Berharap Mukjizat, Merawat Harapan
Imajinasi tidak terbatas, tetapi kemampuan akal manusia sangat terbatas. Ketika menghadapi pandemi Covid-19 yang tidak berkesudahan, kita berharap ada mukjizat untuk merawat harapan dan menjaga ketahanan.
Imajinasi tidak terbatas, tetapi kemampuan akal manusia sangat terbatas. Ketika menghadapi pandemi Covid-19 yang tidak berkesudahan, kita berharap ada mukjizat untuk merawat harapan dan menjaga ketahanan dalam menghadapi virus yang gaib.
Lini Natalini Widhiasi (57), seniman asal Surabaya, menghadirkan karya instalasi yang diberi judul ”Resurraction” (2021). Ia menggunakan media aluminium dan cat besi. Karya itu dipajang di dinding yang memiliki tinggi 10 meter dan lebar 6,7 meter.
”Resurraction” merupakan lukisan di atas delapan bidang aluminium dalam bentuk yang tidak beraturan. Ada bagian bidang aluminium yang ditekuk, lalu dipahat atau ditempa, kemudian dilukis. Di dalam karya instalasi itu Lini melukis 16 figur wajah manusia. Wajah-wajah itu hadir di sela goresan abstrak di antara lekukan dan potongan lembar aluminium.
”Lekukan-lekukan di lembar aluminium itu akibat tekanan oleh Covid-19. Covid-19 menekan ego seseorang, menekan keyakinan seseorang, menekan profesi seseorang, dan seterusnya,” kata Lini.
Karya Lini itu ditampilkan di Sangkring Art Space, Yogyakarta, bersama sembilan patung lainnya. Karya itu hadir bersama karya-karya Made Wianta (1949-2020), Nyoman Nuarta (69), dan karya 86 seniman peserta Yogya Annual Art (YAA) #6.
Berikut pula 18 seniman yang tergabung di L Project, yang diinisiasi Gallery Linda dari Jakarta, menghadirkan 29 karya secara fisik, beserta karya puluhan hingga ratusan seniman L Project yang dipamerkan secara daring.
Karya-karya seni rupa itu dikemas bersamaan di Sangkring Art Space untuk dipamerkan pada 5 Juli hingga 31 Agustus 2021. Setelah dibuka dengan audiens terbatas, pameran ini langsung ditutup sementara selama pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat hingga 20 Juli 2021.
Lini bercerita, sejak lama dirinya mengincar bidang dinding di depan Sangkring Art Space agar suatu saat bisa menampilkan karyanya di situ. Enam bulan sebelum YAA#6 berlangsung, seniman yang juga pemilik dan pengelola Sangkring Art Space, Putu Sutawijaya, menawari Lini untuk mengisi dinding itu.
Lekukan-lekukan di lembar aluminium itu akibat tekanan oleh Covid-19. Covid-19 menekan ego seseorang, menekan keyakinan seseorang, menekan profesi seseorang, dan seterusnya.
Lini gembira. Ia menyambut dan segera membuat agenda kerjanya. Lini memutuskan waktu satu bulan sebelum YAA untuk memulai mengerjakan karya di studionya di Surabaya. Lini menjadwalkan antara 1 dan 2 Juli 2021 karyanya itu harus terpasang di dinding Sangkring.
”Karya saya bawa dengan truk dari Surabaya ke Yogyakarta. Saya ikut naik truk itu,” ujar Lini, yang tiba di Sangkring pada 1 Juli sore dan mulai dibayangi kesulitan kembali ke Surabaya karena pemberlakuan PPKM darurat mulai 3 Juli.
Pemajangan dikebut. Dimulai petang hari hingga selesai dini hari sekitar pukul 01.30 pada 2 Juli 2021. Sesudahnya, Lini memesan tiket kereta api dan kembali ke Surabaya hari itu juga dan berangkat pukul 11.00. ”Kalau saja saya terlambat satu hari untuk kembali ke Surabaya, jalan sudah banyak yang ditutup,” ujar Lini.
Tidak berhenti
Di tangan seniman patung Nyoman Nuarta (69), mukjizat yang sering dianggap tidak rasional menjadi inspirasinya. Berharap mukjizat justru menguatkan harapan di masa pandemi ini. Dari sinilah lahir karya patung yang diberi judul ”Moses” (2021).
”Patung ’Moses’ diilhami situasi sekarang, situasi pandemi yang tidak jelas kapan akan berhenti. Kita tidak boleh berhenti. Kita membutuhkan kekuatan tertentu, seperti kekuatan mukjizat Moses yang membelah Laut Merah,” ujar Nuarta di Bandung dalam suatu perbincangan melalui telepon, Rabu (7/7/2021).
