"I Am All Girls" bermuara tak hanya menjadi tontonan berbobot dengan menyelami karut-marut mentalitas lakonnya tetapi juga mengangkat persoalan global. Emosi yang tercabik menyiksa para korban sekaligus penegak hukumnya.
Oleh
KOMPAS/DWI BAYU RADIUS
·5 menit baca
Tema perdagangan manusia yang terbilang jarang diangkat ke layar lebar, diketengahkan dengan lugas lewat I Am All Girls. Disertai latar pelecehan seksual anak, film itu membawa pesan aktual sekaligus menggali psikologis lakon-lakonnya secara mendalam.
Gert de Jager (JP du Plessis) menuturkan pengakuan mengejutkan. Ia menculik enam perempuan di Johannesnurg, Afrika Selatan dan tak pernah ditemukan. “Hilang. Bukan hanya mereka korbannya seperti yang kalian ketahui,” ujarnya dengan datar.
Ternyata, kriminal itu mengaku korbannya lebih dari 40 orang. Terlebih, aksi tersebut dilancarkan atas instruksi salah satu menteri namun ia menampik untuk mengungkapkannya. Tak heran, pemerintah Afsel enggan melepaskan di Jager. Saat itu, tahun 1994, pemerintah apartheid di ambang keruntuhannya.
Interogasi de Jager lewat rekaman video mengawali I Am All Girls yang bernuansa gelap. Film itu memang beraksen muram dengan kompleksitas kejiwaan yang pekat. Di dalam bak pikap yang melaju, korban-korban terisak. Sebagian perempuan muda diselundupkan ke Timur Tengah dan beberapa dari mereka yang bernasib lebih nahas, tewas setelah dimanfaatkan.
Jodie Snyman (Erica Wessels), detektif yang menangani perdagangan manusia, didamprat bosnya, kapten George Mululeki (Mothusi Magano) lantaran belum mampu mencokok seorang penjahat pun. Tak ada pelaku berarti dana operasional bakal dipangkas. Jodie sudah bekerja keras, kurang tidur, bahkan stres dengan terlibat secara emosi untuk mengungkap kasus itu.
Ia lalu ditugaskan menyelidiki pembunuhan Oupa Carel Duvenhage (Ben Kruger). Di dada kakek itu, pembunuhnya menorehkan inisial TSC, inisial dari Tarrynlee Shaw Carter. Tarrynlee juga korban penculikan de Jager. Tak dinyana, Duvenhage pedofil, bahkan terhadap cucu sendiri yang ironisnya, turut direkam.
Jodie menemukan video itu di loteng garasi Duvenhage. Kasus kian rumit karena tumpang-tindih dengan kekejian pembunuh berantai misterius yang menghabisi pelaku-pelaku perdagangan manusia dengan motif membalas dendam. Segera, penjahat-penjahat lain tergeletak tak bernyawa dengan inisial korban penculikan tergores di tubuhnya.
Pemilik korporasi ekspor ikut membekingi permainan kotor itu dengan mengirimkan korban dan bermain di bawah tangan untuk menjaga namanya tetap bersih. Manusia-manusia malang berwajah kuyu disekap dalam kontainer. Penangkapan kepala sekolah, pebisnis, bahkan pemuka agama menunjukkan komunitas yang sakit.
Bertindak Serampangan
Tegang, sedih, dan muram melabur I Am All Girls. Perasaan bergidik sesekali juga menyeruak dengan alur gadis-gadis tak berdaya yang hak asasinya dicampakkan. Malam kelam di Johannesburg kerap disuguhkan dengan sudut-sudutnya yang kumuh.
Tak heran, I Am All Girls punya persinggungan dengan Seven (1995) meski film yang dibintangi Brad Pitt dan Morgan Freeman itu jauh lebih brutal. I Am All Girls juga mengingatkan dengan film-film kriminal suram macam The Whistleblower (2010), Sicario (2015), atau Serpico (1973).
Sengkarut emosional menyiksa korban-korban perdagangan manusia sekaligus penegak hukumnya. Beban pikiran Jodie tak hanya mengubahnya menjadi pekerja keras tetapi juga alkoholik. Ia kerap impulsif hingga bertindak serampangan. Jodie mengabaikan permintaan petugas pelabuhan menunjukkan surat penggeledahan, memaksa membuka kontainer, dan menabrak mobil buruannya.
