Embusan Toleransi dan Empati
Pameran ini merujuk pada gagasan usaha mengenali diri yang panjang dan tidak mudah sebelum mengenali orang lain untuk mengembangkan rasa empati dan toleransi.
Salah satu kegiatan Festival Sastra dan Seni Rupa Kristiani 2020-2021 di Jakarta menghadirkan pameran lukisan bertajuk Kau Rasa Beta Rasa. Ada rengkuhan napas di situ demi meraih keyakinan hidup yang bisa saling memahami dan harmoni penuh toleransi, yaitu dengan mengembangkan sikap dasar empati.
Seni instalasi cetak lukisan dan gambar atau drawing karya Setiyoko Hadi ditampilkan dengan judul ”40 Wajah” (2020). Instalasi ini disusun dengan 40 cetakan lukisan dan potret diri berbagai pose Setiyoko. Ia merujuk pada gagasan usaha mengenali diri yang panjang dan tidak mudah sebelum mengenali orang lain untuk mengembangkan rasa empati dan toleransi.
”Angka 40 itu seperti perjalanan bangsa Israel menuju tanah terjanji selama 40 tahun. Juga seperti perjalanan bahtera Nabi Nuh selama 40 hari yang disertai hujan siang dan malam hingga menjadi air bah,” ujar Setiyoko, Rabu (31/3/2021).
Toleransi seperti hal sederhana dan menjadi kata yang mudah dan ringan untuk diobral. Bagi Setiyoko, toleransi memiliki harga mahal yang harus terbayarkan melalui proses perjalanan panjang.
Karya Setiyoko hadir bersama karya 37 seniman peserta lainnya dalam pameran lukisan Kau Rasa Beta Rasa di Grha PGI Salemba, Jakarta. Pameran ini berlangsung mulai dari 27 Maret sampai 10 April 2021. Pameran tanpa kurator ini menggunakan konsep karya dan gagasan Setiyoko sebagai pijakan tajuk pameran.
”Masa pandemi Covid-19 ini menjadi tantangan bagi kepekaan dan rasa empati terhadap penderitaan satu sama lain agar selanjutnya kita bisa tolong-menolong,” ujar Setiyoko.
Mengenali diri untuk mengenali orang lain menjadi konsep dasar berempati dan bekal hidup bertoleransi. Usaha mengenali diri seperti remeh-temeh, tetapi ini menjadi relevan di masa-masa terakhir sekarang ini yang masih diwarnai aksi terorisme.
Masih ada peledakan bom bunuh diri dengan menargetkan tempat ibadah. Juga aksi terorisme yang melawan aparat penegak hukum.
Terorisme menjadi kebalikan dari buah-buah usaha mengenali diri dengan baik. Terorisme menjadi buah dari ketidakberhasilan setiap usaha mengenali diri dan orang lain.
Kultur kematian
Kultur kematian menghinggapi sebagian orang yang tidak mampu mengembangkan rasa empati. Wujudnya berdampak menyengsarakan, sampai pada mematikan diri sendiri dan orang lain. ”Kultur kematian benihnya disemai dari rasa kebencian,” ujar peserta pameran lain yang juga seorang rohaniwan Katolik, Mudji Sutrisno SJ.
Mudji menampilkan salah satu karya lukisan berjudul ”Disalib di Ibu Kota” (2020) dengan media krayon di atas kertas berukuran 21 sentimeter x 29 sentimeter (cm). Lukisan itu prasasti ingatan baginya tentang kultur kematian yang ternyata masih ada pula di lingkungan umat terdekatnya dalam tingkatan tindakan korupsi.
”Beberapa waktu lalu, kami menghadapi persoalan korupsi untuk suatu pekerjaan yang nilainya sampai miliaran rupiah. Itu terjadi di lingkungan umat kami sendiri,” kata Mudji.
Korupsi adalah bagian dari kultur kematian. Kultur kematian lebih meluas lagi akhir-akhir ini sebagai aksi terorisme dengan bom bunuh diri di Makassar, Sulawesi Selatan. Disusul lagi insiden di Markas Besar Kepolisian Negara RI di Jakarta yang juga berujung pada kematian seorang perempuan penebar teror tersebut.
Kultur kematian atas dasar rasa kebencian tidak akan memperbaiki sebuah tatanan kehidupan. Mudji mengisahkan, perayaan Paskah saat ini juga relevan untuk mengupas dan menghapus kultur kematian yang tidak berguna.
