Memainkan Bung Karno membutuhkan persiapan yang matang mengingat proklamator itu memiliki karisma yang dibutuhkan seorang pemimpin. Juga banyak buku dan publikasi yang harus dikaji biar hasilnya mantap.
Oleh
Putu Fajar Arcana
·4 menit baca
Aktor dan sutradara Wawan Sofwan sudah 20 tahun menjadi Bung Karno. Selama itu, tak hanya pidato-pidato politik Sang Proklamator yang ia hapalkan, tetapi lebih-lebih adalah sikap hidup pantang menyerah sebelum tujuan tercapai. Nilai inilah yang ingin ditegakkan oleh Wawan lewat permainan monolog.
Tepat pada peringatan 120 tahun kelahiran Presiden RI pertama Soekarno, Minggu (6/6/2021), Wawan bersama Suarahgaloka meluncurkan serial monolog Bung Karno: Besok atau Tidak Sama Sekali di kanal Youtube Suarahgaloka. Pada seri pertama dari enam seri monolog ini, Wawan memainkan lakon Menuju Pencerahan. Monolog seri ini ditulis oleh Faizal Syahreza.
Menuju Pencerahan mengisahkan tentang kegundahan Bung Karno saat-saat akan membacakan teks proklamasi. ”Aku tidak akan membacakan teks proklamasi ini kalau Hatta tidak ada. Aku memerlukan dia. Aku seorang Jawa dan Hatta dari Sumatera. Demi persatuan, aku memerlukan seorang dari Sumatera. Hatta adalah pilihan yang paling baik agar bisa menjamin datangnya dukungan dari rakyat,” kata Bung Karno.
Ketika duduk di kursi tamu, Bung Karno merasa lelah. Ia tidak tidur selama beberapa hari, ditambah penyakit malarianya yang kambuh. Saat-saat seperti itulah ia ingat masa-masa pembentukan awal karakter dirinya, yakni saat tinggal di rumah Cokroaminoto di Surabaya. Menurut Wawan, enam seri Bung Karno yang ia mainkan dan disiarkan lewat kanal Youtube menjadi puncak dari seluruh pergumulannya dengan tokoh sekelas Bung Karno.
Setelah 20 tahun berlalu, katanya, tiba-tiba hatinya tergerak ingin melakukan ziarah ke makam Bung Karno di Blitar, Jawa Timur. ”Padahal saya sudah memainkan Bung Karno sejak lama, sampai dibawa ke luar negeri, tapi baru kali ini akhirnya berziarah ke Blitar,” kata Wawan.
Tentu, katanya, ziarah makam tidak serta-merta bisa diartikan sebagai ”klenik”. ”Ini semacam mohon restu dan minta izin karena saya telah memainkan karakternya Bung Karno,” ujarnya, Kamis (10/6/2021) di Jakarta.
Menurut Wawan, memainkan Bung Karno membutuhkan persiapan yang matang mengingat proklamator itu memiliki karisma yang dibutuhkan seorang pemimpin. Apalagi, banyak buku dan publikasi yang harus dikaji dan dipilah-pilah untuk menghasilkan satu lakon kehidupan yang utuh.
Pendekatan biografis
Enam seri monolog yang akan ditayangkan secara berkesinambungan ini bertajuk, Aku Bukan Boneka Jepang (Deni Lawang); Fatmawati (ED Jenura); Menuju Pencerahan (Faizal Syahreza); Inggit (Ratna Ayu Budhiarti); Besok atau Tidak Sama Sekali (Wawan Sofwan); dan Suluh Indonesia Muda (Wawan Sofwan).
Tayangan ini juga melibatkan aktris Maudy Koesnaedi yang memerankan tokoh Inggit Ganarsih dan penyair Ratna Ayu Budhiarti sebagai Ida Ayu Nyoman Rai, ibunda Bung Karno.
Menurut Wawan, ia sengaja melibatkan para penulis lain agar benar-benar mendapatkan kompilasi data dan fakta yang mendekati kebenaran tentang Bung Karno. ”Jadi pendekatannya memang biografis, artinya Bung Karno menceritakan perjalanan hidupnya sejak muda sampai kemudian memimpin bangsa Indonesia,” kata Wawan.
Meski begitu, pendekatan ini tidak lantas mendominasi pertunjukan. Bersama orang-orang seperti Vicky Mono (soundtrack) dan Bulqini yang memberi sentuhan pada set visual design, membuat monolog ini mendekati tayangan teater cinema. Secara visual ia tidak benar-benar menjadi sebuah film, tetapi pertemuan antara teknik cinematografi dan teater panggung.
Sejak pandemi awal 2020, kata Wawan, bersama beberapa seniman Bandung, ia terus berupaya mencari celah di mana teater bisa ambil bagian dalam banjir kultur digital. Dunia digital telah menjadi keniscayaan, ketika segenap pembatasan bertemu dan berkumpul dihadapi manusia. ”Teater tak boleh mati. Pasti ada cara untuk mempresentasikannya ke hadapan publik,” kata Wawan.
Enam seri tentang Bung Karno inilah jawaban Wawan dan kawan-kawan agar dunia teater, secara khusus monolog, tetap hidup di tengah-tengah publik yang sedang dirundung berbagai kecemasan.
Ketika Bung Karno sedang bermonolog di ruang tamu rumahnya, setiap saat dinding ruangan berubah menjadi layar digital. Lalu meluncur tayangan-tayangan kilas balik tentang masa kecil, pesan ibu, latar rumah masa lalu, foto-foto keluarga Cokroaminoto, atau apa pun yang dianggap perlu ditunjukkan sebagai penguat kisahan. Cara semacam ini memudahkan pemirsa mengikuti cerita, karena sebagai aktor Wawan tetap berada di panggung, tetapi kisah tentang masa lalu dimunculkan lewat voice over.
Kisah masa lalu ketika Ida Ayu Nyoman Rai melepas Soekarno kecil untuk belajar di HBS (Hogere Burgerschool) Surabaya misalnya, ditayangkan sebagai siluet yang diperankan Ratna Ayu Budhiarti. Setelah melakukan ritual pelepasan anaknya (Soekarno kecil), Nyoman Rai berkata, ”Jangan sekali-sekali kau lupakan, kau adalah Putra Sang Fajar.” Dialog itu dinukilkan secara voice over sehingga tidak memecah perhatian kepada Bung Karno yang sedang bercerita.
Para perancang visual monolog ini, kata Wawan, tidak memilih melakukan inset gambar-gambar, karena akan menggiring pementasan ke arah tayangan sebuah film. ”Ini tetap menjadi peristiwa panggung, yang dilengkapi layar digital sebagai latar belakangnya,” kata Bulqini. Metode ini, katanya, mememperkuat aura sebuah pementasan dan bukan sedang menonton sinetron atau film.
Di luar berbagai upaya teknis itu, sebagai aktor Wawan punya tanggung jawab moral untuk memunculkan tokoh-tokoh nasional seperti Bung Karno, dalam bentuk yang paling dekat dengan kehidupan kita dewasa ini.
”Ya, kita harus hidupkan sosoknya, lalu sampaikan peran pentingnya dalam kehidupan berbangsa. Itu bentuk apresiasi generasi masa kini kepada pendiri bangsa,” tegasnya.