Delapan lukisan yang dipamerkan merupakan pilihan Srihadi sendiri. Lukisan-lukisan itu dipilih dari lukisan yang sudah dibukukan (Srihadi Soedarsono, ”Man X Universe”, 2019). Penulisnya Jean Couteau dan Farida Srihadi.
Oleh
Nawa Tunggal
·5 menit baca
Melukis bagi sebagian seniman tak ubahnya bersemadi, termasuk bagi maestro Srihadi Soedarsono (89). Di masa pandemi Covid 19 ini, Srihadi menemukan momentum penting perjalanan bersemadi dengan membiarkan pikirannya tetap bekerja meski raga terjaga diam di rumah.
Perbincangan soal bersemadi menyeruak tatkala membahas karya lukisan Srihadi berjudul, ”Pura Gunung Kawi - The Energy of Pray” (Energi Doa), cat minyak di atas kanvas 200x210 sentimeter (2018). Ini salah satu lukisan yang ditampilkan dalam pameran sebagian karya yang ada di buku terbaru Srihadi, Man X Universe, di Can’s Gallery, Jakarta, 8 Februari hingga 8 Maret 2021.
Lukisan ”Pura Gunung Kawi” menampakkan garis horizon kuning di bagian atas. Horison ini membatasi langit yang berwarna oker dan tanah yang berwarna hijau kekuning-kuningan. Langit oker perpaduan kuning, jingga, dan coklat itu sebagian diselimuti warna putih.
Sebagian besar hamparan bidang kanvas di bawah horizon berupa sapuan warna gradasi dari hijau kekuning-kuningan sampai hijau gelap. Ini sekilas seperti abstrak, tetapi ini lanskap bertebing-tebing yang hijau di Gianyar, Bali. Di situlah Pura Gunung Kawi berada.
Ada goresan warna putih memanjang dari sisi pojok bawah kiri miring ke kanan atas. Ini menunjukkan garis perbedaan ketinggian tanah. Di sebelah kiri dengan gradasi hijau lebih muda menampakkan lembah di bawah tebing.
Warna dominasi hijau bergradasi menyiratkan alam permai berupa sawah padi menghijau yang berundak-undak. Di situ kemudian dikenal sistem pengairan subak.
Srihadi lalu melukiskan lima ceruk hitam yang tampak dari kejauhan berada di salah satu dinding tebing menghijau. Ceruk seperti pintu dengan bagian atas berbentuk setengah lingkaran.
Inilah situs Pura Gunung Kawi dengan ceruk-ceruk pertapaan yang diyakini ada sejak zaman penguasa Bali Dwipa, yaitu Raja Udayana (983-1011 Masehi). Udayana dari dinasti Warmadewa itu memimpin pemerintahannya yang berpusat di Bedahulu atau Bedulu. Catatan sejarah menunjukkan Raja Udayana memiliki tiga putra yang dikenal sebagai Airlangga, Marakata Pangkaja, dan Anak Wungsu.
Airlangga
Srihadi memulai perbincangan tentang Pura Gunung Kawi, Kamis (11/2/2021), di Bandung, Jawa Barat. Srihadi menemukan adanya keyakinan masyarakat tertentu terkait pura itu, yakni tentang Airlangga yang mengisi hari-hari terakhirnya dengan bertapa atau bersemadi hingga moksa di sekitar pura itu.
”Di sekitar situs Pura Gunung Kawi terdapat ceruk-ceruk yang biasa digunakan untuk bersemadi. Saya pernah menjumpai suatu masyarakat yang meyakini Airlangga moksa di situ,” ujar Srihadi.
Tentu bagi kalangan sejarawan ini membuka perdebatan baru. Lewat lukisan Pura Gunung Kawi, Srihadi membuka kemungkinan baru bagi pengetahuan sejarah tentang hari-hari akhir Airlangga. Selama ini, Srihadi mendasarkan pada anggapan sebagian masyarakat di Bali yang menyebut sebagai keturunan Airlangga. Mereka menyatakan Pura Gunung Kawi menjadi petilasan pertapaan Airlangga hingga moksa.
