
Bang Ucok (Aminudin TH Siregar), dan Mas Hendro (Hendro Wiyanto), juga Mas Yus (Yuswantoro) langsung saja ya, saya suka surat-surat kalian. Saya selalu kagum pada Bang Ucok dan Mas Hendro yang luas pengetahuannya mengenai sejarah seni rupa Indonesia, bahkan detail-detailnya. Saya nimbrung ikut bersurat ya. Saya mencoba menariknya pada situasi medan seni rupa Indonesia. Kadang saya bertanya-tanya seberapa penting sih pemahaman sejarah seni rupa Indonesia itu untuk para seniman Indonesia masa kini, katakanlah para seniman kontemporer. Rujukan kita, seni rupa Barat, toh berkali-kali menganulir sejarah seni rupanya. Kadang mereka juga bilang ada banyak sejarah seni rupa. Bahkan mereka juga bilang sejarah seni rupa sudah berakhir.
Segala pandangan pada sejarah seni tersebut tak lepas dari praktik seni rupa kontemporer di Barat. Mereka beruntung memiliki sejarah yang menjadi rujukan, baik untuk afirmasi maupun negasi. Itu yang tidak kita miliki sehingga kita kerap merujuk sumber sejarah seni rupa Barat untuk memahami praktik seni rupa di sini. Barangkali setelah Bang Ucok menyelesaikan buku putih sejarah seni rupa Indonesia—yang progresif itu—kita akan memiliki landasan untuk menjejaki praktik seni rupa kita hari-hari ini.
Permasalahannya untuk kita di Indonesia (dan kebanyakan bangsa lain di luar Barat) praktik seni rupa modern/kontemporernya merupakan adopsi dari Barat, sebagaimana segala pranata kehidupan masyarakat modern. Perubahan di pusat—maaf saya tetap percaya bahwa mereka masih menjadi pusat dengan segala kepadatan diskursus dan praksis seni rupa kontemporernya—sedikit banyak memberikan pengaruh pada medan seni rupa Indonesia. Pada saat mereka meruntuhkan prinsip-prinsip modernisme dengan narasi tunggalnya, dan menawarkan prinsip multikultural dan pluralisme tentu berdampak pada praktik seni rupa di luar Barat, termasuk Indonesia. Kita ingat tahun 90-an seniman-seniman kontemporer Yogyakarta mulai kerap diundang dalam pameran-pameran internasional. Globalisasi dan kemudahan arus informasi mempercepat tersebarnya pengaruh wacana di pusat yang menjadi wacana global.
Tahun 90-an adalah tahun euforia bienal/trienal seni rupa internasional dan mulai membawa seniman-seniman dari wilayah pinggiran. Tahun 2000-an seni rupa global lebih sibuk dengan pasar, menandai era art fair internasional, dan pengaruhnya sampai juga di Indonesia. Tumbuh sikap karierisme seniman untuk berlomba masuk pasar arus utama. Tahun 2005-2008, seni rupa kontemporer Indonesia ikut mengalami booming.
Begini, yang kita bicarakan itu, kan, seni rupa otonom—ya ini istilah bermasalah sih, mana ada yang sepenuhnya bisa otonom di dunia ini—yang juga sampai di Nusantara di era kolonial. Seni otonom ini risikonya besar tanpa keberadaan landasan sejarah dan institusi seni. Namun, prinsip-prinsip masyarakat modern yang mengutamakan upaya individu ini menyediakan kemungkinan hadirnya para seniman individual sehingga sejak—bahkan sebelum—Indonesia merdeka menjadi negara modern kita telah mengenal para seniman individual tersebut. Itu, kan, pelukis-pelukis yang sering disebut oleh Bang Ucok, para seniman Persagi. Tokoh yang kita agungkan sebagai pengawal sejarah seni rupa Indonesia, Raden Saleh, kan, juga pelukis individual.
Baca juga : Takjub Ajoeb: Kepada Hendro Wiyanto
Seni rupa otonom bisa dikatakan merupakan revolusi estetik, yang kerap dikenal sebagai gerakan seni untuk seni, dengan melepaskan seni rupa—sebetulnya hanya seni lukis—dari segala urusan dunia yang dekaden, agar seni lukis dapat melaju terus mencari esensinya, dan mereka menggunakan istilah militer: garda depan. Seni lukis tak lagi mau menggambarkan realitas di luar dirinya. Itu yang kita kenal sebagai seni lukis abstrak. Karena itu seni otonom membutuhkan kelembagaan yang melindungi kemurniannya dari dunia yang banal, dengan membangun kuil-kuilnya, yaitu museum seni rupa dengan perangkat penjaga pintunya, para teoretikus, kritikus, dan kurator seni rupa modern. Kita tahu akhirnya prinsip-prinsip seni rupa modern menjebak dirinya sendiri sampai pada kebuntuan.
Setelah prinsip-prinsip modernisme bangkrut, ruang-ruang otonom ini, museum dan galeri terus dimanfaatkan untuk menampilkan karya seni yang cerewet bicara beragam persoalan di luar seni. Strategi otonom ini melanggengkan posisi sentral seniman, sebagai tokoh penting yang dianggap dapat memberikan insight melalui karyanya pada masyarakat. Masalahnya, strategi otonom ini kerap dikritik tak sesuai dengan kandungan pesan dalam karya-karya seni rupa kontemporer. Karya-karyanya tetap sangat berjarak dengan persoalannya—ini yang menjadi sasaran kritik para kolektif seni. Hal ini yang kerap disebut sebagai paradoks seni rupa kontemporer, sebab ruang-ruang otonom terbukti menjadi ujung tombak komodifikasi seni. Ruang-ruang otonom memang efektif untuk mengonstruksikan keistimewaan seniman kontemporer dan karya-karyanya.
