktu dengan menggambar atau melukis bersama GM (Goenawan Mohamad),” ujar Malela, Rabu (4/8/2021).
Malela, rekan dekat Goenawan, ditunjuk menjadi kurator pameran, kali ini bersama Hendro Wiyanto. Malela memberikan kesaksian tentang ketidakterdugaan dari lukisan-lukisan Goenawan yang bisa berubah dari ide-ide awalnya.
Lembu Sora
Ada enigma ketidakterdugaan dari Goenawan melalui sebuah lukisan paling besar, berukuran 3 meter x 4 meter. Lukisan itu terdiri atas dua panel dan dipamerkan di Galeri Nadi.
”Pada percakapan awalnya, saya menyampaikan, ingin tahu reaksi kreatif GM ketika dihadapkan pada kanvas besar. Waktu itu, GM menyatakan ingin sekali melukis binatang purba di kanvas besar itu,” ujar Malela, yang bergabung sebagai awak redaksi majalah Tempo sejak 1985.
Lukisan itu selesai beberapa waktu kemudian. Di bagian kanan, Goenawan melukis sepotong tubuh laki-laki dengan dada tegap terbuka tanpa lengan tangan kanan, kedua kaki, dan kepala. Di hadapan tubuh itu, di bagian kiri kanvas, tergolek sepotong kepala sapi yang bertanduk.
Goenawan menorehkan tulisan tangan di kanvas itu. Tulisannya berbunyi, ”…. dan para dewa percaya Lembu Sora tak kembali.”
Lukisan itu pun kemudian diberi judul ”Lembu Sora”. Kisah Lembu Sora di dalam sejarah Majapahit cukup menarik. Lembu Sora sebagai salah satu tokoh perintis yang setia mendampingi Raden Wijaya ketika mendirikan Kerajaan Majapahit. Ia akhirnya menjadi korban intrik kekuasaan, selepas pemberontakan Ranggalawe.
Malela menuturkan enigma lukisan yang diberi judul ”Sapardi” (2020, cat minyak di atas kanvas 150 cm x 100 cm). Lukisan itu dibuat Goenawan saat mendengar sahabat dekatnya, Sapardi Djoko Damono, wafat pada 19 Juli 2020.
”Sapardi semula dilukis seperti apa adanya dengan tubuh yang kurus. Akan tetapi, GM terus-menerus mengoreksi tubuh Sapardi itu hingga akhirnya tidak lagi bertubuh kurus,” ujar Malela seraya menambahkan, karya-karya Goenawan sudah tidak lagi mempersoalkan anatomi tubuh atau kesesuaian sebagai lukisan potret.
Mungkin saja bentuk tubuh Sapardi dilukiskan kurus dan tipis sesuai kenyataannya. Akan tetapi, Sapardi memiliki karya-karya yang berlimpah sehingga Goenawan pun melukis tubuhnya menjadi gemuk.
Pameran penyair
Kurator Hendro Wiyanto menyebut pameran Goenawan Mohamad ini sebagai pameran seni rupa oleh seorang penyair. Hendro menulis catatan kuratorial dan menyinggung masa kecil Goenawan yang pertama kali bertemu puisi di tanah kelahirannya.
”Kita lupakan sejenak bahwa puisi seperti yang lazim dimengerti orang banyak adalah sebatas deret atau susunan kata puitis dan sekaligus bermakna,” ujar Hendro.
Hendro menyebut penyair sudah membentuk pengertian puisi secara lebih abstrak menjadi sebuah peristiwa puisi. Peristiwa puisi Goenawan pada masa kecil yang sering menatap kesibukan para nelayan bersiap melaut atau kembali berlabuh di sebuah muara sungai.
Goenawan pernah menuliskannya. Demikian bunyinya, ”Perkenalan pertama saya dengan puisi berlangsung di sebuah sungai dan sejumlah senja.”
Seperti halnya puisi, Goenawan dalam melukis tidak mengutamakan hal yang dilukis itu dengan jelas dan terang. Goenawan melukiskan suasana ambigu, lewat sosok potret figur, dongeng, mitologi, parodi sosial, dan sebagainya.
Hendro mempertegas itu dengan menukil tulisan Goenawan perihal menggambar, bukan membuat bentuk. Menggambar adalah mengikuti ritme yang menggerakkan tangan, seperti musik menggerakkan tubuh menari.
Gambar dan lukisan Goenawan yang dipamerkan itu juga dilengkapi dengan instalasi trimatra. Di antaranya sumbangan karya Endo Suanda berupa boneka Don Quixote. Endo juga membuat semacam patung kepala berdasarkan sebuah sajak karya Goenawan tentang kematian Subali dalam epos Ramayana.
Buku himpunan tulisan Goenawan tentang dunia kesenian selama sekitar setengah abad, berjudul Rupa, Kata, Obyek dan yang Grotesk, juga diluncurkan. Di usia senja, Goenawan menumpahkan banyak pengetahuan, pengalaman, dan hidupnya, selain melalui gambar dan lukisan yang dipamerkan.
Gambar dan lukisan Goenawan, menurut pengelola Galeri Nadi, Biantoro Santoso, terlihat menyuguhkan banyak ide. Baginya, lukisan Goenawan yang berjudul Black Lives Matter (2020, cat minyak di atas kanvas 100 cm x 150 cm) itu cukup mengesankan.
”Goenawan melukis tubuh Yesus,” ujar Biantoro seraya menunjukkan tulisan tangan Goenawan di lukisan itu yang mengutip salah satu ayat Yesaya dari Injil.
Goenawan melukis tubuh Yesus terbaring lemah dengan hanya mengenakan penutup kain putih untuk bagian pinggang. Di bagian kiri kanvas, di atas kepala Yesus yang terbaring, dilukis sebuah piala besar. Piala menggambarkan wadah untuk darah Yesus yang tertumpah.
Lukisan ini mungkin saja bagian enigma ketidakterdugaan dari Goenawan. Bagi umat Kristiani, lukisan itu mengisyaratkan pengorbanan tubuh dan darah Yesus untuk penebusan dosa agar selalu dikenang.