Berpaling ke Museum
Karya-karya seni yang menjadi lompatan itu ditengarai menjadi penanda karakter seniman muda saat ini. Keterampilan melukis realisme bukan menjadi dasar ekspresi mereka.
Museum selalu menjadi tempat menarik, tetapi sebagian tidak pernah menjadi tempat favorit untuk dikunjungi. Beraneka kegiatan pun digelar agar publik rela berpaling ke museum.
Sebuah pameran seni rupa diberi tajuk ”Membingkai Ulang Basoeki Abdullah” digelar di Museum Basoeki Abdullah, Jakarta, 17 Maret hingga 7 April 2021. Beberapa seniman muda yang tergabung ke dalam kelompok Kilau Art Studio di Jakarta dan sekitarnya menampilkan sejumlah karya seni rupa kontemporer.
Meski tajuk pameran membingkai ulang Basoeki Abdullah, sebagian besar karya yang muncul di dalam bingkai bukan lagi seperti karya Basoeki Abdullah. Ada jati diri dari letupan emosi para seniman muda di masa kekinian, termasuk di tengah masa pandemi Covid-19.
”Karya saya ini merespons perasaan depresi tidak bisa kembali untuk kuliah di China karena pandemi Covid-19. Saya merasa depresi karena susah untuk keluar ke mana-mana, lalu muncul kegelisahan, dan sebagainya,” tutur Arianne Kresandini (29), Kamis (25/3/2021).
Arianne menampilkan karya berjudul, Hati (-Hati), sebuah seni instalasi dengan media campuran berdimensi 156 sentimeter kali 58 sentimeter kali 150 sentimeter. Ia menempatkan tiga balon merah berbentuk hati. Di bagian alas lantai berserak selongsong peluru. Di bagian depan ada sebuah kaca bening pecah tertembus peluru.
Pandemi Covid-19 ibarat hujan peluru. Simbol hati seperti diri kita. Hujan peluru itu menimbulkan suasana yang mencekam. Muncul kekhawatiran sewaktu-waktu peluru menembus tubuh kita.
Arianne menempatkan judul Hati (-Hati) selain menampilkan simbol hati di tengahhamburan selongsong peluru, sekaligus mengingatkan selama pandemi Covid-19 agar senantiasa berhati-hati. Covid-19 seperti peluru yang terempas ganas dan tajam.
”Ketika membuat karya ini saya tidak terinspirasi dari sosok pelukis Basoeki Abdullah. Ini muncul dari dalam diri saya,” ujar Ariane, lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, yang sejak 2018 melanjutkan jenjang studi S-2 di Nanjing University of Arts di China.
Di Nanjing University of Arts, Arianne saat ini tinggal menyelesaikan tugas akhir penyusunan laporan tesis. Ia mempersiapkan tesisnya tentang kerajinan rotan pada perhiasan kontemporer.
”Laporan tesis saya dari eksperimen menyatukan dua elemen perhiasan yang memiliki karakter berlainan, antara rotan dan logam,” kata Arianne.
Arianne menggandeng para perajin perak di Kotagede, Yogyakarta. Selain itu, Arianne menggandeng pula para perajin rotan dari Cirebon untuk eksperimennya tersebut.
Arianne hadir di pameran ini bersama para seniman muda lainnya, meliputi Delano Wibowo, Asmoadji, Dwi Rustanto, Fatturahman Ardiansyah, Janitrasafa Asmorodigdo, Mayek Prayitno, Ray Rachmah, Rosita Rose, Salma Annisa Putri, Sri Hardana, Sugiharto, Tunggul Rajdipa, dan Wahid.
Terbilang hampir semua karya mereka terlepas dari bingkai stereotipe Basoeki Abdullah, pelukis realisme dan romantisme. Hanya Rosita Rose yang menampilkan karya lukisan realisme dengan judul, Infinite Impermanence (2021), dengan media cat minyak di atas kanvas berukuran 55 sentimeter kali 110 sentimeter. Rosita menuangkan figur anak laki-laki berada di dalam dekapan seorang perempuan.
Inspiratif
Bagaimanapun juga tokoh pelukis Basoeki Abdullah tetap menjadi sosok inspiratif bagi seniman-seniman muda peserta pameran. Akan tetapi, bukan hal mudah untuk menempuh jalur seni sesuai pilihan Basoeki Abdullah.
”Karya saya terinspirasi Basoeki Abdullah yang sering melukis wanita-wanita,” ujar seniman Ray Rachmah.
