Keterwakilan Perempuan Musisi Grammy Awards 2021
Hingga kini, masih sedikit perempuan yang masuk nominasi, meraih piala, dan memegang gelar terbanyak drai ajang Grammy Awards.
Malam penghargaan musik paling prestisius Grammy Awards 2021 menjadi sejarah di mana perempuan mendominasi perolehan piala pada kategori penghargaan tertinggi. Sebutlah nama-nama peraih piala, Beyoncé, Megan Thee Stallion, Taylor Swift and Billie Eilish. Namun, nyatanya masih sedikit perempuan yang masuk nominasi, meraih piala, dan memegang gelar terbanyak.
Tahun ini, Grammy Awards memasukkan 23 persen perempuan dalam daftar nominasi, atau 198 dari total 853 nominasi pada 83 kategori. Pada perhelatan ke-63, Minggu (14/3/2021) malam waktu AS atau Senin (15/3) pagi WIB, Beyonce membawa pulang empat piala dari sembilan nominasi. Ia memperoleh piala antara lain dari kategori Lagu Pop Terbaik “Savage” bersama Megan Thee Stallion, dan Penampilan R&B Terbaik pada lagu “Black Parade”.
Tambahan piala itu membuat ia menjadi perempuan dengan koleksi piala Grammy terbanyak, yaitu 28 piala. Selain Beyonce, beberapa artis perempuan lainnya mendominasi kategori penting, seperti H.E.R. melalui “I Can’t Breathe” dinobatkan sebagai Lagu Tahun Ini. Taylor Swift juga memukau dengan keberhasilannya menjadi perempuan pertama yang membawa pulang tiga piala Grammy untuk kategori Album Tahun Ini.
Keberhasilan perempuan memecahkan rekor memberikan angin segar untuk terwujudnya kesetaraan di panggung musik. Namun, ini masih belum cukup mengingat industri musik secara keselutuhan belumlah inklusif, baik itu dalam hal gender, seksualitas, dan warna kulit. Bukan rahasia umum bahwa keterwakilan perempuan di industri musik masih belum ideal, serta musisi dan penyanyi perempuan potensial mengalami diskriminasi.
Berdasarkan penelitian Inclusion Initiative di University of Southern California, yang berjudul: Inclusion in the Recording Studio, jurang ketidaksetaraan pada Grammy sangat nyata. Lembaga itu mencatat, hanya ada 10,4 persen perempuan yang dinominasikan dalam kategori penghargaan sepanjang 2013 – 2018. Jumlah laki-laki lebih banyak, yaitu mencapai 89,6 persen. Sebagian besar laki-laki juga mengisi lima kategori bergengsi, Record of the Year, Album of The Year, Song of The Year, Best New Artist, dan Producer of The Year.
Penelitian itu juga menjelaskan bahwa secara umum perempuan belum mendapatkan tempat di industri musik. Dari tiga posisi kreatif, hanya ada 21,7 persen perempuan menjadi musisi dan vokalis, 12,3 persen menjadi penulis lagu. Sementara produser hanya ada 2,1 persen.
Rasio perempuan di banding laki-laki yang berperan sebagai produser musik adalah 1:47. Dari jumlah itu itu, jumlah perempuan dengan kulit berwarna lebih sedikit lagi, yaitu 4 orang dari 871 produser. Data ini muncul dari penelitian terhadap 400 lagu terkenal berdasarkan tangga lagu Billboard sepanjang 2012-2018.
The New York Times mencatat, dalam beberapa tahun terakhir, jumlah perempuan di industri musik menurun. Tercatat penulis lagu perempuan pada 2015 sebanyak 13,7 persen. Pada 2018, jumlahnya menyusut menjadi 12,2 persen. Secara umum hanya ada 22,4 persen perempuan yang terlibat pada 600 lagu terkenal sepanjang 2012-2017.
Inclusion Initiative menjabarkan bahwa perempuan menghadapi tantangan umum dan tantangan spesifik di industri musik, termasuk penulis lagu dan dan produser perempuan kerap diragukan dalam hal kemampuan, kompetensi, dan pengetahuan.
Secara spontan, responden perempuan juga mengutarakan bahwa karier mereka dianggap identik dengan aktivitas seksual. Ada pula yang melaporkan perempuan sebagai korban pelecehan seksual di lingkungan pekerjaan yang membuat perempuan merasa tidak aman.
Pendiri dan direktur Annenberg Inclusion Initiative, Stacy L. Smith menjelaskan, kurangnya suara perempuan membentuk musik pop. “Ini secara langsung diterjemahkan menjadi apa yang diceritakan atau dikomunikasikan kepada audiens, tentang norma, tentang pengalaman hidup - dan kami melihat perempuan dikucilkan dari proses ini,” ujarnya.
Piala terbanyak
Grammy pertama kali bergulir pada 1959. Sejak pertama kali berlangsung, hanya ada dua nama perempuan di dalam daftar 14 artis dengan penghargaan terbanyak, termasuk Beyonce. Di bawah Beyonce ada penyanyi dan musisi Alison Maria Krauss (27). Sementara, sisanya atau 12 orang kolektor piala terbanyak laki-laki, termasuk Georg Solti dengan 31 piala.
