Terpesona Biru di Masjid
Bagi Ayesha, warna biru adalah kekuatan dan misteri. Ia menebar metafora kehidupan spiritualnya melalui warna biru
Warna kesukaan menciptakan gairah. Seperti birunya Laut Arabia di kota Karachi, Pakistan, menjadi warna kesukaan pelukis Ayesha Khan (55) hingga pada masa pandemi Covid 19 ini Ayesha melukis dekorasi dan pintu-pintu biru masjid yang pernah dijumpai di Maroko, Afrika utara, untuk dipamerkan di Jakarta.
”Selain menyukai warna biru, saya tertarik sekali dengan arsitektural pintu. Di balik pintu, saya merasakan ada sesuatu yang misteri,” ujar Ayesha, pelukis asal Karachi, Pakistan, Rabu (21/4/2021), di galeri Mitra Hadiprana, Kemang, Jakarta.
Ayesha memamerkan 19 lukisan dengan cat air antara 19 April dan 22 Mei 2021 bertajuk, ”Kisah Perempuan-Gateway to the Soul”. Tajuk pameran, ”Kisah Perempuan” merujuk pada peringatan Hari Kartini, sedangkan ”Gateway to the Soul” (Gerbang Menuju Jiwa) berkait tentang pintu-pintu biru menuju jiwa yang menyimpan misteri.
”Saya pergi ke Maroko tahun 2018 selama dua pekan dan di sana banyak membuat sketsa tentang pintu dan gaya arsitektural masjid,” ujar Ayesha.
Sketsa-sketsa yang dibuat di Maroko kemudian menjadi inspirasi lukisan yang dikerjakan di masa pandemi ini di Jakarta. Ayesha menggunakan teknik lukisan cat air. Cat air tidaklah mudah untuk membentuk detail arsitektural tertentu, seperti kaligrafi-kaligrafi pada bangunan masjid ataupun hiasan dekoratif keramik dindingnya.
”Tidak boleh ada kesalahan dalam menggunakan teknik melukis dengan cat air. Jika terjadi kesalahan, akan begitu mudah terlihat,” ujar Puri Hadiprana, pemilik dan pengelola galeri Mitra Hadiprana.
Puri melihat ada pergumulan di dalam diri Ayesha. Ia bergumul dalam kehidupannya sebagai perempuan pelukis yang jauh dari tanah kelahirannya di Pakistan, dan hidup di Jakarta.
Perjalanan Ayesha di Maroko selama dua pekan pada 2018 ternyata menjadi perjalanan spiritual yang menarik. Lukisannya dengan dekorasi bangunan serta pintu-pintu biru gedung masjid di Maroko memberi inspirasi yang unik.
”Dari perjalanan spiritual di Maroko, Ayesha kemudian mengerjakan lukisannya di Jakarta selama masa pandemi Covid 19 ini. Ayesha termasuk pelukis produktif,” ujar Puri.
Ayesha menjadi pelukis akademis, meski pada awalnya ia menempuh studi bisnis sesuai keinginan ayahnya di Commerce College, University of Karachi, antara 1984 dan 1987. Ayesha berikutnya menempuh studi seni rupa Chinese Brush Painting di Hong Kong, 1987-1989. Kemudian mendalami seni rupa di State University of New York, Amerika Serikat, 1989-1993.
”Di Manila, Filipina, juga pernah studi tentang seni rupa antara tahun 1994 dan 1996,” ujar Ayesha, yang kemudian menikah dengan pria India berkebangsaan Amerika Serikat.
Suaminya bekerja di bidang perbankan dan kebetulan ditugaskan di Jakarta sejak tahun 1996. Mereka tinggal di Jakarta antara 1996 dan 2000, kemudian dipindahkan ke Amerika Serikat selama satu tahun. Tak tahunya, suaminya dikembalikan bekerja lagi di Jakarta antara 2001 dan 2016. Kemudian dipindahkan lagi ke Amerika Serikat setahun, dan bertugas kembali lagi di Jakarta sejak 2018 sampai sekarang.
Pintu biru
Siang itu, Ayesha membuka percakapan dengan menunjukkan lukisannya yang diberi judul, ”Blue Door in Marrakech”. Ayesha melukis bidang dinding sebuah kompleks masjid dengan dua daun pintu besar yang tertutup rapat. Warna pintu itu biru laut.
Di depan pintu terdapat seorang pria bersurban putih melintas. Pria itu menenteng sebuah tas berwarna coklat muda. Ornamen dinding dengan hiasan-hiasan keramik di atas kusen pintu juga dilukis Ayesha.
Ornamen-ornamen geometris menonjolkan warna biru di sela motif kelopak bunga berwarna merah. Bagian dinding lain berupa susunan batu bata berwarna terakota.
