Melukis Jiwa Menderita
Nashar adalah tonggak dan martir seni lukis abstrak Indonesia. Nashar memberikan titik pijakan seni rupa abstrak untuk melukis jiwa yang menderita.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F02%2F20210226mye27_1614343131.jpg)
Pameran lukisan Nashar di Balai Budaya Jakarta.
Bagi sebagian seniman, melukis seperti perjalanan hidup yang dipenuhi metafora. Seperti ketika becermin dari seorang pelukis Nashar (1928-1994), metafora melukis seperti layaknya bernapas untuk hidup, terlebih lagi sebagai metafora melukis jiwa menderita.
Selembar cetakan digital foto Nashar diletakkan di atas lantai. Ada upaya mencetak foto itu dengan ukuran gambar tubuh Nashar mendekati ukuran aslinya. Nashar tertidur meringkuk. Sepertinya ia tidur dengan menahan rasa dingin di atas lantai batu hitam beralas koran tanpa bantal dan selimut.
Nashar hidupnya nomaden. Pernah di suatu masa yang cukup lama tinggal di Balai Budaya Jakarta. ”Seperti inilah Nashar biasanya tertidur di sini. Foto itu kemungkinan besar diambil sebelum Balai Budaya direnovasi tahun 1968 oleh Gubernur DKI Ali Sadikin,” ujar seniman Aisul Yanto, sekaligus pengelola Balai Budaya Jakarta, Selasa (23/2/2021).
Menurut Aisul, lantai dalam foto itu lantai asli Balai Budaya Jakarta yang diresmikan pada 1954. Lantai itu seperti lantai-lantai gedung peninggalan pemerintah kolonial Hindia Belanda lainnya. Lantai serupa bisa dijumpai di Museum Seni Rupa dan Keramik di Kota Tua Jakarta.
Foto itu ditampilkan di dalam pameran seni rupa ”Tribute to Nashar – Tonggak dan Martir Seni Lukis Abstrak Indonesia”, di Balai Budaya Jakarta, 20-27 Februari 2021. Pameran untuk mengenang dan mengangkat kembali inspirasi kesenimanan Nashar di era sekarang.
Sebanyak 19 seniman menampilkan karya. M meliputi Andi Suandi, Aisul Yanto, Buyung Nashar, Chrysnanda Dwilaksana, Cak Kandar, Edi Bonetski, Gatot Eko Cahyono, Gogor Purwoko, Ika Ismurdyahwati, Idris Brandy, Joko Kisworo, Mayek Prayitno, Nashar, Okky Arfie, Rudolf Puspa, Syahnagra Ismail, Sri Warso Wahono, Sudita Nashar, Yulianto Liestiono, dan Yadi Nashar.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F02%2F20210226mye30_1614343139.jpg)
Pameran lukisan Nashar di Balai Budaya Jakarta.
Karya Nashar beserta keluarga Nashar ditampilkan juga, yakni sketsa tinta di atas kertas yang diberi judul ”Jalan Sunyi”. Sketsa ini diletakkan persis di dinding yang berada di atas cetakan foto Nashar sedang tertidur di lantai tadi.
Sketsa tersebut melukiskan garis membentuk sudut segitiga. Menurut Aisul, bentuk itu menggambarkan rumah. Kemudian di samping kanan digambarkan sebuah gunung. Di bagian tengahnya Nashar menggambarkan rumpun pepohonan. Di bagian kiri bawah ada tarikan garis melengkung hitam.
Nashar mungkin saja menggambar sketsa panorama jalanan yang sunyi, kemudian diberi judul ”Jalan Sunyi”. Akan tetapi, mungkin pula ”Jalan Sunyi” adalah sebuah metafora jalan hidup yang dipilih dan ditempuhnya.
Memahami Nashar
Pameran seni rupa itu diawali dengan catatan pengantar oleh seniman Chrysnanda yang diberi judul ”Memahami Nashar Bukan dari Pasar”.
”Nashar sebagai pelukis yang miskin, namun ia jujur menjalankan komitmennya di dalam menghayati jiwa yang menderita. Dirinya pun menjadi taruhan atas idealismenya,” tulis Chrysnanda di bagian awal catatannya.
Ia melanjutkan dengan kisah Nashar sebagai pelukis bukan pasaran. Mungkin saja orang-orang atau pasar seni rupa tidak menyukai karya-karyanya. Karya Nashar pada masanya memang jarang dibeli orang, bahkan sering hanya dibagi-bagikan oleh Nashar.
Bagi Nashar, memahami seni adalah memahami hati, bahkan sampai pada mendalami jiwa. Memahami seni bukan pada karya yang laku atau tidak. Seni mempunyai kekuatan dan landasan rasa jiwa, irama jiwa, gerak jiwa, hingga kedalaman jiwa.
”Memahami sebuah karya seni bukanlah hafalan, melainkan kemampuan membaca dan menerjemahkan jiwa yang tampak pada karya,” ujar Chrysnanda.
