Film Tarian Lengger Maut bergenre drama thriller berbalut budaya membawa kekuatan magis baru.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA/MOHAMMAD HILMI FAIQ
·5 menit baca
Dua dunia berbeda tanpa sengaja bersenggolan dalam film Tarian Lengger Maut (2021). Tak hanya teror pembunuhan berantai, penonton juga dapat menikmati indah lenggok tarian lengger Banyumas. Dengan genre drama thriller berbalut budaya, film ini membawa kekuatan magis baru yang diharapkan bisa menggerakkan kembali industri film nasional setelah dihajar pandemi.
Rasa ketakutan tak berdaya tampak di mata seorang laki-laki yang tidur di sebuah ranjang pasien. Tubuhnya tak bisa bergerak. Di hadapannya, dokter Jati Arya Permana (diperankan Refal Hady) sibuk mempersiapkan alat operasi. Jantung laki-laki itu lalu dikeluarkan dari tubuhnya.
Meski tidak diperlihatkan jelas, adegan pembuka Tarian Lengger Maut itu langsung membuat penonton menahan napas. Sejak awal, film ini meneror kenyamanan penonton.
Mengambil lokasi di sebuah desa bernama Desa Pagar Alas, film ini bercerita tentang kedamaian di desa ini yang mulai terganggu sejak banyak warga hilang. Mereka sempat mencurigai dokter Jati, tetapi tak punya bukti.
Jati memang terobsesi dengan detak jantung manusia akibat trauma masa kecil. Rutinitas Jati mulai terusik setelah bertemu Sukma (Della Dartyan), seorang calon penari lengger. Setiap tampil menari di depan rumah joglo, Sukma yang pemalu berubah drastis menjadi percaya diri.
Jantung Jati berdegup kencang saat melihat Sukma menari. Sukma juga menyiratkan rasa suka terhadap Jati, meski tetap fokus menjalankan ritual menjadi penari lengger sejati. Ketegangan dalam film sarat kearifan lokal ini pun bergulir.
Dalam jurnal Imaji UNY, WP Priyanto (2010) menjelaskan, lengger adalah kesenian yang bersifat religius di masa lalu, tetapi telah berubah menjadi seni hiburan rakyat. Gerakan tarian lengger terkesan erotis salah satunya karena menyimbolkan perkawinan para dewa yang menghasilkan panen melimpah. Orang awam bisa menilainya sebagai tarian yang tak senonoh.
Penari lengger tidak hanya perempuan (lengger wadon). Terdapat lengger lanang Banyumas yang dituntut mampu mengekspresikan diri sebagai penari laki-laki sekaligus perempuan. Namun, keberadaan lengger lanang terkikis karena persepsi berbeda masyarakat tentang silang jender dalam seni tari.
Sebagai tarian religius pada masanya, lengger masih membawa citra mistis. Masyarakat lokal percaya penari lengger akan mendapatkan indhang atau roh halus setelah melakukan ritual. Penampilan jadi lebih memikat, stamina lebih kuat, dan penari bisa mengobati orang sakit. Singkatnya, penari akan berada dalam kondisi trance ketika tampil.
Sutradara Tarian Lengger Maut, Yongki Ongestu, menceritakan, tujuannya lewat film ini untuk mengangkat budaya Nusantara. Film ini, khususnya, ingin menyorot sisi lain budaya Banyumas demi mengikis stigma negatif tarian lengger.
Untuk memperkuat kesan autentik, film produksi Visinema Pictures dan Aenigma Picture ini berkolaborasi dengan seniman dan pekerja film lokal di Banyumas. Dari 73 anggota kru, sekitar 50 orang berasal dari Banyumas. Pengambilan gambar berlangsung sejak tahun 2018 dan berlangsung selama 16 hari.
“Tantangan terbesar dalam proses kreatif adalah banyak persepsi berbeda tentang orisinalitas suatu budaya dari seniman. Tidak bisa dibilang mana yang benar atau akurat. Seperti film Kucumbu Tubuh Indahku karya Garin Nugroho, kami mengambil dari perspektif yang berbeda tentang lengger,” kata Yongki, melalui telepon di Jakarta, Rabu (19/5/2021).
