”Ikatan Cinta” dan Kisah Sinetron yang Tetap Digemari Penonton Indonesia
Sinetron adalah hiburan tua yang eksis sejak beberapa dekade lalu. Seiring berjalannya waktu, sinetron bertransformasi jadi opera sabun kerap mengisahkan drama keluarga. Walakin, penggemarnya tetap ada.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sinema elektronik alias sinetron memang sudah tua. Sinetron tenar ketika orang-orang masih menonton di televisi tabung, jauh sebelum Youtube atau Netflix ada. Walau hiburan-hiburan baru zaman sekarang bermunculan, sinetron tetap langgeng dan punya tempat di jam tayang utama (prime time).
Mata Juria (58) tidak lepas dari layar televisi tuanya, Senin (15/3/2021) pukul 18.30. Saat itu salah satu sinetron kesukaannya sedang tayang. Enggan ketinggalan cerita, kepalanya hanya berpaling dari televisi saat ada yang membeli makanan dagangannya. Kepalanya terus menghadap televisi bahkan saat menggoreng ayam.
”Ini ceritanya soal suami dan istri. Terus, ada yang selingkuh, gitu,” jelas Juria.
Ia hafal jam tayang sinetron di beberapa stasiun televisi. Salah satu judul kesukaannya adalah Ikatan Cinta, sinetron yang hits saat ini. Juria suka dengan drama cinta dan keluarga yang disuguhkan. Setidaknya dia jadi tahu definisi pasangan romantis. ”Habis, saya dan suami sama-sama cuek, sih,” ujarnya.
Sinetron itu sudah tayang lebih dari 200 episode. Namun, Juria tidak bosan-bosan. Dia menikmati naik-turunnya konflik sinetron. Sesekali dia gemas ingin ”mencubit” tokoh antagonis.
Pedagang makanan, Siti (40), juga terpincut sinetron. Ia bahkan mampu bersimpati pada tokoh protagonis dan geregetan dengan tokoh antagonis. Padahal, ia baru mulai menonton dua bulan terakhir.
Selain ibu-ibu, sinetron juga dikonsumsi milenial. Karyawan swasta, Ika Rizqi Fitriani (28), mulai menonton sinetron untuk mengisi waktu selama pandemi Covid-19. Sama seperti Juria dan Siti, Ika pun penggemar Ikatan Cinta. Menurut dia, lakon para pemainnya apik. Konfliknya pun selalu tuntas, tidak berlarut-larut.
Keluarga Ika jadi ikut menyukai sinetron, termasuk suami yang mulanya tidak tertarik dengan sinetron. Menurut mereka, sinetron tersebut berbeda dari opera sabun televisi pada umumnya. Ika bahkan rela streaming jika ketinggalan tayangan di televisi.
”Saya tidak terlalu suka sinetron sebenarnya. Alur ceritanya kadang diulang-ulang dan konfliknya itu-itu saja sehingga membosankan. Namun, yang ini tidak begitu,” kata Ika.
Drama keluarga
Umumnya sinetron bertema drama keluarga yang terdiri dari suami, istri, dan anak yang sudah besar. Konfliknya beragam, bisa jadi cinta segitiga, perselingkuhan, perjodohan, hingga anak yang tertukar.
Penulis skenario lepas, Sherly Melody (48), mengatakan, drama keluarga biasanya menampilkan sosok perempuan protagonis yang lemah atau teraniaya. Konsep cerita ini digemari konsumen yang rata-rata adalah emak-emak. Beberapa sinetron bahkan menggunakan kata ”istri” di judulnya.
”Biasanya penonton sinetron itu perempuan dan seorang istri. Mereka dibuat ikut terlibat dalam cerita. Walau mereka tidak mengalami konflik seperti tokoh sinetron, setidaknya emosi mereka sebagai sesama perempuan dilibatkan,” kata Sherly saat dihubungi, Jumat.
Ia tidak menampik jika cerita sinetron kerap kali “keluar jalur”. Skenario yang sudah disiapkan bisa berubah sewaktu-waktu, tergantung arahan sutradara dan animo penggemar. Ini lumrah terjadi di sinetron stripping yang tayang tiap hari.
Konflik sinetron bisa jadi dipanjangkan jika rating televisinya baik. Bukan tidak mungkin tujuan cerita bergeser dari yang sudah ditetapkan sebelumnya. Pengembangan ceritanya begitu dinamis mengikuti kesukaan penonton.
Sinetron zaman dulu menarik karena muatan moral yang kental. Ceritanya pun berbobot. Sinetron seperti itu sulit direplikasi di zaman sekarang. Peluang penulis agar tidak melulu membuat cerita picisan adalah dengan menjajal platform hiburan lain.
