Melalui pameran periodisasi seni rupa modern dari para seniman Tanah Air dan karya-karya hibah seniman luar negeri, Galeri Nasional Indonesia menyambut gelora semangat Merdeka Belajar yang digaungkan pemerintah.
Oleh
Nawa Tunggal
·5 menit baca
Seni rupa menunjukkan andilnya untuk memompa semangat pendidikan Merdeka Belajar yang digelorakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan saat ini. Melalui pameran periodisasi seni rupa modern dari para seniman Tanah Air dan karya-karya hibah seniman luar negeri, Galeri Nasional Indonesia menyambut gelora itu.
Berselang dua hari setelah Hari Pendidikan Nasional, 4 Mei 2021, Galeri Nasional membuka pameran tetap ”Monumen Ingatan: Modernitas Indonesia dan Dinamikanya” dalam Koleksi Seni Rupa Galeri Nasional Indonesia. Sebanyak 203 karya meliputi lukisan, patung, dan karya multimedia dipamerkan hingga waktu yang belum ditentukan.
Karya-karya itu cukup menginspirasi. Salah satu karya yang mungkin cukup menonjol adalah karya seniman Wassily Kandinsky (1866-1944), kelahiran Moskwa, Rusia, yang kemudian dikenal sebagai pelopor seni abstrak dunia. Karya-karya Kandinsky dikenal menjembatani aliran naturalisme ke abstrak.
Karya Kandinsky itu berjudul ”Reciproque” (1935), seri grafis di atas kertas berukuran 50 sentimeter x 65 sentimeter. Karya ini berlatar utama warna putih, kemudian muncul warna hitam, biru, dan jingga.
”Karya seni grafis Kandinsky menorehkan musik yang dibuat menjadi gambar. Irama musik diabstraksikan menjadi lukisan pada tahun 1935 di Paris,” ujar kurator pameran Galeri Nasional Indonesia, Bayu Genia Krishbie, Jumat (7/5/2021), di Jakarta. Kandinsky memang mahir bermain alat musik biola dan celo. Ia memberikan irama di dalam karya-karya lukisannya hingga kemudian karya-karya itu dikenal sebagai karya lukisan abstrak awal di dunia.
Peristiwa itu tidak terjadi begitu saja. Kandinsky semula menekuni ilmu hukum dan ekonomi hingga bekerja menjadi pengajar di beberapa sekolah di Moskwa. Kemudian ia berpindah bekerja sebagai direktur artistik untuk sebuah perusahaan percetakan di Moskwa, dan suatu ketika begitu tertarik dengan suatu pameran lukisan karya Rembrandt van Rijn di Saint Petersburg, Rusia.
Kandinsky lalu belajar melukis hingga masuk suatu akademi seni rupa. Menjelang usia 40 tahun, sekitar tahun 1906, ia memutuskan menjadi seorang pelukis. Pada periode 1908-1914, Kandinsky menghabiskan waktu untuk perjalanannya di Jerman dan melukis dengan obyek alam sekitar. Periode 1909-1911, Kandinsky mendirikan gerakan ”baru” seniman Muenchen bersama beberapa seniman lainnya.
Hibah karya
Selain melukis, Kandinsky juga menulis berbagai buku tentang seni dan mengeluarkan otobiografi, Melihat Masa Lalu. Pada 1917 terjadi pergolakan politik revolusi Bolshevik yang mengubah Rusia menjadi Republik Soviet. Sejak itu, Kandinsky kembali tinggal di Moskwa dan mengajar bidang ilmu seni.
Pada 1921 bersama istrinya, Nina Andreevsky, ia pindah dan menetap di Berlin, Jerman. Kandinsky bergabung dengan Walter Gropius di Bauhaus dan melahirkan banyak karya lukisan di Berlin hingga kecamuk politik mendera kota itu. Walter Gropius di Bauhaus ditutup Nazi.
Deretan karya dari para seniman lainnya di Paris terpampang di ruang pamer sebagai karya hibah pada 1959. Di bagian awal dipajang karya Yves Faucheur (lahir di Paris, 1924-1985) berjudul La Maison en Briques (1956). Kemudian karya Henri Cueco (lahir di Paris, 1929-2017) dengan karya lukisan berjudul Untitled (1957). Berikutnya karya Paul Rebeyrolle (lahir di Paris, 1926-2005), Roberto Gonzales (lahir di Paris, 1909-1976), Pierre Garcia-Fons (lahir di Spanyol, 1928-2016), Sonia Delaunay (lahir di Ukraina, 1885-1979), dan sebagainya.
