Belas(an) Kasih Sayang
Para perupa tergabung ke dalam Suka Pari Suka ini telah mempraktikkan ungkapan belas kasih sayang sejak 12 tahun yang lalu. Kini mereka pameran bertajuk Belas(an) Kasih Sayang.
Sebanyak 18 perupa berpameran lukisan. Judul pameran pun dipilih, Belas(an) Kasih Sayang. Ini mungkin seketika menggiring pemahaman bahwa belasan perupa itu bakal menyuguhkan belasan lukisan rasa dan bentuk belas kasih sayang yang berbeda satu sama lain.
Seperti perupa Sigit Santoso yang menampilkan lukisan berjudul, “Senyum atau Tidak, Bukan Lagi Persoalan”. Ia menggunakan apropriasi atau peminjaman elemen dari lukisan Monalisa karya Leonardo Davinci (1452-1519).
Monalisa dilukis Sigit dengan mulut dan hidung yang tidak tampak seperti tertutup lapisan tipis kain cadar. Tampak pula bagian hidung dan mulut itu seperti dihapus, atau sengaja tidak ingin diselesaikan. Sigit kemudian menorehkan kata dengan bahasa latin, “Clamoris”. Menurut dia, kata itu bermakna, menangis.
“Selama ini Monalisa diidentikkan dengan senyuman yang penuh misteri. Persoalannya sekarang, banyak kita jumpai wajah-wajah yang tertutup masker dan kita tidak pernah mengetahui wajah di balik masker itu dalam situasi seperti apa, tersenyum atau tidak, dan ini bukan lagi persoalan,” ujar Sigit, Rabu (17/2/2021) ketika dihubungi di Yogyakarta.
Lukisan “Senyum atau Tidak, Bukan Lagi Persoalan” menggunakan media cat minyak di atas kanvas berukuran 50 kali 50 sentimeter (2021). Meski Sigit tidak menyoal di balik masker ada sebuah senyuman atau tidak, tetapi tersirat kepedihannya dari ungkapan “Clamoris” atau menangis.
“Ketika senyum itu ada atau tidak, memang bukan lagi persoalan. Tetapi, coba rasakan, senyuman itu baik atau tidak?” ungkap Sigit, angkatan mahasiswa tahun 1984 Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dan lulus pada tahun 1993.
Senyuman itu menyehatkan, baik bagi diri sendiri maupun orang-orang di sekelilingnya. Sigit menyuguhkan refleksi mendalam tentang persoalan senyuman yang sesungguhnya baik dan bermanfaat, kini tidak lagi bisa dirasakan kehadirannya karena mulut dan hidung tertutup masker pandemi Covid 19.
“Wajah ditutupi ini bukan persoalan masker semata. Ketika diperluas, ini merambah persoalan identitas yang bakal sensitif,” ujar Sigit, seraya menuturkan apropriasi lukisan Monalisa pun mempunyai misteri menarik.
Sigit bakal berbeda pendapat, jika Monalisa dikatakan memiliki wajah yang sedang tersenyum. Menurut Sigit, Monalisa berwajah netral. Ia tidak sedang tersenyum, tidak pula sedang cemberut. Sigit menunjukkan garis bibir Monalisa yang seperti huruf “S” dalam posisi mendatar atau horizontal.
“Satu ujung dari huruf itu ketika ditarik ke atas, maka garis bibir Monalisa akan menampakkan senyuman. Ketika ujung lainnya ditarik ke bawah, garis bibir Monalisa akan menampakkan kesedihan,” ujar Sigit, yang memaklumkan pendapat tentang lukisan Monalisa tersenyum karena orang yang sedang menikmati lukisan itu setidaknya juga tersenyum atau memiliki perasaan senang.
Pameran Belas(an) Kasih Sayang digelar di Sangkring Art Project, Yogyakarta, berlangsung antara 15 Februari hingga 3 Maret 2021. Pameran ini menghadirkan karya Sigit dan para perupa lain meliputi Alit Ambara, Bambang Heras, Bambang Pramudiyanto, Budi Ubrux, Djoko Pekik, Dyan Anggraini, Edi Sunaryo, Hari Budiono, Ivan Sagita, Kartika Affandi, Melodia, Nasirun, Putu Sutawijaya, Ridi Winarno, Samuel Indratma, Wayan Cahya, dan Yuswantoro Adi.
Alang-alang
Ungkapan Belas(an) Kasih Sayang dari setiap karya perupa memang begitu kental terasa berbeda-beda. Budi Ubrux menampilkan lukisan realisme yang tampak begitu sederhana dan diberi judul, Alang-alang, dengan media cat minyak di atas kanvas berukuran 50 kali 50 sentimeter (2021).