Semakin tinggi ratingnya, semakin lama juga sinetron berakhir. Sebab, rating tinggi mendatangkan cuan. Banyak pihak ingin beriklan lewat sinetron. Maka, tak heran jika sewaktu-waktu ada adegan bikin kopi di tengah cerita.
Penulis skenario kerap gamang karenanya. Mereka terjebak di garis idealisme dan realisme. Keinginan menulis cerita yang bagus dan berbobot tidak selalu berujung sukses. Cerita yang remeh-temeh malah lebih laku dan mendatangkan iklan.
”Sinetron dengan cerita bagus seperti Losmen yang tayang dulu sudah tidak mendapat tempat lagi. Yang remeh lebih banyak ditonton. Itu karena target penonton adalah masyarakat menengah ke bawah. Mereka butuh hiburan yang ringan. Sinetron pun hiburan murah karena tersedia gratis di televisi,” kata Sherly yang telah menulis skenario sinetron, film televisi (FTV), hingga film.
Sherly terlibat dalam penulisan skenario tayangan populer, antara lain Cinta Fitri, Kisah Sedih di Hari Minggu, dan Putri Cahaya. Ia kerap berperan sebagai penulis bayangan atau ghost writer di industri televisi.
Kedekatan
Almarhum Arswendo Atmowiloto, wartawan senior dan budayawan, pernah menulis, sinetron bisa langsung masuk ke kehidupan rumah tangga tanpa ”seremoni” atau upaya khusus dari keluarga, seperti datang ke bioskop. Sinetron bisa dinikmati sambil santai dengan sarung, sandal jepit, hingga telanjang dada. Sinetron juga bisa dinikmati tanpa membedakan strata sosial, golongan, pendidikan, dan waktu (Kompas, 16/9/1985).
Istilah sinetron pertama kali dipopulerkan oleh tabloid Monitor. Sinetron merupakan akronim dari sinema elektronika. Perkembangan sinetron kian marak sejak 1981 yang ditandai dengan acara Sepekan Film Indonesia (Kompas, 2/9/1990).
Dulu, sinetron hanya ditayangkan di TVRI. Beberapa sinetron yang pernah tayang antara lain Sayekti dan Hanafi, Tuanku Tambusai, Pemahat Borobudur, Di Timur Matahari, dan Sitti Nurbaya. Pada 1990, sinetron mulai ditayangkan di televisi swasta.
Biasanya penonton sinetron itu perempuan dan seorang istri. Mereka dibuat ikut terlibat dalam cerita. Walau mereka tidak mengalami konflik seperti tokoh sinetron, setidaknya emosi mereka sebagai sesama perempuan dilibatkan.
Menurut Sherly, sinetron zaman dulu menarik karena muatan moral yang kental. Ceritanya pun berbobot. Sinetron seperti itu sulit direplikasi di zaman sekarang. Peluang penulis agar tidak melulu membuat cerita picisan adalah dengan menjajal platform hiburan lain, misalnya platform streaming. Konsumen di platform berbayar biasanya menuntut cerita yang bagus.
Saat dihubungi terpisah, pengamat sosial dari Universitas Indonesia, Devie Rahmawati, mengatakan, sinetron tetap akan menarik konsumen terlepas dari kualitas ceritanya. Itu karena sinetron merupakan produk budaya pop yang merangkul empat prinsip.
Pertama, sinetron sebagai sarana pelarian yang menawarkan mimpi baru bagi konsumen. Kedua, untuk propaganda. Ketiga, menyediakan pengalaman sama atau baru untuk konsumen. Keempat, produksi "dosa”.
“Empat prinsip ini hasil riset di tahun 1933 dan masih relevan hingga sekarang. Keempatnya memenuhi kemanusiaan kita. Sinetron menawarkan dasar kemanusiaan, yakni emosi. Drama sinetron sama dengan emosi, baik kesedihan, kemarahan, ketakutan, dan sebagainya,” kata Devie.
Menurut dia,wajar jika penggemar begitu terikat secara batin dengan emosi. Belakangan, ada artikel yang menyorot ibu-ibu yang menggelar syukuran karena tokoh utama sinetron tidak jadi bercerai. Ada juga yang sampai menyurati sutradara sinetron karena ceriatanya kelewat sedih.
”Karena jumlah penonton sinetron besar, mereka perlu dibebani tanggung jawab moral, misalnya untuk mengampanyekan pemakaian masker atau menampilkan konten bernilai positif,” katanya.