Aku Dendangkan Setangkup Harapan
Para musisi itu sedang mendendangkan getar-getar harapan pada jiwa-jiwa pendengarnya yang melewati hari bersama pandemi.
Pemusik dan penulis lagu rasa-rasanya punya intuisi tersendiri merespons suasana tak biasa. Ketika banyak orang mulai letih dengan pandemi Covid-19, mereka membuat karya yang mengajak pendengarnya untuk menikmati rasa gundah bersama-sama sambil memupuk harapan.
Rupa-rupa komentar terpampang di laman Youtube Yura Yunita yang menampilkan video lagu ”Tenang”. Para pendengar Yura saling berbagi cerita, berbagi rasa keterasingan, kegundahan, juga saling menguatkan. Ruang berbagi rasa itu terpantik dari lagu yang dirilis pada 1 April 2021 di bawah bayang-bayang pandemi. Video itu telah ditonton sebanyak enam juta kali.
Lewat lagu, Yura melepaskan kegundahan yang ia rasakan. Begini bait pertamanya, ”Dialog dini hari/Kepada diriku sendiri/Tak bisa ku tertidur lagi/Melayang pikirku tak pasti//”.
Bait pertama itu hanya diiringi denting piano, lambat dan sunyi, menggambarkan suasana dini hari. Bagian refrain-nya, semakin menguat dengan iringan petikan gitar. ”Tenang tenang yang tak kunjung datang/Menanti-nanti cahaya-Mu/Beri aku petunjukMu//Tenang, tenang, oh, datanglah tenang hari ini//”.
Yura menulis lagu itu pada bulan Ramadhan 2020, bulan ketika umat Muslim menyucikan diri. ”Bulan puasa jadi momen pembelajaran dan kontemplasi, yang akhirnya membuatku tercerahkan,” katanya.
Ide lagu ini berawal dari kisahnya sendiri yang pernah mengalami momen tak mengenakkan. Dia mengaku bukanlah tipe orang yang mudah menceritakan kegelisahan dan persoalannya kepada orang lain. Memendam masalah dan menghindari konflik sering ia pilih, yang tanpa disadarinya memicu kegelisahan batin.
Aku mulai belajar ”self-healing”. Tahun 2020, mulai lagi dari nol dan jadi lebih lega, lebih lepas, lebih sehat mental dan fisik. (Yura Yunita)
”Sampai ada suatu hari sebelum 2020, di satu malam, aku enggak bisa tidur, sesak, anxiety muncul, resah. Dapat notifikasi Whatsapp saja bikin deg-degan. Waktu itu enggak sehat banget. Susah cerita yang ujungnya cuma bisa nangis. Lalu aku mulai belajar self-healing. Tahun 2020, mulai lagi dari nol, dan jadi lebih lega, lebih lepas, lebih sehat mental dan fisik,” lanjut Yura.
Yura menemukan terapi yang tepat bagi dirinya, yaitu dengan menulis, baik lewat jurnal maupun melalui lagu. Lirik lagu ”Tenang” dirasanya sebagai kesempatan mencurahkan perasaan yang menumpuk selama ini. Larik ”Dialog dini hari/Kepada diriku sendiri” adalah cuplikan cerita dari penyembuhan jiwanya.
”Aku itu sebenarnya orang yang tidur cepat, jam sembilan malam, bangun jam lima pagi. Tapi kalau lagi ada sesuatu yang memicu (kegundahan), biasanya enggak bisa tidur. Perasaan tak tenang itu datangnya malam atau dini hari. Makanya dialog dini hari itu sebenarnya (berbincang) dengan diri sendiri. Karena, saat itu juga muncul banyak suara dalam pikiran,” tambah Yura yang baru saja merilis lagu baru ”Mulai Langkahmu” ini.
Jadi, kalau dibilang ini lagu cinta, ya, ini lagu percintaanku dengan Yang di Atas. Lagu berupa doa dan harapan untuk yang ingin memperoleh ketenangan. (Yura Yunita)
Aransemen lagunya sengaja dibuka dari keheningan, kemudian menanjak menjelang akhir lagu disertai suara paduan suara, yang melambangkan banyaknya suara gemuruh setiap gelisah muncul. Kemudian ada imbuhan bunyi gemercik air, yang bagi Yura, mewakili air mata, air hujan yang menenangkan, dan air wudu.