“Lukisan alang-alang ini saya pas-paskan (dicocok-cocokkan) untuk berbicara tentang kasih sayang kepada masyarakat lapisan akar rumput, lapisan masyarakat bawah,” ujar Ubrux, yang selama ini dikenal lewat karya-karya lukisan realisme dengan obyek terbungkus koran.
Ubrux menyinggung persoalan sosial dan politik, khususnya persoalan pemilihan secara langsung kepala daerah sampai presiden, juga wakil rakyat di tingkat pemerintah daerah dan pusat. Ia menyaksikan setiap kali hajatan politik itu berlangsung, masyarakat lapisan bawah atau akar rumput yang digambarkan sebagai alang-alang, acapkali mendapat limpahan kasih sayang.
Kasih sayang itu datang dari para kandidat pemilihan. Akan tetapi, hal itu selalu diselipi pamrih agar masyarakat lapisan bawah memberikan hak suara mereka. Setelah hajatan politik berlangsung, masyarakat akar rumput pun ditinggalkan.
“Masyarakat akar rumput jangan dianggap seperti gulma. Kasih sayang untuk mereka jangan dilupakan,” kata Ubrux.
Para perupa lainnya menampilkan karya dengan kesesuaian tema kasih sayang yang bisa ditangkap secara langsung maupun tidak langsung. Putu Sutawijaya menampilkan lukisan dengan judul, Garudeya Kasih Sayang, dengan media cat akriliks di atas kanvas 50 kali 50 sentimeter (2021).
Putu melukis dengan monokromatik hitam putih sosok Garudeya yang sedang duduk bersila. Garudeya mempertemukan ujung-ujung jemari kedua tangannya membentuk simbol jantung hati, simbol kasih sayang.
Bambang Pramudianto menampilkan lukisan, Bunda, dengan media cat akriliks di atas kanvas 50 kali 50 sentimeter (2021). Bambang melukis Bunda Teresa.
Sementara Djoko Pekik menghadirkan lukisan panorama berjudul Jalur Lintas Selatan, media cat minyak di atas kanvas 50 kali 50 sentimeter (2021). Bambang Heras menampilkan lukisan kepala Buddha yang diberi judul, Welas Asih, dengan cat akriliks dan tinta di atas kanvas 50 kali 50 sentimeter (2021).
Suka Pari Suka
Catatan kuratorial untuk pameran ini ditulis oleh G Subanar. Ia menyebutkan, para perupa tergabung ke dalam Suka Pari Suka yang juga mempraktikkan ungkapan belas kasih sayang sejak 12 tahun yang lalu.
“Ini dimulai dengan melukis bersama dalam mengisi acara pergantian tahun 2008-2009,” ujar Subanar.
Hasil melukis bersama kemudian dipamerkan dengan tajuk, Seniku Tak Berhenti Lama, pada 2009 dan terinspirasi naskah Pidato Kebudayaan Garin Nugroho. Roda solidaritas Suka Pari Suka pun menggelinding sejak itu.
Sejumlah karya diminati kolektor. Hasil penjualannya dijadikan modal untuk memberi santunan bagi para seniman yang berduka atau sedang sakit dan membutuhkan bantuan untuk pengobatan.
Santunan menjangkau tidak hanya sebatas para perupa, tetapi juga seniman panggung, sastrawan, pelawak, dan penyanyi. Kasih sayang para perupa Suka Pari Suka telah menyapa tidak kurang dari 250 peristiwa kematian atau keluarga-keluarga seniman yang sedang sakit.
Subanar mengisahkan, tahun 2020 dalam suasana pandemi Covid-19, beberapa perupa senior Suka Pari Suka meliputi Djoko Pekik, Kartika Affandi, Nasirun, dan Hari Budiono, mendapat kesempatan berkunjung ke kediaman mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pujiastuti.
“Dalam suasana angin segar Pangandaran, mereka melukis bersama,” ujar Subanar, seraya menambahkan peristiwa itu kemudian ditampilkan dalam siaran sebuah stasiun televisi swasta yang mengambil cerita, “Susi Cek Ombak”.
Di masa pandemi seperti sekarang, pasar seni boleh sepi. Subanar pun mengingatkan, tidak hanya bagi para seniman, tetapi siapa pun dalam hidup sehari-hari harus mengencangkan ikat pinggang, dan dipenuhi siasat agar asap dapur tetap mengebul.