Perubahan signifikan yang terjadi di kota metropolitan sedari mereka kecil hingga kini tak luput menjadi inspirasi tiap lagu. Kurangnya ruang terbuka hijau hingga jalanan yang macet dan kacau
Oleh
Riana A Ibrahim
·5 menit baca
Jakarta tak ada habisnya jadi cerita. Secuil apa pun bentuk kisah dapat mengilhami lahirnya ragam karya. Di tengah karut-marutnya Ibu Kota yang kabarnya sebentar lagi akan berpindah, sekelompok anak muda bernama Lomba Sihir menuangkan sudut pandangnya tentang kota tempat mereka tumbuh dan mengajak berkelana.
Selamat Datang di Ujung Dunia! Begitu judul album perdana band Lomba Sihir yang berisi 12 lagu dan dirilis virtual pada akhir Maret 2021. Musik beragam aliran dengan aneka irama dan nuansa dibesut oleh enam personelnya, yakni Baskara Putra (vokal), Natasha Udu (vokal), Rayhan Noor (gitar), Wishnu Ikhsantama (bas), Tristan Juliano (kibor), dan Enrico Octaviano (drum).
Lagu ”Selamat Datang” yang mengadopsi nuansa gospel menjadi pembuka perjalanan menyusuri 11 lagu lainnya. Lalu, ”Hati dan Paru-paru”, ”Cameo”, ”Apa Ada Asmara”, mengambil rancak disko pop yang membawa ke Jakarta era 80-an dan 90-an. Berlanjut, ”Jalan Tikus” dan ”Ya Mau Gimana” yang mencicipi tekno pop.
Masuk ke lagu ”Mungkin Takut Perubahan” dan ”Semua Orang Pernah Sakit Hati”, tempo mulai sedikit melambat. Namun, pada track selanjutnya, ”Polusi Cahaya”, ”Seragam Ketat”, dan ”Nirrrlaba” diajak mengentak dengan kerasnya aura musik rock. Ditutup dengan syahdu lewat ”Tidak Ada Salju Di Sini Pt. 6 (Selamat Jalan)” yang menggandeng Petra Sihombing.
Semua lagu itu ditulis bersama-sama oleh para personelnya. Lirik-lirik yang ringan tetapi menyentil didasarkan pada pengalaman pribadi setiap anggotanya. Proses pembuatannya dilakukan bersama di sebuah studio, hanya memakan waktu satu bulan, sekitar Januari hingga Februari 2021. Terbiasa bekerja sama untuk berbagai proyek memudahkan lahirnya album yang telah dibicarakan sejak pertengahan 2020 ini.
”Mungkin karena kita sadar satu sama lain punya role-nya masing-masing. Kalau ada satu yang enggak bisa, yang lain sudah siap menggantikan. Bisa saling back up, jadi prosesnya jalan terus aja. Kalau dilihat kayak kebetulan aja, kami ini gir kecil dari mesin besar. Kalau satu enggak ada, masih bisa jalan. Tapi kalau lengkap, akan lebih baik,” kata Tama saat berbincang, Selasa (6/4/2021).
Pandemi pun nyatanya tak menghalangi proses kreatif mereka. ”Justru di saat seperti ini, kreativitas semua orang harus terdorong sepuluh kali lipat. Harus bekerja sepuluh kali lipat lebih besar. Semua merasa enggak enak, semua merasa kesulitan. Sekarang, kan, enggak bisa segampang dulu. Tetapi selagi bisa berkarya seperti ini, kita lakukan. Juga biar teman-teman yang bareng kita bisa survive,” kata Udu.
Dari Hindia ke Batavia
Kemunculan Lomba Sihir semula berada bersama Hindia. Di tiap pertunjukan, Lomba Sihir ada mengiringi Hindia. Setia personel juga kerap terlibat dalam penggarapan musik satu sama lain. Sebut saja, .Feast yang digawangi Baskara juga menggandeng sebagian personel Lomba Sihir di balik layar albumnya.
Mantra Vutura yang dijalankan Tristan juga tidak lepas dari sentuhan rekan-rekan di kelompok musiknya kini. Udu, yang juga tengah menggarap proyek solonya, tetap bekerja bersama kelima pria ini dalam prosesnya.
Namun, kali ini, bersama dalam Lomba Sihir, mereka menjajal debut album yang bagi mereka cukup personal. Perumpamaan ”Ujung Dunia” untuk menggambarkan Jakarta juga bukan tanpa alasan.
