Dengan modal puluhan tahun di industri rock, Log Zhelebour menyatakan akan bertarung lagi di industri musik era digital.
Oleh
Budi Suwarna
·6 menit baca
Sejak muncul pada 1980-an sebagai promotor musik, nama Log Zhelebour nyaris tak bisa dipisahkan dari hiruk pikuk pertunjukan rock di Tanah Air hingga dekade awal era 2000. Dengan sponsor perusahaan rokok, Log menggelar banyak festival rock dan konser rock besar di berbagai kota. Dari ajang seperti itu, muncul nama-nama besar band dan penyanyi rock Indonesia, mulai SAS, Superkid, God Bless, Nicky Astria, Elpamas, Power Metal, Boomerang, hingga Jamrud.
Setelah sukses menjadi promotor dengan bendera Log Zhelebour Production, ia mendirikan perusahaan rekaman sendiri, Logiss Record, yang memproduksi lagu-lagu rock. Ia juga merambah ke bisnis seputar pemanggungan musik rock, seperti Log Sound, Log Artist Management, Log Stage, Log Lighting, dan Log Show Promotor. Semua untuk rock. Lantaran begitu dominannya Log dalam industri musik rock pada era 1980-an hingga awal 2000-an, banyak orang mengatakan, ”Tak ada rock tanpa Log.”
Kiprah Log di dunia konser dan festival musik terganjal larangan sponsor rokok dalam pertunjukan hiburan pada 2013 dan semakin merajalelanya pembajakan musik. Setelah itu, pukulan lain datang dalam bentuk disrupsi teknologi digital yang mengubah industri musik dunia, termasuk para pemain dominannya.
Sang ”Raja Rock” ini pun mengambil jeda dari bisnis musik pada 2015. ”Di era digital, saya benar-benar merasa gaptek. Saya sudah makan banyak asam-garam di industri musik, tiba-tiba enggak mengerti cara berbisnis di era sekarang,” tegas Log dihubungi dari Jakarta dalam dua kesempatan, Kamis (11/2/2021) dan Senin (8/3/2021).
Selama beberapa tahun, lanjut Log, ia berusaha mengamati dan mempelajari bisnis musik di era digital. ”Saya pantau cara bisnisnya, saya pantau tren rock. Kalau orang sudah rindu lagi dengan rock, saya baru come back,” ujar Log.
Satu-dua tahun terakhir, Log baru berani lagi masuk ke industri musik rock. Ia melihat penggemar mulai rindu pada rock yang ditandai dengan meningkatnya jumlah penonton musik rock di sejumlah akun band rock. ”Tapi belum ada yang booming, ya?”
Dengan pengetahuan soal bisnis musik digital yang ia akui masih cekak, Log mencoba menjual lagu-lagu rock lama yang ia pegang hak edarnya, melalui platform Spotify. Ia menggunakan aggregator dari luar negeri yang memiliki jaringan lebih luas. Hasilnya? ”Jangan tanya hasil dulu, Mas. Jauh banget dibanding dulu,” teriak Log diikuti tawa.
Berikut pemaparan Log terkait industri musik yang benar-benar telah berubah, hasratnya yang besar untuk kembali menggaungkan rock, dan keresahannya menyaksikan dominasi penguasa global bisnis musik digital.
Apa perubahan mendasar yang Anda lihat dalam industri musik yang kini distribusinya berbasis digital?
Perubahannya banyak sekali. Tetapi, yang paling mendasar dan mengecewakan bagi para produser, band/musisi adalah konsumen musik digital mayoritas maunya mendengar musik gratisan. Sementara konsumen musik dalam bentuk album fisik tinggal kolektor dan pencinta musik. Jadi, konsumen musik sekarang nunggu lagu muncul di Youtube biar bisa dengar secara gratisan. Penjualan musik secara digital itu kecil, meski memang praktis dan penjualan bisa jangka panjang. Kalau jual kaset kan harus ada stok barang.
Di Youtube, lagu-lagu (yang hak edarnya dipegang Log) ada yang ditonton 1 juta-5 juta kali. Lumayan! Tetapi view itu tidak mencerminkan pendapatan. Pemilik akun baru bisa dapat penghasilan kalau akunnya dimonetisasi oleh Youtube lewat iklan. Nanti sebagai mitra, kita dapat share. Kalau enggak setuju jadi mitra, ya enggak ada penghasilan karena enggak dipasangin iklan. Begitu jadi partner, monetisasi dilakukan Youtube.
Kita cuma dapat data lagi itu dapat share dari iklan berapa. Apa yang dibagi oleh Youtube, terserah mereka. Kita enggak pernah tahu nilai iklan yang dipasang di sebuah lagu. Ke depan, saya mau memanfaatkan layanan streaming berbayar di Youtube untuk konser virtual. Itu lebih jelas potensi bisnisnya.