Paskah merayakan kebangkitan atas kematian Yesus Kristus. Yesus mati atas penyaliban yang harus dihadapi. Yesus mati atas pengorbanan diri demi ajaran cinta kasih terhadap sesama manusia.
”Penyaliban dan kematian Yesus demi rasa kasih, bukan sebagai kultur kematian demi rasa kebencian,” ujarnya.
Mudji juga menyinggung tradisi seppuku di Jepang. Ini diartikan sebagai tindakan memotong perut hingga membunuh dirinya sendiri. Hal ini ditempuh samurai di Jepang yang merasa gagal menjalankan tugas atau melakukan suatu kesalahan.
Bunuh diri dalam konteks seppuku untuk memulihkan nama baik dan kehormatan diri seorang samurai. Bom bunuh diri yang ditujukan untuk mencelakakan bahkan membunuh orang lain di suatu tempat ibadah bukanlah suatu kehormatan. Ia membinasakan dirinya dan kehidupan di sekitarnya tidak dengan sebuah nilai kehormatan.
Pelukis Robinson Simarmata menampilkan karya lukisan ”Darah Yesus Beri Kehidupan” (2021) dengan media cat akrilik di atas kanvas berukuran 80 cm x 80 cm. Robinson seperti ingin menegaskan ketiadaan kultur kematian yang tidak berguna dari Yesus. Itu karena darah dan kematian Yesus memberi nilai lebih baik bagi kehidupan berikutnya.
Robinson melukis sebatang pohon dengan semua dedaunan yang memerah. Daun sebagai metafora kehidupan dan warna merah metafora darah pengorbanan atas penyaliban dan kematian Yesus.
Rengkuhan napas kehidupan penuh harapan juga dicurahkan seniman Rahardi Handining lewat karya lukis berjudul ”Ayunkan Kehidupan” (2018) dengan media cat akriliks di atas kanvas berukuran 140 cm x 90”. ”Saya melukiskan seorang anak yang bermain ayunan dari ranting pepohonan yang masih hidup untuk menghargai hidup dan kehidupan,” ujar Rahardi.
Hidup dalam perbedaan
Pelukis bercorak abstrak Gogor Purwoko menampilkan karya yang diberi judul ”Seiras” (2020) dengan media cat akrilik di atas kanvas berukuran 80 cm x 80 cm. Gogor bertutur tentang hidup sesungguhnya, dalam situasi dan kondisi apa pun, selalu dalam perbedaan. ”Perbedaan selalu terjadi di ruang kehidupan di mana pun dan kapan pun,” ucap Gogor.
Memang memungkinkan untuk menyeragamkan sesuatu dengan kekuasaan yang dimiliki. Akan tetapi, kekuasaan itu ada batasnya dan suatu hal yang sia-sia untuk setiap usaha menyeragamkan isi pikiran.
Sebanyak sembilan gambar (drawing) masing-masing dengan media pena di atas kertas berukuran 21 cm x 30 cm ditampilkan pelukis Made Suparta dengan judul ”Tumbuh Bersama” (2020). Made Suparta seperti mengembuskan napas untuk kehidupan yang dipenuhi perbedaan.
Pelukis Indra Gunadharma menohok dengan lukisannya yang diberi judul ”Cinta Kasih” (2020) dengan media cat akrilik di atas kanvas berukuran 115 cm x 92 cm. Indra melukis seekor induk anjing sedang menyusui dua kucing.
Indra membuat metafora yang pedas. Seekor induk anjing mengungkapkan rasa kasih sayangnya kepada kucing.
Anjing dan kucing sebagai representasi bukan sekadar perbedaan, melainkan jauh dari itu sebagai tabiat alami yang saling mempertentangkan. Lewat lukisan itu, Indra menyindir manusia dengan sesamanya yang tidak bisa mengembangkan rasa cinta kasih.
Pelukis Heru Susanto menghadirkan karya berjudul ”Napas Kehidupan” (2019) dengan media soft pastel di atas kertas berukuran 42 cm x 59 cm. Ada citra pewayangan berupa punakawan Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong yang dilukiskan di antara figur realisme seorang laki-laki tertelungkup dan telanjang. Ada pula figur seorang perempuan duduk dengan mata terkatup membawa sebuah mangkuk.
Heru Susanto menyibak tabir napas kehidupan yang direngkuh dengan cara mengenali nilai-nilai tradisi satu sama lain. Heru menawarkan keindahan napas kehidupan dari keragaman kultural, karena di situ juga terjelma Kau Rasa Beta Rasa, serupa embusan toleransi dan empati.