Merawat Kampung Halaman, Merawat Masa Depan
Dengan memelihara rumah dan kampung halaman sebagai memorabilia, orang-orang Lasem lebih terang melihat masa depan.
Rumah, kampung halaman, berikut segala kenangan yang tersimpan di sana adalah akar identitas. Juga tempat pulang untuk menegaskan jati diri. Dengan memelihara rumah dan kampung halaman sebagai memorabilia, orang-orang Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, lebih terang melihat masa depan.
Memasuki daerah pecinan Lasem, pada Senin (24/5/2021), waktu terasa ditarik mundur ke belakang. Di daerah ini terdapat lorong-lorong panjang dengan tembok yang tinggi dan tebal di kiri-kanan jalan. Di balik tembok tebal tersebut, terdapat mansion atau rumah besar dengan ciri khas China, Jawa, dan Indische Empire khas Belanda, yang dilengkapi pekarangan. Rumah-rumah itu usianya sudah ratusan tahun dan diwariskan secara turun-temurun.
Beberapa rumah masih terawat dengan keaslian bentuk bangunan. Rumah-rumah itu sebagian tetap dijadikan tempat tinggal, ada pula yang dipakai untuk usaha batik, penginapan, rumah makan, warung kopi, dan tempat bimbingan belajar. Di luar itu, ada rumah-rumah yang kurang terawat. Atapnya bolong, tembok kotor terkena rembesan hujan, atau cat kayu terkelupas. Beberapa rumah bahkan sudah dirobohkan.
Rudi Siswanto (38), juragan batik dari Rumah Batik Kidang Mas, merasa sedih ketika melihat ada rumah-rumah yang ”dimutilasi”, sebutan untuk rumah-rumah kuno yang sebagian bentuk bangunannya sudah dipotong atau diubah mengikuti kebutuhan pemilik.
”Kalau melihat ada bangunan yang berubah, saya merasa ada sebagian diri yang hilang,” kata pria yang merupakan generasi keenam penghuni rumah kuno di Desa Babagan, Lasem, ini.
Rudi menyimpan kenangan pada lorong jalan, dinding kota, dan bangunan-bangunan tua itu. saat melihat bagian-bagian kota tadi, keceriaan masa kecilnya berkelebat-lebat. Maka merobohkan bangunan sama dengan menumbangkan keceriaan itu.
Waktu masih kecil, Rudi sering diajak oleh orang tua membeli makanan kecil di ruko-ruko khas pecinan di belakang Kompleks Masjid Jami Lasem. Kini, ruko-ruko dengan bentuk bangunan khas itu sudah dirobohkan. Setiap melintasi daerah itu, Rudi merasa nostalgia masa kecilnya lenyap ditelan oleh zaman.
Perubahan wajah daerah yang sering disebut sebagai ”Tiongkok Kecil” itu terjadi karena Lasem sempat ditinggalkan oleh generasi muda, atau rumah-rumah kuno hanya dihuni oleh pasangan tua. Hal ini terjadi karena pada 1959, Pemerintah Indonesia melarang masyarakat Tionghoa untuk berdagang eceran di predesaan termasuk Lasem.
Hampir semua anak muda kemudian tinggal di kota besar. Hanya sedikit anak muda yang kembali ke Lasem pada saat berlibur. Dampaknya, Lasem mengalami kemunduran.
Kebijakan tersebut menyebabkan masyarakat Tionghoa memindahkan perdagangannya ke kota besar. ”Hampir semua anak muda kemudian tinggal di kota besar. Hanya sedikit anak muda yang kembali ke Lasem pada saat berlibur. Dampaknya, Lasem mengalami kemunduran,” jelas pendiri komunitas Kesengsem Lasem, Agni Malagina.
Orang-orang tua yang tinggal di Lasem tak punya cukup dana untuk memperbaiki rumah. Sementara generasi mudanya sudah terbiasa hidup mapan di kota besar. Mereka enggan kembali ke Lasem karena tidak ada lapangan pekerjaan. Pemilik rumah yang sudah tidak tahan akhirnya menjual bangunan lama khas Lasem kepada orang lain.
Rudi juga sempat meninggalkan Lasem terbawa arus urbanisasi. Dia kuliah di Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang. Lalu, pada 2004-2014 ia bekerja sebagai konsultan di Jakarta. Rumahnya di Lasem hanya dihuni oleh orangtua yang bekerja sebagai pengusaha batik.
Kesadaran untuk pulang
Suatu hari, teman-temannya di kantor memesan batik Lasem. ”Saya menelepon mami-papi, minta dikirimi batik. Begitu batik sampai di Jakarta, teman-teman menertawakan karena saya enggak bisa menjelaskan makna batik. Dari situ, saya mulai kepikiran,” katanya.
Seiring waktu, orangtuanya mulai sakit-sakitan. Rudi kemudian memutuskan pulang kampung untuk merawat mereka dan meneruskan usaha batik keluarga. Dari tiga bersaudara, Rudi satu-satunya anak yang mau pulang. Kedua kakaknya menolak kembali.
Pulang ke Lasem berarti turut menghidupkan wajah kota itu. Ketika banyak rumah batik gulung tikar karena tidak ada penerusnya, Rumah Batik Kidang Mas bergeliat. Di Lasem, Rudi melestarikan peninggalan leluhur, termasuk merawat rumah kuno yang dibangun dengan perpaduan kebudayaan Tionghoa dan Jawa.
