Gerilya Tak Putus Tjoet Nja’ Dhien
Setelah 33 tahun, film ”Tjoet Nja\' Dhien” siap diputar kembali di layar bioskop. Peralihan dari pita ke format digital menjanjikan efek tontonan yang lebih dramatis, menyesuaikan drama perang menuju kemerdekaan.
Tjoet Nja’ Dhien, film monumental di jagat perfilman nasional keluaran 1988 akan kembali melayar dalam format digital setelah direstorasi. Kegigihan Tjoet Nja’ Dhien bergerilya di rimba juga dialami para pembuat filmnya. Perjuangan manusia tergambar di layar sekaligus di balik layar.
Christine Hakim (64) masih ingat banyak dialog dalam film Tjoet Nja’ Dhien yang ia perankan ketika berusia 31 tahun. Dalam suatu adegan, Pang La’ot (Pitrajaya Burnama), panglima perang Tjoet Nja’ Dhien, cemas perbekalan logistik menipis ketika pasukan mereka bergerilya di tengah rimba. Fisik para pengikut gerilya makin payah, demikian halnya dengan kesehatan Tjoet Nja’ Dhien sendiri.
”Apa menurut Pang La’ot kita harus takluk pada penjajah? Saya lebih khawatir dengan kegoyahan iman orang-orang di sekeliling kita,” ucap Tjoet Nja’ Dhien yang jadi pemimpin gerilya sekaligus peramu strategi perjuangan selepas suaminya, Teuku Umar (Slamet Rahardjo Djarot), gugur.
”Kegoyahan iman” itu, bagi Christine, erat kaitannya dengan pengkhianatan, musuh dalam selimut, yang sejatinya lebih berbahaya dibandingkan dengan yang tampak. Pernyataan yang tersirat dalam film ini masih relevan hingga kapan pun, apa pun bentuk konfliknya. Tjoet Nja’ Dhien, ujar Christine, berketeguhan hati, integritas yang layak disanjung.
Selama bertahun-tahun, para gerilyawan Aceh itu harus naik-turun bukit, pindah dari satu hutan ke hutan lainnya menghindari kejaran musuh. Semangat juang Tjoet Nja’ Dhien tak menyurut meski logistik menipis, dan dia terserang kelumpuhan, juga kebutaan.
Di pihak lawan, para marsose agresif memburu mereka dengan persenjataan lebih modern dan lengkap. Persoalan makin runyam karena tidak hanya agresi marsose saja yang menjadi musuh Tjoet Nja’ Dhien. Ada pengkhianat yang menggerogoti perjuangannya dari dalam. Di lain pihak, pimpinan pasukan Kapten Veltman (Rudy Wowor) kerap bertikai dengan opsirnya sendiri Voorneman (Roy Karyadi).
Konflik itu membuat film bertema perang ini tidak bernuansa hitam versus putih, baik melawan jahat. Setiap pihak bergulat di wilayah abu-abu; pergulatan di pasukan sendiri, pergumulan dengan diri sendiri. Konflik dari skenario bikinan Eros Djarot—juga sebagai sutradara—tersusun amat kompleks.
Pertempuran antara Kerajaan Aceh dan Belanda itu bermula sejak perang dimaklumatkan kolonial pada 28 Maret 1873. Filmnya memotret konflik yang terjadi selama tahun 1896 hingga 1906. Berdasarkan catatan pada poster film ini, pertempuran Aceh itu adalah perang terlama dan terpanjang dalam sejarah kolonial Belanda.
Dari arsip pemberitaan Kompas, film Tjoet Nja’ Dhien ini mulai diputar di bioskop pada November 1988. Tak lama setelah itu, Festival Film Indonesia digelar. Film ini memboyong delapan Piala Citra sekaligus: gelar Film Terbaik, Sutradara Terbaik untuk debut Eros Djarot, serta ganjaran Aktris Terbaik bagi Christine yang selama setahun tinggal di Meulaboh mendalami perannya.
Perolehan delapan Piala Citra itu menyamai rekor sebelumnya yang dipegang film Ibunda (1986) garapan Teguh Karya. Rekor ini baru bisa dipecahkan 30 tahun kemudian oleh film Marlina dan Si Pembunuh Empat Babak (2017) dengan perolehan 10 Piala Citra.
Joko Anwar adalah salah seorang yang niat menonton Tjoet Nja’ Dhien di bioskop di Kota Medan kelahirannya ketika SMP. ”Nontonnya di Bioskop Ria, bioskop elite di Medan. (Filmnya) enggak lama diputar di Bioskop Remaja yang biasa kudatangi karena di situ film action dan horor mistik yang lebih laku,” kata Joko.
Namanya bioskop elite, harga karcisnya lebih mahal. ”Aku diantar Bokap (Ayah) naik Vespa karena jaraknya jauh. Tapi, Bokap nunggu di luar karena duitnya enggak cukup beli dua tiket,” kata Joko getir. Dia kelak mengarahkan Christine Hakim di film Perempuan Tanah Jahanam (2019) dan memberi Piala Citra kesembilan bagi Christine.
