Soal Konser, Ada Angin Segar, tetapi Masih Sepoi-sepoi
Pelaku industri pertunjukan musik senang pemerintah memberi angin segar untuk meenggelar konser. Namun, mereka bilang, angin yang ditiupkan masih sepoi-sepoi. Mereka masih menunggu kepastian.
Oleh
Herlambang Jaluardi dan Budi Suwarna
·5 menit baca
Pelaku industri musik senang mendengar kabar dari pemerintah soal kemungkinan penyelenggaraan konser dengan protokol ketat di masa pandemi Covid-19. Meski begitu, mereka tetap menunggu kepastian.
Kabar tersebut disampaikan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno, antara lain, dalam acara bincang-bincang dengan pelaku industri event dan pemangku kepentingan lainnya, mulai dari jajaran Polri, Kementerian Kesehatan, hingga Satgas Penanganan Covid-19, Senin (8/3/2020). Pertemuan itu, antara lain, membahas pedoman protokol CHSE, yakni kebersihan (cleanliness), kesehatan (health), keamanan (safety), dan kelestarian lingkungan (environmental sustainability) yang mesti dijalankan pelaku industri pariwisata dan event, termasuk konser/festival musik.
Pada acara itu Sandiaga juga meminta dukungan kepada Kepala Polri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo terkait masalah perizinan. Listyo menjawab, ”Prinsipnya kami akan mendukung seluruh program yang dipersiapkan Kemenparekraf, khususnya teman-teman yang tergabung di alam asosiasi-asosiasi kreatif. Kemarin sempat kami baca juga bahwa memang perlu ada suatu upaya memberikan relaksasi ataupun kelonggaran. Namun, di sisi lain program protokol kesehatan betul-betul kita laksanakan.”
Anas Syahrul Alimi, Ketua Bidang Jaringan dan Pendidikan Asosiasi Promotor Musik Indonesia, yang hadir dalam acara itu mengaku senang meski soal izin konser sejatinya belum ada. ”Ya, tinggal kita kawal saja sampai izin (konser) benar-benar keluar,” ujar Anas yang juga CEO Rajawali Indonesia, perusahaan promotor pertunjukan musik, Rabu (10/3/2011) siang.
Sikap serupa ditunjukkan Wendi Putranto, pengelola gedung pertunjukan Live House di M Bloc, Jakarta. Ia menganggap, apa yang disampaikan pemerintah baru sebatas kabar baik bagi pelaku industri pertunjukan. ”Selama belum ada surat resmi (terkait izin) dari Kapolri, kami masih menganggap itu kabar baik saja. Perlu surat instruksi yang ditujukan ke tingkat Polda sampai ke Polsek. Biasanya kalau enggak ada surat instruksi, ya, tidak akan dianggap oleh bawahan-bawahannya. Apalagi, kemarin yang menyampaikan kabar itu bukan Kapolri sendiri, ya, tapi Menparekraf,” kata Wendi saat dihubungi Selasa (10/3/2021).
Pedoman protokol CHSE sebenarnya sudah disosialisasikan Kemenparekraf sejak akhir Agustus 2020. Namun, pedoman CHSE belum pernah benar-benar diujicobakan pada pertunjukan musik yang tiarap sejak setahun silam akibat wabah Covid-19.
Sekitar sebulan setelah pedoman CHSE dikeluarkan, Wendi mengaku pernah mengajukan izin menggelar pertunjukan musik ke Dinas Pariwisata DKI Jakarta, sesuai domisili M Bloc di Jakarta Selatan. Tiga minggu setelah pengajuan, M Bloc disurvei petugas pemerintah dari berbagai instansi, seperti Dinas Pariwisata, Satuan Tugas Covid-19 DKI Jakarta, Satpol PP, serta beberapa personel polisi dan tentara.
Jadi, ternyata yang dianggap live music itu adalah set akustik dengan penonton yang duduk. Kalau konser itu, penontonnya melantai, dia bilang.
”Kami mempresentasikan protokoler kesehatan yang sudah kami jalani, simulasikan pengaturan posisi penonton. Salah satu petugasnya bilang, kalau konser belum bisa, tapi live music bisa. Jadi, ternyata yang dianggap live music itu adalah set akustik dengan penonton yang duduk. Kalau konser itu, penontonnya melantai, dia bilang,” kata Wendi.
Dari hasil survei itu, M Bloc sempat beberapa kali menggelar pertunjukan bernama Emerging Acoustica, yang seluruh penampilnya adalah musisi pendatang baru. Tak semua akustik, tetapi penontonnya yang sedikit itu, semuanya duduk. Program sebulan sekali itu berhenti pada Januari ketika angka pasien Covid-19 meningkat drastis.