”Jadi, kalau dibilang ini lagu cinta, ya, ini lagu percintaanku dengan Yang di Atas. Lagu berupa doa dan harapan untuk yang ingin memperoleh ketenangan,” tutur Yura.
Cahaya dan harapan
Riko Prayitno juga menulis lirik lagu ”There’s a Light at the End of the Tunnel” untuk bandnya, Mocca ketika suasana hatinya tak karuan. Pandemi Covid-19 yang mulai mengganas pada Maret-April 2020 membuatnya masygul.
Rencana merilis mini album Mocca yang sudah dicetuskan sejak Desember 2019 jadi berantakan padahal mereka sudah punya materi empat lagu. Satu lagu di antaranya, ”Simple I Love You”, sudah dilepas pada 14 Februari 2020.
Selain urusan band, dia juga cemas pandemi ini akan berlangsung lama—kecemasan yang ternyata benar. ”Awal-awal (pandemi) itu gue stres banget sampai istri bingung. Karakter masyarakat Indonesia kadang bebal, itu bisa bikin tenaga kesehatan kolaps, kan, bahaya. Kita jadi ada beban untuk jaga kesehatan sendiri, jangan sampai sakit apa pun yang harus berhubungan dengan rumah sakit, seenggaknya dua-tiga tahun ke depan,” kata gitaris band yang terbentuk tahun 2000 ini.
Beban pikiran itu perlahan dia alihkan dengan mencoba menulis lagu. Semula targetnya sehari bisa jadi satu lagu. Walau meleset jauh dari target, dia berusaha menyibukkan diri untuk urusan band. Kegigihannya tak sia-sia. Dia punya lagu-lagu baru juga. Masalah lain adalah teknis rekaman. Memaksakan diri berkumpul di studio terlalu berisiko.
Pilihannya adalah rekaman jarak jauh. Riko, vokalis Arina Ephipania, basis Toma Pratama, dan drumer Indra Massad, mengerjakan isian di rumah masing-masing. Berkirim berkas hasil rekaman jadi solusi. Lagu pertama yang mereka rekam dengan cara ini adalah ”Everything is Gonna Be Fine”.
”Walaupun mixing lagu itu sampai 20 kali, seenggaknya cara kerja begitu bisa dilakukan,” kata Riko. Lagu-lagu lainnya pun bermunculan, seperti ”Love You on Tuesday”, ”Farewell and Goodnight”, dan ”There’s a Light at the End of the Tunnel”. Dari semula berencana ”hanya” merilis mini album, mereka malah berhasil membuat album penuh berjudul Day by Day yang dirilis November 2020.
Walau dibikin di masa penuh keterbatasan, Mocca bersikukuh albumnya harus bernuansa optimisme, menyiratkan harapan. Di lagu ”There’s a Light at the End of the Tunnel” yang melibatkan Rekti Yuwono dari grup rock The Sigit, misalnya, ada larik yang berisi keinginan jika virus korona varian apa pun tuntas. ”Kumpul dengan teman”, ”pesta sepanjang hari”, dan ”bersenang-senang di konser” adalah terjemahan bebas dari lirik berbahasa Inggris itu.
Untuk menambah nuansa optimisme itu, Riko dengan sengaja menyisipkan white noise di semua lagu. Bunyi-bunyi subtil itu dipercaya mengingkatkan hormon yang menenangkan. Riko sendiri mengaku tidak bisa menangkap suara white noise itu. Mungkin pendengarnya bisa.
”Seenggaknya dari respons yang gue baca dari pendengar, mereka bilang merasa gembira mendengar lagu-lagu baru itu. Ada yang bilang ini lagu yang jadi penyemangat waktu dirawat di (RS Darurat Covid-19) Wisma Atlet. Ada juga yang pakai lagu Mocca sebagai pengiring olahraga ketika isolasi mandiri,” tutur Riko.