Di dekatnya sebuah lukisan yang diberi judul, Interior of King Hasan Mosque in Casablanca. Ayesha lagi-lagi melukiskan ornamen interior Masjid King Hasan di Casablanca, Maroko, yang didominasi warna biru. Ia melukis sebidang dinding dilengkapi dengan ceruk air. Ayesha menorehkan hiasan keramik dinding dengan dominasi warna biru, seraya menambahkan figur seorang perempuan melintas dengan gamis berwarna biru pula.
Lukisan lainnya, ”Gateway to the Soul” dan ”Gateway to Glory”, juga menonjolkan ornamen dinding dengan dominan warna biru yang ditemui di kompleks masjid di Maroko.
Warna biru juga ditemui Ayesha pada dinding-dinding bangunan permukiman. Ini tampak pada karya lukisannya yang diberi judul, ”Blue Door in Chefchauen”.
Ayesha melukis sebuah bangunan dengan daun pintu berwarna biru, begitu pula dengan dinding bangunan itu juga berwarna biru yang lebih muda. Seorang laki-laki dilukiskan Ayesha sedang menuruni anak tangga di samping pintu biru tersebut.
Meski warna biru juga ada di permukman, Ayesha memfokuskan lebih banyak lukisannya tentang warna-warna biru di bangunan masjid di Maroko. Seperti lukisannya, ”Blue and White Courtyard of Mosque in Casablanca”.
Di lukisan itu ada dua figur manusia duduk bersimpuh di pinggir dinding teras halaman sebuah masjid. Dinding teras halaman masjid itu dipenuhi ornamen keramik berwarna biru dan putih.
”Arsitektural masjid di Maroko menjadi surga bagi seniman dan fotografer. Di sana pintu-pintu dibuat besar dan megah, dipenuhi warna-warni dengan dominan warna biru,” ujar Ayesha.
Lukisan lainnya yang diberi judul, ”Doorway to Old Mosque in Fez”, menggambarkan kemegahan dari sisi pintu yang besar itu. Bidang dindingnya selain dipenuhi kaligrafi, juga dekorasi keramik dengan hiasan-hiasan geometris didominasi unsur warna biru. Ada pula keramik dinding polos berwarna biru laut di dinding itu.
Tidak hanya kemegahan arsitektural pintu sebuah bangunan, Ayesha melukis pula sebuah gerbang terbuka di Maroko, seperti pada lukisan, Blue Gateway to the Medina in Fez. Sebuah gerbang terbuka tanpa daun pintu itu memiliki dinding yang dipenuhi ornamen keramik dominan warna biru.
Biru adalah kekuatan
Bagi Ayesha, warna biru adalah kekuatan dan misteri. Ia lalu bercerita tentang pengalaman hidupnya pada masa kecil di Karachi, kota terpadat di Pakistan, yang pernah menjadi ibu kota negeri itu selama merdeka pada 1947 hingga 1962, sebelum dipindahkan ke Islamabad.
”Ketika usia saya sekitar lima tahun, saya suka sekali memandang laut yang biru itu. Saya lahir dan tinggal tidak jauh dari laut di Karachi,” ujar Ayesha.
Birunya laut memendam realitas yang tidak tertembus mata. Kehidupan di bawah laut sering dikisahkan memberi pesona keindahan, selain membawa misterinya tersendiri. Semuanya terbungkus menjadi birunya lautan.
Ayesha memainkan imajinasi. Imajinasi bisa menembus segala sesuatu. Akan tetapi, Ayesha membatasi ruang gerak imajinasi itu dengan warna biru yang menjadi membran pembatas, sekaligus memberikan kekuatan bagi imajinasi.
Ayesha tiba-tiba mengambil sebuah tasbih besar asal Turki dan Pakistan. Tasbih Turki dengan bentuk kotak-kotak, sedangkan tasbih Pakistan dengan bentuk bulat-bulat. Keduanya sama-sama berwarna biru.
Ada bentuk mata pada kotak-kotak tasbih Turki. Ayesha mengatakan, itu mata-mata jahat. Warna biru menjadi kekuatan untuk menghadang perbuatan jahat.
Ayesha menampilkan ragam metafora. Sempat pula, Ayesha berujar, di Indonesia banyak sekali masjid. Andaikan saja seperti Maroko, masjid-masjid itu bisa berwarna-warni.
Ayesha menunjukkan salah satu karya lukisan yang diberi judul, ”Courtyard of Al Ghauri Mosque in Old Kairo”. Ia melukiskan sebuah masjid di Kairo, Mesir, dengan warna yang senapas, yaitu kecoklatan. Ayesha mengatakan, itu seperti di Indonesia.
Seraya Ayesha menunjukkan, pintu biru pernah juga dijumpai di sebuah vila di Ubud, Bali. Ayesha segera menunjukkan hasil jepretan kamera telepon selulernya. Pintu-pintu dengan nuansa artistik Bali bermunculan dengan sebagian besar tentu berwarna coklat kayu alami, hingga ketemulah pintu yang berwarna biru.
Ayesha menebar metafora kehidupan spiritualnya melalui warna biru. Akan tetapi, Ayesha sekaligus menyelami kekuatan warna biru dan misteri di dalamnya.