Patung ”Moses” memperlihatkan sosok laki-laki tua dengan kedua tangan terangkat memegang tongkat. Laki-laki itu terlihat sangat kecil di tengah deru ombak laut terbelah yang bergejolak ingin menyatu kembali. Patung laki-laki yang terlihat kecil di tengah ombak tinggi itu terlihat penuh kuasa. Ia mengendalikan deru ombak itu. Dialah Moses atau yang kita kenal sebagai Nabi Musa.
Nuarta memiliki kekhasan membuat patung yang disertai efek bergerak. Kekuatan ini menghidupkan kesan gerak gelombang air laut dari dua sisi yang sedang menderu. Ombak itu terkesan seram. Ini seperti peristiwa Moses sesudah membelah air laut hingga membuat dasarnya mengering. Bani Israel yang dipimpinnya kemudian melintasi dasar laut itu dan membebaskan diri mereka dari penindasan Mesir.
”Saya bermimpi akan ada mukjizat seperti itu. Akan ada kekuatan tertentu yang bisa membuat Covid-19 ini tiba-tiba menghilang,” ujar Nuarta, seraya menjelaskan dimensi patung ”Moses” 350 sentimeter (cm) kali 250 cm dengan tinggi 170 cm.
Mukjizat Moses tertulis di kitab-kitab suci. Meskipun demikian, Nuarta melihat banyak orang tetap memiliki keraguan antara ya dan tidak tentang mukjizat Moses itu.
Begitu pula ketika menghadapi Covid 19. Masih banyak orang meragukan Covid-19 itu benar nyata atau tidak meski korban di belahan negara mana pun sudah banyak berjatuhan.
Melalui patung ”Moses”, Nuarta mempertegas, setidaknya mimpinya tentang mukjizat yang akan menghilangkan Covid-19 mampu terus menyalakan harapan dan usaha-usaha kita dalam menghentikan keganasan virus. Nuarta bercerita tentang beragam usaha sesuai protokol kesehatan ditempuh di tempat kerjanya. Akan tetapi, masih saja ada orang-orang dekat atau karyawannya yang terkena Covid-19.
Saya bermimpi akan ada mukjizat seperti itu. Akan ada kekuatan tertentu yang bisa membuat Covid-19 ini tiba-tiba menghilang.
Selain karya-karya patung Nuarta dan Lini, ditampilkan pula sejumlah lukisan karya Made Wianta. Karya Wianta tidak hanya lukisan yang menggunakan cat di atas bidang kanvas, tetapi juga menggunakan paku-paku yang ditancapkan di bidang lukisnya.
”Karya Wianta puitis, tidak berteriak, tetapi ’menusuk’. Ada elemen paku dan jarum mewakili kekerasan. Elemen benang, kain, dan tali mewakili kelembutan,” ujar kurator Yogya Annual Art (YAA) #6 Kris Budiman.
Memupuk semangat
Merawat harapan di masa pandemi juga menjadi napas karya seniman para peserta YAA#6. Salah satu di antaranya, seniman Djoko Pekik lewat karya lukisannya yang berjudul ”Senam” (2021, cat minyak di atas kanvas, 140 cm x 110 cm).
Djoko Pekik melukis potret diri dengan dada terbuka, hanya mengenakan celana panjang bertali pinggang yang tergerai panjang pula. Gerak tangannya menunjukkan Djoko Pekik sedang bersenam.
Pembatasan mobilitas masyarakat di masa pandemi bukan berarti menjadi pembatasan aktivitas seseorang untuk merawat kesehatan masing-masing. Justru dengan adanya pandemi, masyarakat harus meningkatkan ketahanan fisik mereka. Djoko Pekik menorehkan semangat itu.
Seniman patung Adi Gunawan lewat karyanya yang diberi judul ”Dicokot Asu” (2021, fiberglass, 120 cm x 60 cm x 105 cm) membuat metafora unik. Adi memiliki kekhasan membuat patung figur seorang laki-laki gemuk, pendek, dan berambut kribo.
Adi membuat patung laki-laki berposisi seperti tokoh fiksi Superman yang ingin berkelebat terbang. Akan tetapi, ia urung terbang karena selempangnya digigit seekor anjing. Adi memberi metafora pembatasan mobilitas di masa pandemi dengan caranya yang unik. Laki-laki super seperti Superman pun urung terbang di masa pandemi, ketika diingatkan oleh seekor anjing. Anjing itu menggigit selempangnya.
Seniman Putu Sutawijaya menampilkan lukisan yang diberi judul ”Hidup Bertumbuhan” (2021, akrilik di atas kanvas, 200 cm x 300 cm). Putu melukis sebuah ranjang tidur lengkap dengan dua bantal di atas tanah yang ditumbuhi rerumputan. Di sekelilingnya juga dipenuhi tetumbuhan dan bunga-bunga putih.
Putu menyuguhkan metafora alam dalam kesunyian pandemi yang mendapat kesempatan lebih baik untuk bertumbuh. Pembatasan mobilitas mengurangi kebisingan serta polusi udara. Tetumbuhan pun tumbuh lebih baik.