Dalam film berdurasi 70 menit itu, terlihat sisi tarian lengger sebagai pelindung lebih ditonjolkan. Pada adegan percakapan warga desa, misalnya, mereka berharap agar Sukma segera resmi menjadi penari lengger agar mendapat anugerah indhang. dengan demikian dia bisa melindungi desa dan menyibak misteri kasus orang hilang.
Film Tarian Lengger Maut telah tayang di bioskop sejak 13 Mei. Hingga Kamis (20/5/2021), film ini telah meraih penonton 170.000 orang. Film ini sebelumnya berjudul Detak, berkompetisi dan menang di berbagai festival luar negeri, seperti Tokyo Genre Celebration Festival 2020 dan European Cinematography Awards. Menurut Yongki, judul dan struktur film diubah sedikit sebelum meluncur ke bioskop.
Di luar negeri, film thriller pembunuh berantai dengan berbagai motif sudah banyak, misalnya Perfume: The Story of a Murderer (2006) dan The Silence of the Lambs (1991). Di Indonesia, baru ada beberapa film. Mirip dengan Modus Anomali (2012) karya Joko Anwar, Tarian Lengger Maut mempersembahkan cerita dari sudut pandang pembunuh berantai yang obsesif sebelum bergeser ke sudut pandang penari.
Penonton juga perlu jeli melihat simbol visual dan menganalisis karakter dalam film. “Saya menaruh banyak clue visual dalam film itu. Ada penonton yang menyadarinya, ada juga yang tidak. Tetapi interpretasinya bebas karena film kalau sudah keluar itu, ya, sudah menjadi milik penonton,” kata Yongki.
Tidak bisa dipungkiri, Tarian Lengger Maut mendapat beragam tanggapan. Pertanyaan utama yang muncul adalah mengenai akhir film yang memiliki plot twist. Sebagai “mantan” film festival, Tarian Lengger Maut menyajikan film dengan akhir interpretatif yang mungkin bisa mengundang kebingungan penonton film arus utama Indonesia.
Catatan kecil lainnya adalah soal pembangunan dimensi ruang dalam film. Entah karena kepercayaan lokal atau karena film ini mengambil lokasi di desa, kasus orang hilang itu tidak tampak membuat panik warga. Fokus film ini sedikit terlalu berorientasi pada dua karakter utama sehingga lupa membangun dunia fiksi yang terkesan lebih nyata.
Bagaimana pun, film ini memiliki kekuatan besar dari segi sinematografi yang memukau. Banyak adegan memperlihatkan sudut pengambilan gambar dengan warna yang bagus, seperti saat Sukma tampil resmi sebagai penari lengger atau adegan pengejaran di hutan kaki Gunung Slamet, Banyumas, Jawa Tengah. Akting para pemain pun terlihat menjiwai.
Akting Della lebih meyakinkan dibanding lawan mainnya. koreografi yang dia tampilkan ketika menari lengger juga terlihat luwes dan alami. Wajar saja mengingat semasa SMP dan SMA ia pernah belajar menari ketika tinggal di Bali, sehingga tak sulit ketika belajar lengger.
Jumat (30/4/2021), produser dan CEO Visinema Pictures, Angga Dwimas Sasongko mengatakan, pandemi Covid-19 memberikan industri film tantangan berat, baik untuk penonton, pembuat film, maupun eksibitor. Karena itu, kehadiran Tarian Lengger Maut semoga dapat mengajak masyarakat untuk kembali menonton film di bioskop.
“Yang penting kita menerapkan protokol kesehatan yang sangat ketat dan disiplin. Pada akhirnya, kita tidak mau industri perfilman Indonesia mundur kembali seperti 10 sampai 15 tahun lalu. Terlalu mahal kalau harus mengulang dari awal,” ujar Angga.