Kesaksian Musisi tentang Pandemi
Sejumlah musisi merekam kisah dan membuat kesaksian mereka tentang pandemi lewat lagu. Ada yang mengajak pendengarnya berdamai dengan situasi, belajar hidup berdampingan dengan kegelapan.
Nyaris dua tahun pandemi Covid-19 melanda Indonesia. Sejumlah musisi merekam kisah dan membuat kesaksian mereka tentang pandemi lewat lagu. Ada yang mengajak pendengarnya berdamai dengan situasi, belajar hidup berdampingan dengan kegelapan. Ada yang mewartakan bahwa wabah adalah ”pelajaran” dari Tuhan.
”Dari awal (membuat album) sudah menetapkan tujuan: apa yang bisa kita lakukan bagi (lingkungan) sekitar dengan kapasitas kita. Di masa begini, yang dibutuhkan adalah sesuatu yang menenangkan, sesuatu yang bisa mengingatkan,” kata Elda Suryani, vokalis dan penulis lirik duo Stars and Rabbit di teras belakang studio sekaligus kantor label mereka, Green Island Music.
Di tempat itu, mereka membuat dan merekam materi-materi untuk album ketiga, On Different Days, yang dirilis pada 25 Juni 2021. Studio itu berlokasi di seberang rumah sakit besar di Jakarta Selatan. Selama berbincang-bincang sekitar dua jam pada petang yang mendung di pertengahan Juni itu, sirene ambulans terdengar hampir setiap 20 menit sekali.
Pada tanggal album itu resmi beredar, angka harian pengidap Covid-19 berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan RI saat itu mencapai 11.938 orang di seluruh Indonesia, padahal sepekan sebelumnya 8.253 orang. Lonjakan wabah sedang terjadi, bahkan terus berlipat hingga hari ini. Orang-orang diminta kembali berdiam di rumah, seperti di masa awal pandemi tahun 2020 dan lonjakan pada Januari-Februari 2021.
Pada momen sedemikian, On Different Days menyuguhkan nomor-nomor yang cenderung kalem. Gagasan dasar seperti yang dinyatakan Elda tadi mewujud dalam delapan lagu. Sebagai catatan, semua lagu di album ini berbahasa Inggris. Kutipan lirik di artikel ini adalah terjemahan bebas.
Dalam lagu pembuka ”Merry Alone”, Elda mencoba bersimpati pada kegundahan pendengarnya. Tokoh ”Aku” mengungkapkan ”bisa melihat”, ”bisa mendengar”, ”bisa merasakan” tokoh ”Engkau”, yang merupakan pendengar lagunya—ditulis sebagai ”lovely people (orang tersayang)” dan ”lonely people (orang kesepian)”.
”Aku” dan ”Engkau” diceritakan sama-sama berada ”di tengah-tengah (wabah) penyakit” dan ”krisis ibu bumi yang tak terduga-duga”. Oleh karena itu, ”Aku” mengajak ”Engkau” untuk ”bergembira bersama dalam kesendirian”. Ajakan ini dinyanyikan berulang-ulang layaknya mantra.
Lagu itu, kata Elda, bercerita tentang rasa kesepian yang muncul tiba-tiba. Orang-orang lain, di tempat masing-masing, juga merasakan hal sama. Didit Saad meracik musiknya lebih riang. ”Dengan sendirian bersama-sama, bukankah itu bisa membuatmu tersenyum sedikit?” tanya Elda beretorika.
Lagu lainnya di album ini, singel kedua, ”Pretty Anticipated”, agak lebih rancak. Di sini, Elda mencoba berdamai dengan kegelapan dan—lagi-lagi—mengajak pendengarnya merespons seperti itu. ”Bila aku terbentur pada kegelapan/Tak mengapa, sinari sedikit, dan bernyanyilah.”
Bagian refrain itu berlanjut dengan ”Mari merayakan hidup dan menari”. Pada ujung lagu, bait itu dinyanyikan bersama-sama; keriuhan kecil yang bisa membuat orang kesepian hangat matanya.
Respons masa awal
Lagu dengan ajakan menerima keadaan dan mengasihi diri (self-love) seperti itu muncul pada bulan ke-16 setelah pasien pertama Covid-19 diumumkan pada 2 Maret 2020. Di masa awal, sejumlah musisi mulai meresponsnya. Raja dangdut Rhoma Irama meluncurkan lagu ”Virus Corona”. Sementara Trio Bimbo membuat lagu ”Corona Datang”. Keduanya keluar pada pekan pertama April 2020, sebulan setelah pandemi mulai berkecamuk di Indonesia.
Dua lagu itu sama-sama gamblang menyebut ”virus korona” sebagai biang kerok kekalutan yang berlarut-larut hingga hari ini. Kesan agresif dilekatkan Rhoma dalam lagunya yang, antara lain, menggunakan kata ”menyerang”, ”mematikan”, ”mengerikan”, sehingga menciptakan suasana ”mencekam”.