Keresahan akan panggung Grammy yang tidak inklusif mencapai puncaknya beberapa tahun terakhir, ditandai dengan adanya tuduhan seksisme sistemik dan penyimpangan suara di tubuh Recording Academy, penyelenggara Grammy. Masih segar dalam ingatan pada 2018, ajang musik bergengsi itu dihebohkan dengan tagar viral #GrammySoMale yang berarti #GrammySangatLaki-laki setelah Alessia Cara menjadi satu-satunya perempuan penerima piala pada kategori bergengsi penyanyi pendatang baru terbaik.
Kontroversi kian runcing ketika pemimpin Recording Academy Neil Portnow berbicara kepada Varietybahwa perempuan harus “melangkah” untuk bisa bersaing. Tentu saja, pernyataan Portnow mendapat kecaman dari berbagai pihak. Kurang dari setahun kemudian, Portnow mundur dari posisinya, tetapi kata-katanya sudah terlanjut terlontarkan dan menyulut kemarahan banyak penikmat dan kritikus musik.
“Kepada siapa gadis-gadis muda akan terinspirasi untuk belajar gitar dan rock, ketika hampir semua kategori diisi laki-laki?” ujar Sheryl Crow, penyanyi dan gitaris asal Amerika Serikat.
Pink, yang berhasil membawa pulang tiga piala Grammy, juga menulis di Twitter untuk merespons pernyataan Portnow. Dengan tegas ia menyatakan bahwa perempuan sudah melangkah sejak awal waktu. “Saat kami merayakan dan menghormati bakat dan pencapaian perempuan, dan […], melawan segala rintangan, kami menunjukkan kepada generasi berikutnya apa artinya menjadi setara,” tulis Pink.
Ketidakseimbangan representasi perempuan bertolak belakang dengan pertunjukan di panggung yang sama. Mengusung kampanye #MeToo, Grammy 2018 menghadirkan Kesha yang menghadirkan penampilan menyentuh. Kesha tampil membawakan single “Praying” dari album Rainbow(2017). Lagu itu diciptakan setelah ia mengalami pelecehan seksual serta kekerasan fisik dan emosional dari mantan produsernya, Dr Luke.
Baca juga : Taylor Swift dan Senandung Imajinasi Pandemi
Pengalaman traumatis itu membuat Kesha sempat tidak bisa merilis album selama tiga tahun. Berusaha bangkit dari keterpurukan, Kesha menciptakan lagu Praying yang disebutnya telah membantu keluar dari tekanan. Di atas panggung Grammy, Kesha semakin kuat. Ia bernyanyi ditemani oleh deretan perempuan seperti Camila Cabello, Bebe Rexha, dan Cyndi Lauper.
Setelah penampilan itu, gelombang dukungan untuk Keisha bermunculan. Perjuangan Kesha menginspirasi deretan penyanyi dan musisi perempuan lainnya untuk berbicara terus terang tentang pengalaman pelecehan seksual yang mereka alami di industri hiburan.
Seiring gerakan #MeToo yang bergema, Recording Academy berbenah. Hal ini ditandai dengan perombakan anggota dan investigasi pada tuduhan penyimpangan suara. Seiring berjalannya waktu, representasi musisi dan vokalis dengan beragam warna kulit dan gender juga bermunculan. Pada 2019, misalnya, kategori Album of the Year memposisikan empat perempuan sebagai nominasi, yaitu Janelle Monáe, Kacey Musgraves, Brandi Carlile,and H.E.R. Ini merefleksikan perubahan pada ajang tersebut setelah mendapatkan sorotan publik.
Namun, perubahan representasi itu dinilai belum cukup mengingat dampak terhadap industri musik secara keseluruhan belum terasa. Penelitian tantangan dan peluang perempuan di industri musik yang dilakukan Berklee College of Music beberapa bulan lalu menyebutkan, sebagian besar perempuan masih mengalami bias gender, ras, dan etnis, di industri musik.
Recording Academy telah berjanji, menggandakan jumlah pemilih nominasi perempuan pada tahun 2025 dan meningkatkan partisipasi perempuan dalam bisnis musik. “Meskipun kami berharap akan melihat manfaat dari upaya itu, kami belum melihat kemajuan yang cukup berarti hingga saat ini," kata Ketua dan Presiden Sementara dan Kepala Eksekutif, Harvey Mason Jr. Pernyataan itu dikutip oleh the Guardian, sebelum malam penghargaan.
Baca juga : H.E.R. dan Napas Orang Kulit Hitam
Menurut Editor Billboard West Coast, Melinda Newman dikutip dari National Public Radio, apa yang terjadi pada Academy Awards adalah bagian dari masalah yang lebih besar, “yaitu kurangnya keragaman dalam industri musik secara umum,” kata dia.
Hal ini cukup memprihatinkan mengingat musik punya peranan penting sebagai bahasa universal. Musik berguna tidak hanya mempengaruhi emosi dan mood seseorang, tetapi bisa juga bisa membuat perubahan sosial. Bukankah kolaborasi dengan kelompok beragam gender dan warna kulit bisa menghasilkan inovasi karya musik yang lebih indah dan kreatif?