Di rumah yang berada di atas lahan seluas 1.300 meter persegi, ia menjalani kegiatan sehari-hari. Rumah itu terdiri dari tiga bagian. Bagian depan adalah pekarangan dan pendopo untuk menerima tamu. Di tengah rumah terdapat altar sembahyang dan kamar tidur. Di bagian belakang terdapat beranda untuk dapur dan tempat makan. Selain sebagai tempat tinggal, rumah juga dipakai bekerja puluhan perajin batik.
Rudi kini mempersilakan orang masuk, sesuatu yang dulu tabu karena ibunya tak nyaman jika orang asing masuk rumah. Dengan cara ini, usaha batiknya berkembang. Kini, Rudi mempekerjakan 60 perajin batik. Sebagian pendapatan dipakai untuk merawat bangunan rumah yang usianya ratusan tahun.
Rudy Hartono (46), pemilik Rumah Merah Tiongkok Kecil Heritage, juga punya cerita yang menarik. Kalau dulu Rudy menganggap rumah-rumah kuno di Lasem tidak ada nilainya, kini pikirannya terbuka. Rudy memperbaiki bangunan rumah yang rusak parah.
Ide untuk merawat bangunan kuno muncul setelah Rudy melihat Candra Naya, sebuah bangunan cagar budaya di Jakarta. Bangunan ini memiliki arsitektur Tionghoa yang khas dan merupakan salah satu dari dua kediaman rumah mayor Tionghoa Batavia yang masih berdiri.
Saat itu, Rudy sering bolak-balik dari Rembang ke Jakarta untuk berjualan barang elektronik. Keindahan arsitektur Candra Naya mengingatkan Rudy pada kampung halamannya di Lasem. Memasuki 2010-2011, Rudy blusukan ke desa-desa mencari rumah kuno yang dijual. Pada 2012 hatinya tertambat di rumah kuno dengan gaya China dan kolonial Belanda. Meski tidak ada data tertulis, bangunan diprediksi sudah ada sejak tahun 1800-an.
Ketika saya beli, rumah rusak parah. Rumah dijadikan sarang burung walet dan kondisinya tidak terawat
”Ketika saya beli, rumah rusak parah. Rumah dijadikan sarang burung walet dan kondisinya tidak terawat,” ujarnya.
Rudy kemudian memperbaiki rumah itu. Ia mengecat tembok rumah dengan warna merah menyala. Tanpa mengubah bentuk aslinya, ia memperbaiki rumah untuk penginapan. Viola! Kini jadilah rumah merah yang menjadi salah satu bangunan ikonik di Lasem. Rumah itu selalu menarik perhatian pengunjung yang datang ke Lasem karena warnanya yang genjreng.
Secara keseluruhan, kini Rudy merawat rumah kuno di atas lahan seluas 9.000 meter persegi. Rumah di atas lahan 4.000 meter persegi dipakai untuk tempat tinggal, sementara rumah di atas lahan seluas 5.000 meter persegi dipakai untuk tempat wisata, seperti penginapan, rumah makan, dan toko batik. Ia sangat senang karena sejak 2015, tamu berdatangan ke Lasem.
Mereka yang berkunjung ke Lasem bukan hanya turis, melainkan juga akademisi, peneliti, dan praktisi cagar budaya nasional. Bagi Rudy, kehadiran tamu-tamu ini memberi warna dalam kehidupannya. Ia jadi berkenalan dengan orang-orang dari berbagai latar belakang dan mendapat pengetahuan mengenai cagar budaya.
Ekawatiningsih juga kembali ke Lasem setelah ibunya mulai sakit-sakitan. Sebelumnya, selama 30 tahun Eka merantau di Semarang. Kembali ke Lasem, Eka sempat merasa kebingungan. Bersosialisasi juga sulit karena teman masa kecilnya sudah pindah daerah.
Eka kemudian mendapat ide untuk menghidupkan kembali tradisi membatik yang diturunkan oleh kakeknya. Di rumah batik Lumintu di Jalan Sumbergirang, ia juga merawat rumah kuno berusia 200 tahun. Upayanya ini mengikuti pesan sang ibunda. ”Ibu saya juga yang paling berjasa. Kalau ibu tidak kuat iman, barang-barang antik di dalam rumah ini sudah dijual,” ujarnya.
Identitas kota
Ketua Tim Ahli Cagar Budaya Nasional Junus Satrio Atmojo menuturkan, merawat bangunan-bangunan kuno, seperti rumah, sekolah, tempat ibadah, dan stasiun, yang termasuk cagar budaya nasional merupakan upaya untuk mempertahankan identitas masyarakat dan identitas suatu kota.
Bayangkan kalau bangunan-bangunan khas Lasem dirobohkan kemudian dibangun kota baru yang modern, tentu Lasem kehilangan identitasnya.
”Bayangkan kalau bangunan-bangunan khas Lasem dirobohkan kemudian dibangun kota baru yang modern, tentu Lasem kehilangan identitasnya,” jelasnya.
Apabila bangunan-bangunan bersejarah hilang, kekaguman masyarakat pada kota lama juga akan hilang. Selanjutnya digantikan kesan-kesan negatif mengenai masyarakat yang tidak peduli dengan warisan budaya.
Situasi serupa terjadi di banyak daerah di Indonesia. Kawasan pecinan di Glodog, Jakarta, misalnya sudah banyak berubah bentuk.
Menurut dia, seiring karakter arsitektur yang hilang, karakter masyarakat juga bisa hilang.
Begitulah, memelihara memorabilia berarti memelihara kenangan, memelihara masa depan.