Ray menampilkan karya lukisan yang diberi judul, Dialog Lelaki (2021), dengan media cat akriliks di atas kanvas berukuran 100 sentimeter kali 100 sentimeter. Ada empat figur lelaki dilukis masing-masing dengan kepala berbentuk apel merah, telur, apel hijau, dan bentuk rumah.
Keempat lelaki itu sedang bercengkerama satu sama lain. Di belakang mereka ada enam perempuan berdandan cantik. Ada beberapa perempuan di antaranya bertelanjang dada dan sekadar mengenakan kutang.
Ray juga melukiskan empat ekor kelinci di antara sela kaki-kaki para lelaki. Kelinci dimaksudkan menjadi simbol playboy.
”Melalui karya lukisan ini saya ingin menunjukkan hampir semua lelaki itu playboy,” ujar Ray, lulusan Jurusan Sastra Inggris pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (UI).
Peserta pameran Sugiharto menyatakan hal sama terinspirasi Basoeki Abdullah yang gemar melukis sosok perempuan. Sugiharto menampilkan karya lukisannya yang diberi judul, ”Mother of Earth” (2021), dengan media cat akriliks di atas kanvas berukuran 120 sentimeter kali 90 sentimeter.
”Mother of Earth itu Ibu Pertiwi. Saya melukis tubuh ibu bumi dari bentuk akar-akar pepohonan,” ujar Sugiharto.
Perupa lainnya, Wahid, mengambil figur Basoeki Abdullah untuk karya lukisan timbul atau seperti relief bolak-balik yang diberi judul, ”Tragedi” (2021). Wahid menggunakan media cat akriliks dan media campuran berukuran 150 sentimeter kali 145 sentimeter.
Dari sisi depan, Wahid membentuk relief wajah Basoeki Abdullah dengan topi baret, khasnya. Ia melumurkan cat dengan warna keemasan. Di sisi sebaliknya, Wahid membentuk dua figur laki-laki sebagai simbol perampok yang menghabisi nyawa Basoeki Abdullah.
Saling mengimbangi
Peserta pameran Asmoadji menampilkan karya seni instalasi yang diberi judul, ”Tersusun Mengimbangi” (2021). Ia menggunakan media tripleks, seng, kayu, dan bambu, dengan dimensi 182 sentimeter kali 25 sentimeter kali 92 sentimeter.
Asmoadji membuat susunan papan tripleks dan seng ditopang dengan bilah-bilah bambu. Ini seperti rumah-rumah panggung sederhana yang ada di bantaran sungai.
”Pada dasarnya, manusia mempunyai sifat sosial yang berbeda-beda dengan manusia lainnya. Dari perbedaan sifat sosial tersebut, manusia pun terbentuk untuk saling mengimbangi,” ujar Asmoadji.
Dari sifat saling mengimbangi itu kemudian terbentuk karakter saling menolong. Mungkin saja ini sebuah kritik sosial Asmoadji terhadap sebuah ketimpangan ekonomi yang akhirnya memicu kriminalitas.
Kurator pameran Hendra Ishanders melihat ada berbagai lompatan yang dihasilkan para seniman muda peserta pameran tersebut. Membingkai ulang Basoeki Abdullah justru tidak menjadi arus yang menyeret ekspresi para seniman.
”Para seniman terbebas dalam mengekspresikan diri, meskipun pameran ini untuk membingkai ulang Basoeki Abdullah,” ujar Hendra, yang juga didampingi kurator lainnya, Rengga Gautama Satria.
Karya-karya seni yang menjadi lompatan itu ditengarai menjadi penanda karakter seniman muda saat ini. Keterampilan melukis realisme bukan menjadi dasar ekspresi mereka.
Melukis realisme seperti yang ditempuh Basoeki Abdullah membutuhkan waktu dan kemampuan fokus tersendiri. Para seniman muda dan generasi milenial sekarang jarang mengerjakan lukisan realisme, mungkin saja karena waktunya lebih banyak terserap kegiatan produktif industrial.
Hendra membagi tampilan karya yang dipamerkan menjadi tiga hal, meliputi karya apropiasi yang meminjam elemen karya Basoeki Abdullah, respons secara kontemporer terhadap artefak Basoeki Abdullah, dan karya ilustratif terhadap kondisi sosial humanisme terkini.
”Kebaruan dari karya-karya ini justru terletak pada karya yang berjarak dengan museum,” ujar Hendra.
Museum memang bertujuan melanggengkan sebuah warisan. Justru dari pemaknaan yang berjarak dengan lompatan karya-karya yang jauh berbeda, museum itu menjadi museum yang hidup, museum yang diisi denyut nadi kehidupan generasi berikutnya. (NAWA TUNGGAL)