Pemain-pemain industrinya juga berubah….
Iya, di era digital ada pemain baru yang bernama aggregator (semacam jembatan/perantara musisi dengan toko musik virtual). Label-label global, sih, enggak perlu pakai aggregator untuk jualan ke Spotify atau Joox, misalnya. Kalau label lokal atau musisi perorangan, mau enggak mau pakai aggregator. Aggregator-nya juga kebanyakan dari luar negeri. Kita harus benar-benar cermat memilih aggregator kalau enggak mau buntung.
Seberapa besar bisnis musik digital memberi peluang bagi pelaku musik menjadi lebih sejahtera?
Saya pikir dulu jauh lebih sejahtera. Band (yang berada di bawah naungan label) tidak ikut perlu gambling. Laku tidak laku lagunya, label akan membayar. Label juga dapat keuntungan banyak kalau lagu yang diproduksi meledak. Band dapat bagian. Nah sekarang, penghasilan dari penjualan lagu mesti dipecah-pecah untuk label, artis, publishing, pencipta lagu, aggregator. Kalau dulu, penghasilan masuk ke publishing dan label.
Hasil penjualan lagu yang diterima produser itu langsung dipotong aggregator 20-30 persen (tergantung perjanjian). Lalu, dipotong royalti untuk pencipta lagu 9 persen, penyanyi 9 persen. Sisanya tinggal 52-62 persen, mesti dikurangi pajak 15 persen, biaya produksi, promosi, biaya gaji dan pajak karyawan. Lha, untuk produser jatuhnya jadi kecil banget. Sudah gitu, produser masih harus menanggung risiko rugi.
Siapa pemain yang paling dominan dalam bisnis musik di era digital sekarang ini?
Ya pemilik platform digital. Kan, yang punya kanal distribusi sekarang mereka meski mereka enggak memproduksi lagu. Mereka sudah terlalu dominan dan memonopoli. Pertarungan sekarang jadi enggak seimbang. Label/musisi sekarang tidak punya pilihan untuk mendistribusikan lagunya selain lewat platform digital. Tetapi, posisi tawar label dan musisi rendah, bahkan enggak punya bargaining position sama sekali.
Saya, sih, berharap pemerintah melalui Bekraf merintis pembangunan platform digital untuk distribusi musik sendiri (Indonesia). Jangan terus-menerus bergantung pada Youtube, Spotify, dan semacamnya. Dengan punya platform sendiri, uang yang bisa dicetak dari industri musik tidak lari semuanya ke luar negeri, iklan tidak semua lari ke luar negeri, pajak juga enggak lari ke luar negeri. Ini memang pekerjaan sulit di tengah terlalu kuatnya cengkeraman monopoli perusahaan-perusahaan digital asing. Tetapi harus mulai dilakukan.
Apa yang Anda lakukan supaya bisa bertarung lagi di industri musik era sekarang?
Saya buat label baru bersama Pelangi untuk memproduksi lagu-lagu digital. Namanya Logis Music. Sebelumnya, kan, label saya Logiss Records dengan dua huruf S. Saya juga mendirikan perusahaan publishing sendiri. Namanya Logis Creative Publishindo. Saya bikin perusahaan ini untuk melindungi musisi-musisi yang masih ikut label saya, seperti Jamrud, Kobe, Boomerang, Power Metal. Saya ingin bertarung lagi meski bertahap.
Tahun ini saya memproduksi lagu perdana ”Tangguh”. Pertengahan Februari, saya tayangkan lagu Jamrud, ”Kau Ada Untukku”. Tanggal 12 Maret nanti saya mau rilis video singel ”Waktuku Kecil” Jamrud di Youtube channel Logis Music. Saya juga mau mengorbitkan band baru aliran hip hop metal yang namanya masih dipikirin. Materi lagunya lagi dikumpulin, mudah-mudahan bisa segera dirilis setelah Idul Fitri tahun ini.
Belum ada tanda-tanda bikin konser lagi. Kan pemerintah sedang memikirkan untuk melonggarkan izin konser di era pandemi?
Belum, tuh. Mungkin lebih aman bikin konser sekitar September. Konser kecil-kecilan tanpa penonton, kan, enggak asyik. Kalau bikin konser dengan penonton, nanti malah dibubarin Satgas (Covid-19). Mau bikin hiburan di saat pandemi malah enggak happy, malah nanti tegang takut kerumunan terjadi. Yah, saya, sih, sabar dulu aja. Kita mesti ikut prihatin kondisi pandemi. Jaga kesehatan lebih penting daripada bikin hiburan musik. Sementara kita nonton video musik di rumah saja untuk mengurangi kejenuhan.