Gerilya di luar
Gerilya yang tampak di film, juga sama serunya dengan yang terjadi di luar layar. Eros Djarot nyaris tak mendapat izin menyutradarai proyek ini lantaran ”tidak berkarier” di bidang penyutradraan. Ketika itu ada regulasi yang mengharuskan seseorang bisa menjadi sutradara ketika sudah beberapa kali menjadi asisten sutradara.
Eros, yang mengenyam pendidikan perfilman di London, Inggris, diwajibkan ikut ”tes kompetensi”. ”Ya, sudah, saya ikuti saja. Saya datang, disuruh duduk, diajak ngobrol sambil ngopi. Enggak ada, tuh, pertanyaan tentang penyutradraan,” kata Eros yang sebenarnya telah malang melintang sebagai penyelia teknis di beberapa film Teguh Karya, seperti teknik pencahayaan, juga penyuntingan.
Eros memboyong kru dan pemain ke wilayah Aceh Barat, tak kurang dari delapan bulan sebelum pengambilan gambar. Biaya produksinya jadi membengkak. Beberapa kenalan Eros menyumbang modal. Eros, Christine, dan Slamet berkomitmen tidak menerima bayaran dari film ini. Eros bahkan harus menjual vila untuk menambah ongkos.
Ketika modal makin menipis, ujar Christine, lokasi shooting pindah ke daerah Palabuhanratu, Sukabumi. Mereka mengajak 30-an pemeran asal Aceh agar tidak kehilangan identitas perjuangan rakyat Aceh. Kata Christine, film ini menelan biaya hingga Rp 1,5 miliar. Angka yang fantastis untuk produksi film pada periode itu. Rata-rata produksi film kala itu berbiaya Rp 250 juta hingga Rp 500 juta (film Saur Sepuh yang juga kolosal).
”Ah, itu dibesar-besarkan saja. Rp 1 miliar lebih sedikitlah. Banyak film lain yang biayanya lebih besar. Itu film Janur Kuning dan Penumpasan Pengkhianatan G30/S/PKI lebih mahal,” kata Eros ketika dihubungi pada Jumat (7/5/2021).
Tantangan tak cuma urusan ongkos. Eros mengubah skenario dua minggu menjelang jadwal pengambilan gambar. ”Kami sudah delapan bulan di Aceh. Semua alat sudah siap. Dua minggu sebelum shooting, saya dipanggil lembaga adat di sana. Mereka minta ada tokoh Teuku Umar di dalam skenario,” ujar Eros.
Semula, film ini bakal dibuka dengan pemakaman Teuku Umar, lalu cerita bergulir tanpa karakter Teuku Umar. Dengan permintaan itu, dia harus menyesuaikan lagi skenarionya. Slamet Rahardjo, kakaknya yang sedang berada di AS, diminta segera pulang untuk memerankan Teuku Umar. Jadwal shooting diundur dua minggu untuk menunggu Slamet mendalami karakternya.
Setelah sekitar tiga tahun bertungkus-lumus mengerjakan film, tantangan belum berhenti. Kesulitan memasarkan film untuk pasar dalam negeri terhadang gempuran film-film Hollywood, yang pendistribusiannya dikuasai kelompok tertentu. Meski begitu, Eros dan kawan-kawan berhasil membawa film ini diputar di Festival Film Cannes tahun 1989 dalam program La Semaine de la Critique. Ini jadi film Indonesia pertama yang dapat layar di festival itu.
Film ini juga diajukan ke ajang Piala Oscar 1990 untuk kategori film berbahasa asing, tetapi urung masuk nominasi. Namun, Christine menceritakan, film ini pernah diputar di museum bergengsi Museum of Modern Art di New York dengan host Setiawan Djody dan Bianca Jagger, mantan istri rocker Mick Jagger.
Format masa kini
Kegemilangan film Tjoet Nja’ Dhien bakal diteruskan pada era digital. Tiga tahun lalu, pita seluloid film ini berhasil direstorasi di Belanda, negara ’antagonis” dalam filmnya. Mulai 20 Mei 2021, bertepatan dengan peringatan Hari Kebangkitan Nasional, film berformat digitalnya ditayangkan di jaringan bioskop XXI, mulai dari Jakarta diikuti kota-kota besar lainnya. Bukan tak mungkin kelak film ini ada di layanan film streaming over the top (OTT).
Bagi Christine, kehadiran kembali film ini pantas disambut generasi muda. ”Perjuangan bangsa Aceh, bangsa Indonesia, memberikan wawasan bagi generasi muda bahwa betapa nenek moyangnya telah berjuang sedemikian rupa meraih kemerdekaan,” kata Christine.
Baca juga : Christine Hakim: Sempat Paranoid Hadapi Pandemi
Sementara bagi sineas masa kini seperti Joko Anwar, film ini mengajarkan banyak hal. ”Film ini adalah karya monumental, tak hanya dari pencapaian filmis, tetapi juga dalam semangat pembuatannya. Ini seharusnya jadi bahan refleksi sineas masa kini untuk tidak terlena pada kemudahan dan tetap memberikan tenaga dan pikiran sebesar-besarnya dalam setiap karya,” kata Joko.
Perjuangan pahlawan nasional Tjoet Nja’ Dhien menjadi pelajaran bagi dinamika sebuah bangsa. Sementara kegigihan para pembuat filmnya adalah teladan bagi perfilman Indonesia.