Pura Gunung Kawi dikenal sebagai peninggalan Raja Udayana, ayah Airlangga. Dunia pariwisata di Bali menyebutnya sebagai Candi Gunung Kawi yang berada di pinggir sungai Pakerisan, Desa Tampaksiring, Kabupaten Gianyar. Situs candi ini dibuat dengan pahatan di tebing cadas. Menuju ke lokasi itu dengan melintasi areal persawahan yang subur.
Srihadi melalui lukisannya merekam semangat serta kemungkinan pembaruan pengetahuan tentang Pura Gunung Kawi. Dalam konteks pencatatan sejarah baru, tidak serta-merta suatu keyakinan kelompok masyarakat mengubah pengetahuan sejarah selama ini. Diperlukan bukti-bukti empiris berupa catatan dokumen atau bentuk prasasti di batu dan sebagainya.
Sebagai seniman, Srihadi tidak memiliki kepentingan di ranah pencatatan sejarah baru. Ia sekadar menangkap yang tak terungkap. Ia membahasakan yang tak pernah terbahasakan.
Energi doa
Bersemadi tidak ubahnya melukis untuk menghasilkan energi doa. Inilah yang diyakini Srihadi. Kemudian, moksa dimengerti sebagai puncak perjalanan atau akhir dari sebuah pencarian yang tidak sesat.
”Bersemadi atau melukis itu seperti diam, tetapi sebetulnya bergerak. Otak kita bekerja, jiwa kita terus berjalan, dan perjalanan semestinya menjadi sebuah pencarian yang tidak sesat menuju akhir,” tutur Srihadi.
Energi doa sepertinya lebih dengan mudah tercipta dari ruang-ruang khusyuk, ruang-ruang yang menunjang penyerahan dan kebulatan hati. Oleh karena itulah, Srihadi juga memilih untuk memamerkan lukisan seri tentang pura di Tanah Lot, Bali.
”Pura itu berada di sebuah pulau kecil di tengah empasan ombak laut,” kata Srihadi.
Srihadi menghadirkan lukisan ”Pura Tanah Lot - The Dialogue of Man Heaven and Earth” (Dialog Manusia tentang Surga dan Bumi), dengan media cat minyak diatas kanvas berukuran 145x165 sentimeter (2019). Kemudian, lukisan seri lainnya yang diberi judul ”Tanah Lot - The Holiness of Pray” (Kesucian Doa).
Pura Tanah Lot digambarkan berada di sebuah pulau kecil, seperti mengapung di lautan biru yang mencekam. Gelombang laut yang mencekam itu dihadirkan pula di dalam lukisan berjudul ”The Energy of Waves Struggle of Life” (Energi Gelombang dalam Kehidupan, 2019).
Beberapa lukisan berikutnya menunjukkan kekhasan Srihadi dalam menghadirkan horizon atau batas cakrawala. Seperti lukisan yang berjudul ”Horizon - Dialogue of Rocks and Perahu” (Dialog Bebatuan dan Perahu, 2018), ”The Glory of Earth” (Kemuliaan Bumi, 2017), ”Horizon - The Powerful Earth” (Bumi Penuh Kuasa).
”Horizon adalah semangat hidup untuk selalu menatap ke depan,” ujar Srihadi mengungkap filosofi dasar karya-karyanya itu.
Pengelola Can’s Gallery Inge Santoso menuturkan, sebanyak delapan lukisan yang dipamerkan merupakan pilihan Srihadi sendiri. Lukisan-lukisan itu dipilih dari yang sudah dibukukan (Srihadi Soedarsono, Man X Universe, 2019). Penulisnya, Jean Couteau dan Farida Srihadi.
”Pameran di masa pandemi ini turut menjaga kesenian agar selalu hadir bagi publik,” ujar Inge.
Melalui pameran ini, Srihadi seperti menghadirkan sebuah simfoni, orkestra kesunyian tentang sangkan paraning dumadi, tentang asal-muasal dan arah tujuan hidup manusia. Demikian pula Jean Couteau dalam buku itu menyinggung tentang karya-karya Srihadi sebagai sangkan paraning dumadi.