Respons itu menambah api bagi band untuk bikin karya baru lagi. Ketika dihubungi pada Jumat (16/7/2021), Riko bilang mereka sudah punya satu lagu baru. Menurut rencana, lagu itu akan dilepas dalam bentuk minialbum dengan dua tambahan lagu lama aransemen baru akhir Juli nanti.
Bersenang-senang
Serupa dengan Mocca, Didit Saad dan Elda Suryani dari duo Stars and Rabbit juga bertekad tetap produktif di masa pandemi. Pada 25 Juni 2021, mereka melepas album ketiga On Different Days yang materi awalnya dikerjakan dari rumah masing-masing. Penyatuan materi yang tercerai-berai di ponsel Elda dan Didit baru mereka olah bareng-bareng di studio rumahan di Jakarta Selatan. Dari remah hingga album siap edar ”cuma” makan waktu paling lama tiga bulan.
”Masa ’libur’ selama pandemi ini adalah waktu yang mahal buat musisi, punya waktu banyak untuk bikin sesuatu. Mau bikin konten media sosial, potongan lagu, mau lagu utuh, atau malah album sekalian, pokoknya kreatiflah,” kata Didit. Album kedua mereka, Rainbow Aisle, yang keluar sebulan sebelum pandemi, juga kelar dalam tempo singkat.
Meski bertekad tetap produktif, Didit dan Elda berupaya tidak memaksakan satu sama lain. Prinsip kerja mereka adalah bersenang-senang dan saling memberi respons pada lontaran ide. Ketika Elda kesulitan merancang nada vokal, misalnya, Didit merespons rekaman dalam bentuk gumaman kata (spoken words) belaka. Nyatanya, setelah diimbuhi musik, lahirlah lagu ”Time Traveller” dengan gaya vokal seperti membaca saja sebagai penutup album On Different Days.
Album itu dirancang dalam konsep yang detail. Elda, sebagai penulis lirik, mencatat bahasan apa pun yang mau mereka sampaikan dalam buku tulis dengan kertas cokelatnya. Mencatat topik itu dia lakukan sejak Mei sampai Agustus 2020. Pencatatan topik berhenti ketika mereka mulai menjadwalkan pemantapan lagu di studio.
”Topik-topiknya itu macam-macam banget yang berpusat pada harapan-harapan orang di sekitar kami. Topik (yang ditulis) berkembang dari tentang mencoba hal baru, tentang mengingatkan menyayangi diri, memprioritaskan diri, dan makin mengerucut ke self-empowering, begitu-begitu,” tutur Elda.
Rancangan itu tecermin dalam lagu ”Pretty Anticipated”, misalnya, yang menurut penulisnya bercerita tentang merayakan kehidupan, sesulit apa pun kondisinya.
”Bagiku pribadi, aku tidak pernah sekhusyuk itu merayakan hidup seperti di lagu. Itu harus dirayakan. Jadi, kalau kamu merasa senang setelah dengar lagu itu, memang seharusnya begitu,” ungkap Elda dengan semangat berapi-api.
Mereka mengaku menikmati proses melahirkan album dalam metode yang menyesuaikan zaman pandemi ini. Berkirim berkas audio atau sekadar mengobrol lewat sambungan video masih terasa menyenangkan. Bahkan, sebelum album ketiga itu dirilis, mereka sudah punya bahan untuk album keempat.
Penulis skenario Salman Aristo juga memanfaatkan masa pandemi dengan menyelesaikan album musik dalam proyek yang ia beri nama Ruang Potpuri Mimpi (RPM). Album berjudul Marah yang Kalah itu dirilis April 2021. Salman bernyanyi dan menulis lirik-lirik lagunya yang terkesan surealis dalam corak pop alternatif.
”Inspirasi (lagu-lagunya) dari kehidupan selama pandemi, orang mengunci diri, bekerja dari rumah, atau ke kantor, tetapi hanya ketemu satu-dua orang,” ujarnya.
”Terlalu banyak bingung, duka, marah, kecewa, tetapi ini semacam surat cinta untuk diri sendiri bahwa rasa marah itu bisa dikalahkan,” tambah Salman.
Ya, para musisi itu sedang mendendangkan getar-getar harapan pada jiwa-jiwa pendengarnya.