Sejak tahun 80-an pasar seni rupa di Barat, melalui ruang-ruang otonom dan pelengkapnya, seperti art fair dan lelang tumbuh pesat. Dalam 20 tahun terakhir pasar seni rupa menyebar secara global, ke pusat-pusat ekonomi baru, di Asia dan Amerika Latin. Pada tahun 2012, menurut bank data Artifacts tercatat ada 216 art fair penting. Pasar seni rupa menyediakan karya seni sebagai komoditas mewah yang singular dan menjadi modal simbolik bagi pemiliknya yang merefleksikan kekayaan, cita rasa, berbudaya, kelas sosial, dan aset investasi. Lelang internasional dipenuhi berita karya seni dengan harga sangat mahal di luar nalar awam. Kritik dan wacana seni tak lagi menjadi komponen penting dalam urusan kualitas karya seni, pasar bisa sesuka-sukanya. Kritik digantikan oleh berita mengenai sensasi harga karya seni. Pendeknya ekses uang justru menjadi daya tarik pasar seni rupa.
Baca juga : Jurus Gerhana Aminudin TH Siregar
Tapi jangan lupa, di Barat booming dan penerimaan seni rupa sebagai modal simbolik oleh para elite kapitalis berlangsung lancar karena platform bagi keberadaannya sudah terbentuk lama. Tanpa itu, sulit terbentuk kesepakatan dan penerimaan mengenai pentingnya praktik seni. Di Barat praktik seni rupa sungguh-sungguh menjadi bagian kebudayaan yang menyentuh publik. Kendati seni rupa modern dan kontemporer elitis dan borjuis, namun kesadaran mengenai ”manfaat” seni rupa—mengenai hal ini kita butuh obrolan khusus—menyebabkan ruang-ruang museum dibuka selebar-lebarnya untuk kelas menengah, museum seni rupa sibuk dengan program-program edukasi. Seni rupa kontemporer dianggap penting karena menjadi refleksi kritis dari segala kegiatan manusia dan dunia. Seni rupa kontemporer juga terus membongkar, memperbarui, dan melebarkan metode praktik seninya.
Museum seni rupa di era kontemporer pun harus mengalternatifkan sajian pamerannya, dan menarik sebanyak mungkin pengunjung, untuk mendapatkan sokongan dana dari pemerintah dan sumbangan swasta, kendati belakangan terus berkurang nilainya—barangkali mereka berpikir, toh seni rupa sudah mulai dapat menyandarkan praktiknya pada pasar. Soal dukungan yang berlebihan dari pemerintah ini juga yang menimbulkan perlawanan dari para kolektif seni di sana karena seni rupa otonom terlalu berorientasi pada cita rasa dan kepentingan elite. Kolektif seni menjadi mantra baru mengenai ”manfaat” seni yang sesungguhnya, dengan klaim mengembalikan praktik seni rupa ke dalam masyarakat, dan saat ini dipandang menjadi kelompok seni yang seharusnya didukung pendanaannya. Pemilihan Ruang Rupa menjadi direktur artistik Documenta menjadi contoh nyata.
Berkaca pada Barat, atau di Asia seperti Jepang, Korea, China, dan negara mungil di sebelah, Singapura, kita bisa maklum bahwa praktik seni rupa kontemporer di Indonesia jalan di tempat saja. Banyak seniman istimewa dirugikan karena kondisi medan seninya yang tidak memiliki akar. Tidak tumbuh karena sangat jarang disirami. Kita tidak sungguh-sungguh menjalankan konsekuensi adopsi seni rupa dalam konteks masyarakat modern. Riuh rendah seni rupa kontemporer di Indonesia sesungguhnya sangatlah rendah. Dengan pengecualian Yogyakarta sebagaimana diutarakan Mas Yuswantoro. Kehebohan booming 2005-2008 yang juga sangat dipengaruhi booming seni rupa internasional tidak pernah akan terjadi lagi. Saat itu pasar dipenuhi spekulan yang dengan naif percaya bahwa karya seni yang mereka beli akan menjadi aset investasi yang menjanjikan. Pada saat mereka sadar tidak demikian halnya, mereka tobat menjadi pembeli karya seni. Dengan landasan yang rapuh.
Baca juga : Setelah Dua Gerhana
Maka, wacana, pemikiran, dan praktik seni rupa kontemporer Indonesia sesungguhnya masih dalam gerhana. Salah satu sebab utama, pemerintah, baik pusat dan daerah, tidak pernah sungguh-sungguh menganggap penting seni rupa—atau tidak paham bahwa seni rupa dapat diberdayagunakan untuk berbagai manfaat, sebagai praktik budaya simbolik, seni rupa merupakan wadah bagi kreativitas, inovasi, imajinasi, kritik, refleksi, identitas, dan ekonomi. Padahal kita adalah bangsa besar dengan jumlah penduduk nomor empat di dunia dan selalu membanggakan diri sebagai bangsa berbudaya. Tapi, ya, begitulah nasib seni rupa di Indonesia, makanya saya setuju dengan Bang Ucok, bahwa seni rupa kita tidak baik-baik saja. Jauh dari kondisi baik, masih terus tertutup gerhana. Kita harus terus-menerus mengulang-ulang betapa tak pedulinya pihak-pihak formal pada dunia seni rupa kontemporer. Sementara itu, tentu saja kita jangan menyerah terus bergerilya melalui kegiatan seni rupa, sesuai perannya masing-masing.
ASMUDJO J IRIANTO
Kurator dan Seniman
Catatan:
Dengan dimuatnya tulisan ini, polemik tentang seni rupa Indonesia kami akhiri. Diskusi bisa dilanjutkan di ruang-ruang lain, seperti media sosial atau grup WA.