Ratusan tari dihasilkan Kadek Puspasari selama masa kuncitara tak hanya berarti sebagai angka statistik dengan tingkat kedisplinan yang tinggi, tetapi juga upaya mempraktikkan seni sebagai terapi.
Oleh
Putu Fajar Arcana
·4 menit baca
Kadek Puspasari memperlakukan tubuhnya seperti rumah. Ketika Paris tiga kali melakukan kuncitara akibat serangan Covid-19, jiwanya bergerak melahirkan ekspresi-ekspresi spontan, yang mengisi ruang-ruang di dalam rumah itu. Hebatnya, seluruh ekspresi itu lahir dalam bingkai estetik yang menyembuhkan.
Dalam bilik-bilik tubuhnya, jiwanya mulai bergerak dari kamar tidur, dapur, ruang tamu, dan bahkan kamar mandi. Pada periode pertama Paris mengalami kuncitara 14 Maret-10 Mei 2020, ia mendokumentasikan 61 tarian lewat video; periode kedua 30 Oktober-14 Desember 2020, ia menghasilkan 46 tarian; dan terakhir periode ketiga 20 Maret-3 Mei 2021, lahir 44 tarian.
”Semua didokumentasikan lewat video yang telah diberi ilustrasi musik dan diunggah ke Instagram,” ujar Kadek Puspasari, Minggu (9/5/2021), dari Paris, Perancis.
Ratusan tari yang telah dihasilkan Puspasari selama masa kuncitara itu tak hanya berarti sebagai angka statistik dengan tingkat kedisplinan yang tinggi, tetapi juga upaya mempraktikkan seni sebagai terapi. Dalam beberapa video terlihat, ia hanya memainkan tangan atau kakinya dari tempat tidur, ”Itu artinya saya sedang dalam masa demam. Mungkin juga terpapar Covid-19, tetapi biasanya cuma sehari demam itu turun,” katanya.
Praktik itu membuktikan bahwa tari menyediakan jalan pembebasan tubuh dari keterkungkungan akibat tekanan eksternal. Kuncitara yang berlangsung selama berminggu-minggu, dan bahkan memanjang sampai tiga periode, telah menyebabkan sebagian warga Perancis tertekan. Selain kejatuhan ekonomi, secara psikologis kehidupan warga tidak sehat. Dalam kondisi seperti itu, komposisi tari yang dihasilkan Puspasari menjadi wahana terapi yang jitu.
Ketika ruang dan gerak dibatasi, kata Puspasari, ternyata kreativitas, imajinasi, dan wawasan tetap bisa bebas. Kreativitas, imajinasi, dan wawasan itu tak lain berkelindan dalam seni. ”Seni itu sesuatu yang esensial untuk mempertahankan hidup, jadi tak hanya soal makan untuk hidup,” ujarnya.
Pengalaman berharga
Pengalaman menjalani kuncitara bersama keluarga di Paris, menurut penari kelahiran Bali tahun 1979 ini, semakin membangun kesadarannya tentang betapa pentingnya menghayati kesenian secara total. Ketika banyak orang mati kutu karena dilarang meninggalkan rumah dan bertemu banyak orang selama berbulan-bulan, Puspasari bersama suaminya, Christophe Moure, ”menyibukkan” diri dengan dunia kesenian.
Kadek Puspasari bersama 10 penari lain yang tersebar di pelosok dunia, bertepatan dengan Hari Tari Sedunia, 29 April 2021 lalu, menginisiasi sebuah pentas virtual bertajuk Lungkrah. Ia bersama penari Wisnu Aji Setyo (Toronto), Aci Asri (Tashkent), Triyana Usadhi (Massachusetts), Arma Dwipa (Niagara), Andre Nirvily (Lisabon), Anggraini Martin (Warsawa), Triwulandari (Chicago), Yulia Seconda (Oxford), Deepa Respati (Bratislava), dan Hery Glenn (Yogyakarta) ingin membuktikan bahwa seni tak bisa mati walau tubuh terpenjara.
Dalam unggahan di akun @puspasari.kadek, ia menulis syair Jawa seperti berikut ini: //Kesel rasane, ngrasakke lelaku iki/Kesel atine, ketok’e anteng tapi ora tentrem/Namung kabeh iki kudu dilakoni/Abot utawi enteng sak donya melu ngrasakke…// (Bosan rasanya dengan keadaan seperti ini/hati capek, sepertinya tampak tenang tetapi tidak damai/Tetapi semua ini harus dijalani/Berat atau ringan di seluruh dunia ikut merasakan...//)
Syair ini seperti mewakili ungkapan perasaan berjuta-juta manusia di dunia, yang kini sedang berada dalam krisis akibat pandemi. Perasaan serupa juga dialami oleh koreografer dan penari Rianto yang bermukim di Tokyo, Jepang. Pada masa awal pandemi, Tokyo melakukan kuncitara sehingga seluruh aktivitas warga seperti mati. Kota megapolitan yang dijejali jutaan manusia itu seperti kota mati. ”Hati saya juga seolah mati, cuma tepekur di rumah,” kata Rianto.
Beruntung ia memiliki kemampuan menari. Ia mencoba memasuki studio di rumahnya, menghadap cermin, dan mulai menggerakkan tubuhnya perlahan. Gerakan-gerakan kecil itulah yang kemudian melahirkan program yang ia sebut sebagai Rianto Lengger Challenge. Program yang didukung Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ini dimulai dengan seri pertama pada bulan Mei 2020.
Rianto membuat tutorial dasar-dasar menari lengger banyumasan, sebagaimana yang telah ia tekuni selama puluhan tahun. ”Saya kemudian menantang 1.000 penari di seluruh dunia untuk membuat video tari dengan menarikan lengger banyumasan,” kata Rianto, Kamis (13/5/2021), dari Banyumas, Jawa Tengah.
Misinya, kata Rianto, tak hanya menyebarkan lengger sebagai tarian yang layak untuk ditekuni oleh siapa saja di seluruh dunia, tetapi lebih-lebih menjadikan tarian sebagai jalan pembebasan di masa pandemi. ”Pandemi ini melanda seluruh dunia, maka kita coba lewat tari pertama-tama membebaskan tubuh, lalu pikiran dan perasaan, semoga tercipta kedamaian,” ujar Rianto.
Hasilnya sungguh mengejutkan: lebih dari 1.000 penari kemudian mengirim video mereka yang sedang menarikan lengger. Penari yang menjadi inspirasi film Kucumbu Tubuh Indahku ini lalu menyusun ulang video-video itu menjadi tari bertajuk Lengger Sekar Melati. ”Dan video tentang tari Lengger Sekar Melati menjadi seri kelima dan terakhir dari Rianto Lengger Challenge. Sudah diunggah Juni 2020,” ujar Rianto.
Pada saat para penari mengikuti tutorial yang telah disusun Rianto, sebagian besar dari mereka menari di dalam rumah masing-masing. Misi berekspresi dari rumah sebagaimana dilakukan oleh Kadek Puspasari dan Rianto kemudian menyebar kepada banyak orang.
Setidaknya, mereka bersama-sama membuktikan bahwa tubuh adalah rumah yang menyediakan bilik-bilik pembebasan dari keterkungkungan akibat pandemi, yang entah kapan akan berakhir ini.