Menurut Bayu Genia, karya-karya yang dihibahkan kepada Pemerintah Indonesia tahun 1959 itu sebagian besar dari para seniman muda yang berkarya di Paris. ”Koleksi hibah internasional yang dimiliki Galeri Nasional dari dua peristiwa penting, yaitu pada 1959 dan 1995,” ujar Bayu Genia. Hibah pada 1959 atas permintaan Atase Kebudayaan dan Pers Republik Indonesia untuk Perancis Ilen Surianegara agar Pemerintah Perancis menghibahkan karya-karya lukisan kepada Indonesia.
Ilen merespons pidato Presiden Soekarno sebelumnya di Paris yang mengatakan, Indonesia segera memiliki museum seni rupa modern. Atas bantuan jurnalis Perancis, Etiennette Benichou, berhasil dihimpun sebanyak 163 lukisan dari para seniman yang pernah tinggal di Paris. Beberapa nama selain Kandinsky adalah Victor Vasarely, Hans Hartung, Hans Arp, dan Zao Wou Ki.
Hibah internasional berikutnya tahun 1995 dalam rangka peringatan 50 tahun Indonesia merdeka. Sebanyak 400 lukisan dari 41 negara anggota Gerakan Non-Blok dipamerkan di Gedung Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Presiden Soeharto pada saat itu menjabat Ketua Gerakan Non-Blok (1992-1995).
Dari pameran itu, sebanyak 39 lukisan dihibahkan kepada Pemerintah Indonesia. Negara yang menghibahkan, antara lain, adalah Arab Saudi, Kuwait, Kuba, India, Jordania, Peru, Sudan, Zambia, Vietnam, dan Kamboja.
Karya-karya lain yang dipamerkan dari para seniman di Tanah Air berbasis periodisasi seni rupa modern yang dimulai dari Raden Saleh (1811-1880) hingga kini.
Pameran tetap Galeri Nasional Indonesia memiliki pengharapan di tengah pandemi Covid-19 yang belum berakhir. Ketua Galeri Nasional Indonesia Pustanto menyuguhkan pameran sebagai sumbangsih kepada publik, termasuk para peserta didik sekolah, demi menyambut penyelenggaraan pendidikan tatap muka ketika amukan Covid-19 mereda.
”Pameran ini mendukung gerakan pendidikan Merdeka Belajar yang disampaikan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Karya-karya yang dipamerkan bertujuan memberikan bahan pendidikan Merdeka Belajar,” kata Pustanto seraya menambahkan, saat ini Galeri Nasional memiliki koleksi 1.898 buah yang terdiri dari lukisan, patung, dan karya multimedia.
Di dalam catatan kuratorial Bayu Genia bersama Teguh Margono disebutkan, seni rupa modern di Indonesia bermula dari kedatangan orang-orang Eropa yang membawa para seniman untuk kepentingan mendokumentasikan bentang alam Nusantara dan keanekaragaman hayatinya.
Dari berbagai dokumen sejarah, dikenal nama para seniman Eropa waktu itu, meliputi Andries Beeckman, Hendrick Arentsz, Jan Lucasz, Hendrick Boudewijn van Lockhorst, Philips Angel, Isaac Koedijk, Thomas Daniell, dan William Daniell. Karya-karya mereka turut dihadirkan dalam pameran ini.
Hingga kemudian pada masa pemerintahan Hindia Belanda, lahirlah seniman dari Tanah Air bernama Raden Saleh Sjarief Bustaman (1811-1880). Raden Saleh dididik tiga seniman Eropa waktu itu, meliputi Antoine Joseph Payen, Adrianus Johaness Bik, dan Jannes Theodorus Bik. Aktivitas Raden Saleh pada awalnya untuk membantu mendokumentasikan keanekaragaman hayati di bawah naungan ilmuwan Hindia Belanda, Caspar Georg Carl Reinwardt.
Raden Saleh berkembang dan menjadi pelopor seni rupa modern Indonesia. Beberapa karya Raden Saleh ditampilkan hingga karya-karya seniman lain yang diakuisisi terakhir kali oleh Galeri Nasional tahun 2018. Satu di antara karya yang terakhir kali diakuisisi adalah karya lukisan IG Ayu Kadek Murniasih (1966-2006) yang berjudul Murni di TV (2003), dengan media cat minyak di atas kanvas berukuran 86 sentimeter x 60 sentimeter.
Karya itu menuturkan pemberontakan Murni terhadap ragam eksploitatif keperempuanan di televisi. Murniasih salah satu perempuan seniman yang memercikkan inspirasi merdeka untuk belajar tentang penghormatan terhadap perempuan.