Persepsi ini merangkum rasa yang hadir di tiap personel. Meski dapat dengan mudah memperoleh apa pun di Jakarta, secara kultur, peradaban, dan teknologi sebenarnya banyak ketinggalan dibandingkan negara lainnya.
Kecepatan roda kehidupan yang berputar di Jakarta berpadu dengan gemerlap gegap gempita nyatanya justru kerap menimbulkan rasa kosong hingga terisolasi. ”Itu yang kita rasakan tentang tempat tinggal kita ini,” kata Rayhan.
Lirik lagu ”Selamat Datang” pun terasa melukiskannya. Simak penggalan lirik ini. ”Selamat datang di ujung dunia/ Gegap gempita Jakarta/Mimpi yang rongsok menopang kota/Air laut yang naik merendam dosa...”
Orang-orang yang akhirnya masuk di Jakarta pun seakan terjebak dan harus kuat bersiasat jika ingin bertahan. Di lagu ”Hati dan Paru-paru” memotret denyut Ibu Kota itu.
Simak penggalan liriknya. ”Jutaan insan yang sibuk menari/Menggulung Thamrin hingga Antasari/Dengan cerita dan luka pribadi/Mengulur waktu hingga Senin pagi/Kota memburu anak yang lugu/Jadilah licik seperti hantu...”
”Enggak ada orang yang tinggal di Jakarta karena pengin. Tinggal di Jakarta itu seakan sebuah keharusan untuk mencari kesempatan, mencari pekerjaan, atau belum bisa afford secara emosional atau finansial di luar Jakarta. Jadi, biasanya, ya, karena lo sendiri yang pengin ada di sini, saat ada di sini susah keluarnya. Rasanya kayak gitu,” kata Baskara.
Perubahan signifikan yang terjadi di kota metropolitan sedari mereka kecil hingga kini tak luput menjadi inspirasi tiap lagu. Kurangnya ruang terbuka hijau, jalanan macet dan chaos, sempitnya peluang untuk hidup dan bertahan, semrawutnya pendidikan, menjamurnya kedai kopi kekinian, hingga pengalaman dikejar-kejar untuk menikah dituangkan dalam berbagai lagu seperti ”Cameo”, ”Jalan Tikus”, ”Nirrrlaba”, ”Semua Orang Pernah Sakit Hati”.
Sepenggal lirik dari ”Jalan Tikus” pasti akrab di tiap orang yang pernah kena macet Jakarta. ”Janjiku pulang dari dua jam lalu/Ku cari jalan tikusnya/Dering ponsel di tengah jalan/Takut terdengar kendaraan/Bilangku sudah di peristirahatan...”
”Kalau kata Tristan, ini kayak dear diary gitu. Cerita-cerita yang belum terangkat, kami cerita aja di sini dari apa yang kami alami, dan kami rasakan. Ada tentang pendidikan, perghibahan, sampai politik, tetapi bisa diserap dengan mudah,” kata Tama.
Dari segi musik dan lirik, kesederhanaan dan kemelekatan Lomba Sihir dengan telinga anak muda masa kini memang sukses menjadi pintu masuk untuk menuturkan kegelisahan personal yang juga dicecap oleh banyak insan Ibu Kota. Kata-kata yang lugas dan enggak neko-neko, walau sesekali terucap sumpah serapah, membuat tiap lagu cepat nyantol di kepala.
Meski ringan, makna dari lirik lagu Lomba Sihir jauh dari dangkal. Bobot dari tiap lirik seakan menyuarakan persoalan sosial yang terjadi di tengah masyarakat. Mereka pun menyadari curhat pribadi mereka ini dapat bergulir menjadi kritik sosial yang tajam bagi Jakarta dan pola hidup yang melingkupi warganya.
”Tidak dimungkiri akan ada interpretasi menjadi kritik sosial politik. Kami pun sadar itu, tetapi kami rasa enggak ada yang cukup pintar untuk menggurui. Ini rasanya observasi untuk diri kami dan teman-teman kami, tanpa bilang ini salah atau ini benar. Tetapi namanya karya kalau sudah dirilis, ya, orang bebas menilai. Tetapi, lebih tepatnya mungkin komentar sosial, ya,” ujar Baskara.
Selamat Datang di Ujung Dunia! sarat pemaknaan. Bahwa hidup di Ibu Kota itu sepaket, antara nelangsa atau berjaya. Kemampuan bertahan seakan niscaya di kota yang katanya tak pernah tidur ini. Lagi pula, siapa suruh datang ke Jakarta, kan?