Agresivitas virus korona baru ini digambarkan Bimbo sebagai cara ”Tuhan mencuci dunia/membungkam kesombongan manusia.” Frasa ”kesombongan manusia” pada larik bikinan RM Samsudin Dajat Hardjakusumah alias Sam Bimbo seperti menggambarkan respons pejabat pada masa awal pandemi. Kala itu, ada pejabat yang bilang virus ini tidak berbahaya, ada juga yang cengengesan menanggapi ancamannya.
Manajemen krisis yang kacau balau di masa awal itu membuat warga bingung, tak punya strategi bertahan. Bisa dimaklumi jika Rhoma dan Bimbo sama-sama mencetuskan berlindung pada kuasa Ilahi sebagai solusi. Rhoma menulis larik ”Hanya padaMu, Tuhan, kami mohon perlindungan.” Sedangkan Bimbo mendaraskan ”Ya Tuhan, selamatkan kami.”
Dalam siaran pers yang dilansir April 2020, Rhoma menjelaskan, ”Kita sebagai manusia tidak punya daya. Dalam setiap bencana, hanya kepada Tuhan-lah kita memohon perlindungan.”
Refleksi kenyataan
Berserah diri pada Ilahi adalah hal lain. Di lapangan, para sukarelawan dan petugas medis berjibaku membendung perluasan wabah. Pergulatan itu tergambar dalam lagu ”Garis Depan” yang dilantunkan trio asal Bali, Dialog Dini Hari, dalam balutan bunyi elektrik.
Dadang Pranoto, vokalis dan gitaris grup itu, yang menulis liriknya. ”Ada beberapa temanku dokter dan paramedis yang sudah terlalu lama tidak bisa pulang ke rumah,” kata Dadang menjelaskan inspirasi lagu yang dirilis pada 8 Mei 2020 tersebut.
Tiga pekan sebelum lagu itu keluar, Kompas memberitakan tenaga kesehatan mulai bertumbangan terinfeksi virus ketika menangani pasien. Ketika itu disebutkan, 14 perawat dan 30 dokter gugur terpapar Covid-19. Keterbatasan alat pelindung diri (APD) menjadi salah satu penyebab kerentanan tenaga medis.
Kegentingan begitu terasa pada lagu. Dialog Dini Hari membuka lagu dengan seruan, ”Hey, perhatian” menyiratkan ada hal krusial yang perlu diketahui. Bait itu berlanjut dengan larik, ”Kami tak bisa pulang/terkepung di garis depan/siap pasang badan/kami ada di depan.”
Penggunaan kata ”kami” menunjukkan bahwa mereka berpihak kepada para perawat dan dokter. Mereka tengah terancam karena ”korban terus berjatuhan”, sementara ”jubah putih kami/tak cukup melindungi”, seperti tertulis di bait keempat.
Dalam lagu, grup ini bertanya-tanya, ”Bala bantuan, akankah kau datang?”, menyiratkan ketidakpastian. Mengingat jumlah tenaga medis yang gugur akibat Covid-19 menjadi 1.244 orang (per 13 Juli 2021, data dari Lapor Covid-19), pertanyaan itu makin mendesak. Frasa ”penguasa berhalangan” di bait terakhir lagu patut terus didengungkan.
Keriuhan selama masa pandemi itu juga terekam di lagu ”Setengah Tahun Ini” yang dinyanyikan dan diciptakan Baskara Putra alias Hindia. Di lagu yang dirilis pada Juli 2020 itu, Baskara merangkum ragam peristiwa dalam enam bulan pertama tahun itu, seperti kontroversi UU Cipta Kerja, proyek istimewa untuk staf khusus presiden, tenaga medis yang berguguran, hingga penutupan resto waralaba yang malah menciptakan kerumunan.
Tumpukan peristiwa catatan Baskara itu berbalut nuansa muram. Di liriknya, vokalis band Feast ini memakai frasa seperti ”dirundung duka”, ”dirundung murka”, ”bahaya batin”, ”hilang penghasilan”, dan ”butuh ketenangan”. Di antara kemurungan itu, Baskara masih menyisipkan sejumput harapan, antara lain dalam larik ”Kita bersama kali ini/Lewati setengah tahun lagi/Ku masih ingin melihatmu esok hari”. Pun begitu, harapan itu seolah masih tak pasti alias semu.
Baskara mengaku menulis lirik itu dalam malam yang kontemplatif. ”Saya ingin menggunakan lagu ini sebagai refleksi pribadi atas apa saja yang terjadi selama setengah tahun 2020 dan menggunakannya sebagai pembelajaran,” katanya, yang menjadikan lagu itu sebagai ”adegan ekstra” bagi album solonya, ”Menari dalam Bayangan” (2019).
Mencermati kondisi yang makin genting hari-hari ini, larik ”lewati setengah tahun lagi” dari Baskara terasa begitu panjang. Ini sudah memasuki setengah tahun ketiga dan warga telah terengah-engah. Terngiang gumaman Baskara di lagu itu, ”…Oh, absurd rasanya.”
Begitulah rekaman dan kesaksian para musisi. Sebuah refleksi dari industri budaya populer yang sering disalahartikan sekadar wadah bersenang-senang. (BSW)