Perlu Jaring Pengaman Sosial untuk Lindungi Pekerja Film
Riri Riza memprediksi perlu waktu sekitar lima tahun untuk menghidupkan lagi gairah perfilman nasional dan mengembalikan kepercayaan penonton untuk datang ke bioskop.
Oleh
DENTY PIAWAI NASTITIE
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebagian besar pekerja film mengandalkan pendapatan harian dan mingguan dari produksi film di Indonesia. Jaring pengaman sosial dibutuhkan untuk melindungi para pekerja film, terutama ketika mereka menghadapi krisis seperti saat ini.
Sutradara film dan Co-founder M Bloc Space Lance Mengong mengatakan, Indonesia perlu memiliki basis data arsip film nasional untuk lebih melindungi nasib para pekerja film. ”Dengan database ini, kita mengetahui apa aset yang kita punya. Aset film ini menjadi modal kita membuat paket bisnis baru sehingga mendapatkan aspek monetisasi lebih baik,” jelasnya, dalam diskusi virtual Ruang Dialog Sinema, Senin (2903/2021).
Hadir pula dalam diskusi Sutradara Riri Riza dan Kepala Desk Video Kompas Lucky Pransiska. Moderator dalam diskusi Program Director M Bloc Space Wendi Putranto. Acara diselenggarakan M Bloc Space bekerja sama dengan harian Kompas untuk menyambut Hari Film Nasional yang jatuh pada 30 Maret 2021.
Lance mencontohkan, film yang pernah diputar di bioskop bisa menghasilkan uang apabila kembali diputar secara berseri dalam ajang-ajang tertentu atau diputar dalam bentuk lainnya, seperti melalui pemutaran streaming. Dengan cara ini, para pekerja film tetap memperoleh manfaat ekonomi, terutama ketika produksi film terpaksa terhenti atau film tidak bisa diputar akibat pandemi yang berlangsung berkepanjangan.
Senada dengan Lance, sutradara film Riri Riza menekankan pentingnya mendaftarkan film sebagai hak kekayaan intelektual sehingga para pembuat film bisa mendapat manfaat ekonomi jangka panjang. ”Dengan mendaftarkan film, karya kita dilindungi dan menjadi milik kita selamanya,” ujar Riri.
Jaring pengaman sosial, lanjut Riri, bisa tercipta apabila para pekerja film bersatu dalam sebuah komunitas. Hal ini ditunjukkan pada 3-6 bulan awal masa pandemi, para pekerja film bahu-membahu membantu pekerja lepas yang mengandalkan upah harian untuk bertahan hidup, seperti pengemudi, pengatur cahaya pencahaya, dan pemeran figuran.
Selain itu, kehadiran negara juga penting untuk mewujudkan jaminan kesehatan untuk setiap lapisan masyarakat. Di sisi lain, para pekerja film harus terus diingatkan pentingnya memiliki nomor induk kependudukan mengingat itulah yang menjadi dasar negara untuk menyalurkan bantuan sosial dan menjalankan program vaksinasi Covid-19.
Perlu lima tahun
Sama seperti bidang lainnya, film juga menjadi industri yang terdampak pandemi. Hal ini terjadi setelah produksi sejumlah film harus terhenti atau ditunda, beberapa film terpaksa dibatalkan penayangannya karena bioskop tutup untuk mengurangi risiko kesehatan.
Selama 23 tahun terjun di industri film, menurut Riri Riza, pandemi menjadi tantangan terberat yang dihadapi para pekerja film. Hal ini terjadi karena krisis ini melumpuhkan semua aspek industri film, mulai dari produksi hingga distribusi. Tantangan berat industri film pernah dihadapi pada 1990-an ketika infrastruktur produksi film tidak merata dan terpusat pada daerah-daerah tertentu saja.
Akibatnya, kreativitas terbatas dan film yang diproduksi sangat minim keberagaman. Namun, sineas-sineas muda pada era itu bisa mempunyai semangat untuk melewati kesulitan karena setidaknya mereka masih bisa memproduksi film. Hasilnya, sejumlah film bahkan bisa menembus box office.
Industri film juga menghadapi tantangan pada 2011 dan 2012 ketika bioskop mengalami sepi pengunjung. Beberapa tahun kemudian, geliat film mulai tumbuh lagi seiring produksi film-film bermutu yang bisa membawa penonton kembali ke bioskop.
Kini, produksi film lumpuh dari berbagai lini kegiatan, mulai dari produksi hingga distribusi. Beberapa bulan terakhir, produksi mulai berjalan. Namun, jumlahnya tidak sebanyak dahulu. Riri Riza memprediksi dibutuhkan waktu sekitar lima tahun untuk menghidupkan lagi gairah perfilman nasional dan mengembalikan kepercayaan penonton ke bioskop.
Meski menemui jalan terjal, Lance percaya film Indonesia bisa bangkit lagi mengingat industri ini memiliki daya hidup yang baik. Hal itu dibuktikan pada sejarah yang menunjukkan bahwa film bisa bertahan di tengah berbagai tantangan.
Tahun lalu, Festival Film Indonesia juga berhasil diselenggarakan di tengah masa pandemi dengan cara hibrid, atau menyatukan ajang secarang daring dan luring. ”Saya lihat apa pun situasi yang dihadapi, entah itu Covid-19 ataupun bukan, industri film akan menemukan cara untuk bertahan,” ujarnya.
Untuk bisa bertahan, menurut Lance, protokol kesehatan adalah hal yang tidak bisa ditawar selama produksi dan pemutaran film. Tim produksi harus memperhatikan protokol kesehatan, membatasi akses pada arena shooting, dan menjamin kesehatan dan keselamatan para pekerja. Di sisi lain, gedung bioskop Indonesia juga harus terus menyosialisasikan protokol kesehatan agar para penonton merasa aman dan nyaman untuk menyaksikan film.
Saat ini, Lance sedang memproduksi film dengan tema musik dan silat. Selain memastikan produksi berjalan lancar, ia juga memikirkan model bisnis baru yang menguntungkan para pekerja film. ”Di tengah pandemi ini, penting memastikan para kreator tetap bekerja, sambil terus memikirkan model bisnis dan distribusi. Misalnya, kalau dulu hanya mengandalkan penjualan tiket bioskop, dengan keadaan sekarang harus ada model baru untuk mengakses publik agar target dan beban yang sebelumnya hanya mengandalkan bioskop, bisa terpenuhi,” katanya.