Selama pandemi, M Bloc kehilangan pendapatan Rp 2,5 miliar dari kontrak sewa gedung pertunjukan untuk lebih dari 20 acara. Pengunjung area jajanan di situ juga menurun drastis jika dibandingkan dengan tahun 2019. Sementara band-band baru (rata-rata 60-80 band per bulan mendaftar untuk tampil di acara Emerging Acoustica) yang kehilangan ruang berekspresi bisa dianggap sebagai kerugian tak ternilai.
Setahun nihil pentas musik, Wendi dan sejumlah rekan musisi dan manajer musisi mulai gelisah. Mereka menyadari, yang kehilangan pendapatan bukan hanya pengelola tempat pertunjukan atau musisi saja, melainkan juga para pekerja panggung yang hidupnya bergantung dari penyelenggaraan acara.
Oleh karena itu, mereka sudah mengajukan jadwal pertunjukan untuk 26 Maret ke Dinas Pariwisata DKI Jakarta. Konsernya bertajuk Grand Rapid Live itu, kata Wendi, akan menerapkan protokol CHSE dengan ketat. Bahkan, harga tiketnya, yang relatif mahal, sudah termasuk tes cepat antigen di Rumah Sakit Pusat Pertamina.
Apakah pernyataan Sandiaga Uno pada peringatan Hari Musik kemarin menjadi sinyal kuat bahwa konser benar-benar sudah bisa digelar? ”Sejauh ini, (pernyataan) itu masih dianggap angin sejuk saja, ya, sepoi-sepoi. Kami menunggu saja jawaban dari Satgas Covid-19 Jakarta dan Dinas Pariwisata DKI Jakarta untuk lampu hijau acara tersebut,” kata Wendi.
Sebelumnya, Dewi Gontha, Presiden Direktur Java Festival Production, menyatakan keyakinannya bahwa rekan-rekan promotor sudah menyiapkan protokol kesehatan yang bahkan lebih komprehensif dibandingkan protokol CHSE keluaran pemerintah. ”Kami bahkan sampai di tahap sudah mampu tracing (melacak) setiap penonton, dia datang ke area mana saja, ke ruangan mana saja, tentu dengan pendaftaran terlebih dulu. Sistemnya sudah kami siapkan,” kata penyelenggara ajang musik tahunan Java Jazz Festival ini di acara Blok M Music Conference pada Selasa (9/3/2021).
Anas Syahrul Alimi yakin, dengan bekal pengalaman yang panjang, promotor musik Indonesia bisa menggelar konser yang adaptif dengan situasi pandemi. Promotor bisa menggunakan GeNose atau tes swab antigen untuk mengecek kesehatan setiap orang yang akan masuk ke arena konser. Selain itu, konsep pertunjukan bisa dirancang sedemikian rupa agar penonton bisa dipaksa menjaga jarak.
”Saya bayangin sistem drive in (penonton menonton dari dalam mobil). Bisa juga tempat menonton dibuat boks kecil-kecil. Satu boks hanya untuk beberapa penonton saja. Jangan terlalu khawatirlah. Kami yakin bisa adaptif. Kesehatan itu ada di atas segala-galanya, jadi (penyelenggara acara) enggak akan konyol melanggar aturan kesehatan,” ujarnya, Senin (8/3/2021).
Para pelaku pertunjukan musik, lanjut Anas, sangat berharap izin konser bisa keluar. Pasalnya, industri ini paling babak belur dihajar pandemi. ”Kami ini yang paling pertama terkena dampak pandemi dan bakal menjadi yang terakhir siuman,” kata Anas.
Selama setahun dibekap pandemi, pertunjukan musik praktis mati. Padahal dari acara seperti itu musisi dan pekerja panggung mendapat penghasilan lumayan besar. Sebagian penyelenggaraan musik mencoba memindahkan pertunjukan musik ke ruang virtual. Namun, penghasilan dari konser virtual tergolong kecil. Animo penontonnya juga belakangan mulai turun.
Jika izin konser keluar, kata Anas, industri pertunjukan bisa mulai bernapas lagi meski masih ngos-ngosan. Setelah itu, industri ini perlu waktu sekitar tiga tahun agar bisa kembali normal. Itupun dengan catatan pandemi tidak melonjak lagi. ”Nah, kalau mundur lagi (mulai konsernya), ya, pulihnya juga mundur terus. Kalau itu yang terjadi, mungkin perusahaan penyelenggaran konser/festival sudah mati duluan,” kata Anas.