Mendengar lagu-lagu karya Ismail Marzuki, rasanya ada sebuah kehidupan yang mengalir di jiwa ini. Kekuatan karya Ismail Marzuki itu dirasakan para penampil dalam konser Konser 7 Ruang: Tribute to Ismail Marzuki.
Oleh
Herlambang Jaluardi
·4 menit baca
Karya maestro musik Indonesia, Ismail Marzuki, tak diragukan lagi mengiringi perjalanan bangsa ini dalam kondisi susah ataupun senang. Di masa pandemi yang belum berkesudahan sekarang, lagu-lagunya masih menghidupi, baik dalam wujud semangat maupun donasi.
DSS Sistem Suara dan Bank Jateng mempersembahkan konser virtual bertajuk Konser 7 Ruang: Tribute to Ismail Marzuki pada Selasa (6/4/2021). Pertunjukan selama tiga jam itu disiarkan secara langsung melalui media sosial Youtube. Pengambilan gambar dilakukan di DSS Studio di daerah Petukangan, Jakarta Selatan.
Acara itu dimeriahkan oleh penyanyi Ruth Sahanaya, Ardhito Pramono, Dira Sugandi, dan Prass Audiensi, serta gitaris kawakan Oele Pattiselanno.
Musiknya dimainkan oleh Dario Big Band, yang dipimpin pianis muda Yongki Vincent, yang sekaligus bertindak sebagai pengarah musik. Dia membawahkan 12 musisi lintas generasi dengan instrumennya masing-masing.
Konser 7 Ruang sendiri merupakan inisiatif Donny Hardono, pengelola DSS Sistem Suara, yang telah berlangsung selama setahun penuh. Pertunjukan virtual itu mengisi kekosongan industri panggung musik langsung (live music) sejak pandemi Covid-19 berkecamuk. Dalam setiap konser, penonton diminta untuk menyumbang lewat nomor rekening yang tertera di layar bagi pekerja industri panggung.
Perhelatan pada Selasa malam lalu itu diadakan bertepatan dengan ulang tahun ke-58 Bank Jateng. ”Selama setahun belakangan, Bank Jateng sudah dua kali mensponsori Konser 7 Ruang. Ini jadi kali ketiga. Semoga ini memantik kontribusi dari bank-bank lain juga,” kata Donny dari bilik kontrol studio. Selain tuan rumah, Donny juga bertindak sebagai pengarah acara.
Seluruh pengisi acara memainkan musik secara langsung di studio itu setelah menjalani tes usap. Yang disebut studio itu adalah rumah dua lantai, yang masing-masing ruangannya telah direkayasa untuk perekaman audio dan visual. Dinding latar belakang dilapisi kain hijau. Bidang tertutup kain itu diubah menjadi tampilan visual tertentu di layar video.
Meski berbalut kemeriahan pesta ulang tahun, konser itu berlangsung ketika pekerja seni masih terdampak regulasi larangan konser dan juga bencana siklon di Nusa Tenggara Timur. Karena itu, pintu donasi dibuka untuk meringankan beban pekerja seni serta warga NTT yang terdampak bencana siklon. Hingga akhir acara menjelang tengah malam, terkumpul sumbangan dari penonton sekitar Rp 200 juta.
Acara dimulai tepat pukul 20.00. Suasana studio itu sontak ramai dengan bunyi-bunyian yang dimainkan Dario Big Band pada komposisi overture. Jika hadir di lokasi, suara yang terdengar tidak akan utuh karena ada pemisahan area untuk beberapa segmen bunyi. Namun, kalau menyimak tayangan video, suaranya jadi lengkap dengan kualitas bunyi yang mumpuni.
Kekuatan pesan lirik
Penyanyi dan juga pianis Ardhito Pramono kebagian tampil di awal acara. Dia membawakan lagu ”Rindu Lukisan”, yang salah satu penggalan syairnya berbunyi ”mungkinkah bulan merindukan rembulan/ dapatkah kumbang mencapai rembulan”. Ardhito terkagum-kagum dengan larik tersebut. ”Liriknya puitis dan juga filosofis. Ini salah satu kekuatan penulisan lirik Ismail Marzuki,” kata Ardhito.
Dia juga kebagian menyanyikan tembang ”Aryati” dan ”Rayuan Pulau Kelapa” menjelang acara usai. Lagu-lagu yang dibawakan Ardhito bernuansa jazz swing, yang mengalun santai. Tiupan flute oleh Septa Suryoto dan petikan gitar Oele menguatkan kesan indah pada lagu ”Rayuan Pulau Kelapa”.
Ruth Sahanaya kebagian menyanyikan tembang ”Kopral Jono” di awal acara dan ”Sabda Alam” serta ”Bunga Anggrek” di paruh kedua. Aransemen di lagu ”Bunga Anggrek” yang sangat populer itu terasa mewah. Mama Uthe, sapaan Ruth, bahkan menyanyikan lagu ini dalam bahasa Belanda.
Biduan Dira Sugandi dengan setelan putih-putih kebagian lagu-lagu yang aransemennya cenderung bertenaga. Lagu ”Sepasang Mata Bola”, yang umumnya dimainkan sendu, kali itu dibawakan dalam langgam jazz fusion.
Saya masih merasakan semangat membara dalam lagu itu. Memang, ya, musik sejak zaman dulu sudah mempersatukan bangsa.
Lagu itu ditulis Ismail Marzuki pada tahun 1946 ketika Indonesia sedang mempertahankan kemerdekaannya, selaras dengan cara bernyanyi Dira. ”Saya masih merasakan semangat membara dalam lagu itu. Memang, ya, musik sejak zaman dulu sudah mempersatukan bangsa,” kata Dira.
Dia juga menyanyikan tembang ”Wanita” serta lagu berbahasa ibunya, yaitu ”Panon Hideung”. Penghayatan Dira memberi kesan bahwa lagu itu memang tercipta untuknya, dan bukan kebetulan Dira adalah keturunan Sunda.
Kejutan dari konser itu muncul di tengah acara. Direktur Utama Bank Jateng Supriyatno didaulat untuk tampil. Dia tidak menyumbangkan suaranya, seperti kebanyakan pejabat di acara seremonial, melainkan menunjukkan kebolehannya bermain soprano saxophone.
Didampingi Oele dengan petikan lembutnya dan nuansa suara organ dari Yongki, pria yang sering disapa Nano ini melibas lagu populer ”Siapa Namanya” dalam langgam jazz.
Rupanya, selain menguasai ilmu perbankan, Nano pernah mengenyam pendidikan musik di Yogyakarta. Dia pernah main band bareng Jopie Item, Ireng Maulana, dan Rully Johan.
Kegemarannya bermusik terpelihara di instansi yang dia pimpin. Bank Jateng punya home band. Pada Maret lalu, Nano bersama Bank Jateng Band tampil di Solo memainkan repertoar maestro Gesang memeriahkan peringatan Hari Musik Nasional.
”Mendengar lagu-lagu yang dibawakan malam ini, rasanya ada sebuah kehidupan yang mengalir di jiwa ini. Rasanya perlu mengingat peran maestro seni dan kawan-kawan yang bekerja di bidang pertunjukan seni. Juga ada saudara yang tertimpa musibah di NTT. Pesan mempererat bangsa itu penting,” kata Nano yang bersama awak produksi lainnya memakai kaus bertuliskan ”Musik Yes, Mudik No” itu.