Festival Sinema Australia Indonesia kembali lagi menyapa meskipun digelar secara virtual pada tahun ini.
Oleh
Riana A Ibrahim
·4 menit baca
Di tengah masa yang tidak pasti, asa dan mimpi tak boleh mati. Bertutur lewat sejumlah film menjadi jalan menyebarkan semangat tersendiri. Bukan hanya menawarkan pengalaman menonton, sejumlah kelas untuk mendalami ilmu perfilman juga dihadirkan untuk menjaga api mimpi.
Festival Sinema Australia Indonesia (FSAI) kembali lagi menyapa meski digelar secara virtual pada tahun ini. Ada delapan film layar lebar, baik film mancanegara maupun film Indonesia, yang akan diputar selama 18-27 Juni 2021. Film dengan beragam genre itu dipilih karena keunggulannya menyoroti sejarah, keragaman, dan kreativitas.
Sejak dimulai penyelenggaraannya pada 2016, festival sinema ini hanya menyasar kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Makassar, dan Yogyakarta. Namun, kondisi kali ini yang mengharuskan festival ini digelar secara virtual, justru membuka peluang bagi semua orang di penjuru Nusantara yang ingin ikut menyaksikan film-film di festival ini.
”Mungkin ini jadi kelebihan di tengah pandemi ini. Kami bisa menjangkau semua orang di pelosok negeri ini untuk ikut dalam Festival Sinema Australia Indonesia ini meski kami tetap berharap pandemi segera usai dan dapat menggelar secara langsung,” ujar Wakil Duta Besar Australia untuk Indonesia Allaster Cox dalam jumpa pers yang digelar pada Jumat (4/6/2021).
Adapun delapan film yang dimaksud adalah The Furnace, Combat Wombat, Jaimen Hudson: From Sky to Sea, Relic, Dirt Music, H for Happiness, Pendekar Tongkat Emas, dan Milly & Mamet. Sebagian jelas bukan film baru, tetapi sesuai dengan pesan dan tema yang diantarkan.
The Furnace, misalnya. Film yang dipilih sebagai tayangan pembuka festival ini keluaran tahun 2020. Namun, kisah petualangan penunggang unta asal Afghanistan bersama penduduk lokal yang ingin mengamankan dua batang emas bertanda mahkota ini mengajak penonton menyambangi Australia barat pada 1897, masa gold rush.
Selain itu, diungkap juga fakta sejarah yang terlupakan antara para penunggang unta dari timur tengah dan orang aborigin. Pesan terkait kejujuran dalam menjaga mimpi dan mengalahkan keserakahan menjadi benang merah, sekaligus terasa relevan dengan masa kini.
Film besutan tahun 2020 dalam wujud animasi berjudul Combat Wombat juga ditampilkan. Meski berbalut tokoh kartun, film untuk semua umur ini mengedepankan tentang kesetaraan terhadap perempuan dan membongkar konspirasi untuk menyelamatkan kota. Bahwa perempuan juga terampil untuk memerangi kejahatan.
Kemudian ada juga drama romantis Dirt Music yang justru tayang tahun 2019. Cerita tentang seorang perawat yang pernah gagal dalam hidup dan mengejar cintanya ini mengambil latar wilayah Australia barat. Film yang juga hadir pada 2019 berjudul H for Happiness merupakan film keluarga yang berlokasi di kota pesisir Australia.
Kisah yang ringan dan menyentuh tentang menyatukan keluarga sebagai mimpinya, tetapi diambil dari sudut pandang anak-anak terasa sesuai dengan latar kota pesisir Australia yang berwarna, meski di balik kisah itu mengangkat mengenai isu kesehatan mental dari sisi anak-anak dan menuturkan bagaimana perjuangannya untuk bertahan.
Film terbaru yang ditampilkan kali ini adalah dokumenter bertajuk Jaimen Hudson: From Sky to Sea. Berlatar pantai Barat Daya Australia, dokumenter ini menyoroti sosok Jaimen yang duduk di atas kursi roda dengan kondisi quadriplegia. Situasi yang dialaminya tidak lantas menyurutkan asa dan mimpinya.
Sejak kecil, Jaimen ingin membuat film di bawah air. Setelah berhasil menjadi sinematografer, ia pun mewujudkan mimpinya untuk membuat film di bawah air. Kondisinya tak menghalanginya. Karyanya yang mampu memotret kehidupan bawah laut, dari paus, lumba-lumba, dan lain-lain, dinikmati dan diapresiasi banyak orang seluruh dunia.
Bilateral
Seperti biasa, festival ini juga merupakan bentuk perwujudan kedekatan hubungan Australia dan Indonesia dalam perfilman sehingga dihadirkan juga film Indonesia. Kali ini, giliran Pendekar Tongkat Emas yang dibesut salah satu peraih Australia Alumni Award, Mira Lesmana. Ada juga komedi romantis yang merupakan spin-off dari Ada Apa dengan Cinta?, yaitu Milly dan Mamet.
Meski jauh berbeda genrenya, dua film ini sama-sama bercerita mengenai kegigihan mengejar mimpi dan menjaga asa. Mamet yang diperankan Dennis Adhiswara mengambil keputusan berani mengikuti hasratnya untuk memulai bisnis kuliner dan tak lagi bergantung menjalankan perusahaan mertuanya.
Sementara Pendekar Tongkat Emas menunjukkan kegigihan Eva Celia dengan dibantu Nicholas Saputra mempertahakan warisan dari gurunya agar tidak disalahgunakan oleh orang jahat. Langkah yang diambil Eva sekaligus menjaga harapan perdamaian dari banyak padepokan yang ada.
Seperti yang sudah disebutkan, festival kali ini juga membuka kelas masterclass yang dilakukan secara virtual. Ada tiga kelas seminar masterclass yang akan dipandu oleh aktris Marissa Anita yang juga merupakan alumni Australi. Tiga kelas tersebut meliputi animasi, promosi film, serta sinematografi dokumenter.
”Jadi, nanti langsung pakarnya yang akan memberikan materi. Film-film dari beberapa pakar ini juga diputar di festival ini,” ujar Marissa yang sepanjang kuliah di Sydney, Australia, juga aktif dalam kegiatan teater yang membantu karier seni peran yang dilakoninya kini.
Bagi yang tertarik bisa langsung akses fsai2021.com. Semuanya gratis. Siap jemput mimpi dan lambungkan asamu?