Kisah Nashar mulai banyak dibukukan. Begitu pula karya-karyanya mengundang banyak penafsiran yang beragam. Chrysnanda tidak pernah bertemu Nashar semasa hidupya. Dari sebuah bacaan, Chrysnanda terkesan dengan suatu kisah perbincangan Nashar dan penyair Chairil Anwar.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F02%2F20210226mye25_1614343125.jpg)
Pameran lukisan Nashar di Balai Budaya Jakarta.
Chairil Anwar pernah bertanya ketika menyaksikan Nashar setiap hari melukis dan bertutur tentang jiwa yang menderita. Chairil bertanya, apakah Nashar benar-benar menghayati jiwa yang menderita.
Menurut Chrysnanda, Nashar tersengat oleh pertanyaan Chairil tersebut hingga seluruh laku kehidupan melukisnya ditujukan untuk benar-benar menghayati jiwa yang menderita. Nashar tersihir oleh perkataan Chairil Anwar meski pilihan jalan hidupnya itu penuh risiko.
”Nashar sadar akan pilihan jalan hidupnya,” ujar Chrysnanda.
Kesadaran untuk memilih jalan dan prinsip hidup dengan segala konsekuensinya itu menjadi pelajaran penting dari seorang Nashar. Kemudian pilihan itu ditempuh dengan tulus dan totalitas.
Di sinilah pelajaran penting lainnya dari Nashar tentang ketulusan dan totalitas menjalani hidup sebagai pelukis, tidak dengan memikirkan karya itu akan laku atau tidak. Pilihan sebagai pelukis diyakini betul untuk tidak terjebak pada persoalan fisik atau ragawi. Pilihan hidup melukis adalah sebuah pilihan untuk melukis jiwa.
”Nashar juga memiliki semangat kesanggaran yang baik dengan kemampuan untuk mendengar dan saling diskusi di mana pun, kapan pun, dan kepada siapa pun,” ujar Chrysnanda, yang juga masih aktif berprofesi di kepolisian.
Nashar kelahiran Pariaman, Sumatera Barat, banyak menuangkan pikirannya ke dalam tulisan. Menurut Chrysnanda, Nashar terinspirasi pelukis Vincent van Gogh. Vincent banyak menuliskan pikiran dan kisah hidupnya kepada adiknya, Theo van Gogh.
Pikiran-pikiran Nashar salah satunya dituangkan menjadi buku Surat-surat Malam. Chrysnanda terkesan dengan sebuah surat Nashar yang menyebutkan, ”kepada teman-temanku yang tidak kukenal”. Kesan itu dituangkan Chrysnanda menjadi karya enam lukisan seri dengan judul ”Dialog dengan Nashar”, dengan media cat akriliks di atas kanvas masing-masing berukuran 68 x 95 sentimeter.
”Melalui karya ini saya juga ingin berdialog dengan Nashar yang juga tidak saya kenal,” ujar Chrysnanda.
Nashar pada akhirnya dikenal melalui tiga kredo atau keyakinan kuat yang menjadi prinsipnya di dalam melukis. Kredo Nashar itu meliputi tiga ”non”, yaitu nonestetik, nonkonsep, dan nonteknik. Otentisitas pernyataan Nashar menancapkan secara lugas bahwa dunia melukisnya untuk melukis jiwa, terlebih bagi jiwa menderita.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F02%2F20210226mye28_1614343134.jpg)
Pameran lukisan Nashar di Balai Budaya Jakarta.
Martir
Di dalam pameran ini, Nashar disebut sebagai tonggak dan martir seni lukis abstrak Indonesia. Aisul mengemukakan, Nashar memberikan titik pijakan seni rupa abstrak untuk melukis jiwa yang menderita, sekaligus mengorbankan diri serta keluarganya dalam menghayati jiwa menderita yang dilukiskannya.
Respons untuk menghormati Nashar diwujudkan dengan beraneka corak lukisan di dalam pameran ini. Seniman Sri Warso Wahono menghadirkan lukisan ”Rampogan Bathara Kala” (Gerhana Bulan Emas). Di situ ada simbol gerhana bulan dengan figur manusia serta wayang-wayang.
Sri Warso menampilkan kisah dunia pewayangan yang menenggelamkan sisi terang kehidupan manusia. Bulan sebagai penerang manusia di kala malam itu dicaplok Bathara Kala. Sama halnya dengan sisi terang hidup Nashar yang dicaplok oleh kemenderitaan jiwa yang ingin selalu dilukiskannya.
Seniman Cak Kandar menampilkan lukisan ”Dalam Nashar Ada Nashar”, dengan media cat akriliks di atas kanvas berukuran 110 x 120 sentimeter. Cak Kandar menaruh potret wajah laki-laki separuh baya di antara goresan-goresan abstrak yang juga mendekati goresan abstrak khas Nashar.
Lukisan itu menunjukkan ketiadaan manipulasi di dalam karya Nashar. Nashar melalui lukisan abstraknya melukiskan jiwa menderita. Nashar pun tidak mengelakkan diri dari hidup yang nelangsa tanpa tempat tinggal tetap demi menghayati jiwa menderita yang pernah dipertanyakan penyair Chairil Anwar kepadanya.
Beberapa karya seniman lain memberikan suguhan metafora tak kalah menarik. Nashar menjadi martir yang melahirkan pencerahan tidak hanya bagi seni lukis abstrak.