Semua berakhir nihil. Terang saja, ulah Jodie memicu murka atasannya. Jodie berwajah pucat dengan ancaman bertubi-tubi, tekad untuk menuntaskan kasus tanpa memedulikan konsekuensinya, dan kekecewaan yang kronis. Ia berbagi beban hidupnya dengan Ntombizonke Bapai (Hlubi Mboya), sesama polisi perempuan. Di sela depresinya, ia harus berkejaran dengan pelaku pembantaian bandit-bandit perdagangan manusia. Pada akhirnya, sepak terjang Jodie sebenarnya merupakan alter ego dari kisah keseluruhan pembunuh berantai itu.
I Am All Girls kemudian bermuara tak hanya menjadi tontonan berbobot dengan menyelami karut-marut mentalitas Jodie tetapi juga mengangkat persoalan global kekinian. Berdasarkan situs Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, sekitar 500.000-700.000 perempuan di dunia menjadi korban perdagangan manusia setiap tahun. Lebih dari separuh jumlah itu adalah anak-anak. Kurang dari satu persen korban saja yang kembali pulih.
Film berdasarkan kisah nyata itu juga kian menekankan fenomena faktual di berbagai belahan dunia yang masih perlu diwaspadai. I Am All Girls bisa disaksikan di Netflix mulai pertengahan Mei 2021. Film yang diproduksi Nthibah Pictures di Afsel itu ditambahkan bumbu-bumbu fiksi dan sebagian nama tokohnya disamarkan.
Sesuai artikel berjudul Is ‘I Am All Girls’ A True Story? yang dimuat situs berita hiburan The Cinemaholic pada 14 Mei 2021, film itu diangkat dari rekam jejak Gert van Rooyen. Pedofil yang berdiam di Afsel itu menculik perempuan-perempuan berusia 9-16 tahun pada akhir tahun 1980-an.
Korban terakhir van Rooyen berhasil kabur dan melapor kepada polisi. Mengetahui kebejatannya telah terbongkar, van Rooyen bunuh diri. Unsur fiksi yang diimplementasikan dengan alur historis lantas membuka jalan untuk mengeksplorasi ancaman perdagangan manusia, berikut kesengsaraan korban-korbannya.
Menyuarakan Perempuan
Sutradara I Am All Girls Donovan Marsh sebelumnya berkiprah antara lain lewat Avenged (2013), Hunter Killer (2018), dan Spud (2010). Marsh yang juga menulis naskah I Am All Girls memainkan perasaan penonton, dipadu kepiawaian akting Wessels.Aktris itu pernah dua kali menjadi nomine peraih penghargaan film dan televisi Afsel atau South African Film and Television Awards (SAFTA), lewat Alles Wat Mal Is (2014) dan Erfsondes (2012). Sementara, Mboya meraih penghargaan itu lewat Dora’s Peace (2016).
“Aku sungguh bangga I Am All Girls bisa menyuarakan kisah perempuan-perempuan yang hilang, termasuk para penyintasnya,” ucap Mboya. Dalam artikel berjudul Hlubi Mboya Talks Netflix Film ‘I Am All Girls’ yang dimuat situs berita stasiun radio Capetalk pada 15 Mei 2021, ia menganggap pendekatan terhadap topik perdagangan manusia, sangat penting.
“Terutama, soal pelecehan seks yang dialami anak-anak. Harus hati-hati dan sensitif. Genrenya sangat spesifik,” kata Mboya. Problem itu masih sangat situasional di Afsel, Afrika, hingga dunia. Ia sudah berkecimpung dalam industri film selama 21 tahun.
Mboya selalu yakin saat mengerjakan proyek-proyeknya. Ia senantiasa berharap karyanya tak sekadar menghibur namun mengusung pesan yang kuat. “Paduan seni peran dan makna yang disampaikan lewaat film. Aku mengerjakan I Am All Girls dengan kepedulian, kerapuhan, kerentanan, dan cinta,” ucapnya.