Sebagai salah satu perusahaan hiburan global, Netflix berusaha untuk meningkatkan kehadiran kaum marjinal dalam perusahaan.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·4 menit baca
Isu inklusivitas selalu menjadi momok dalam dunia bisnis di Amerika Serikat. Upaya untuk membuat korporasi lebih inklusif terus menjadi pekerjaan rumah, termasuk bagi Netflix. Sebagai salah satu perusahaan hiburan global, Netflix berusaha untuk meningkatkan kehadiran kaum marjinal dalam perusahaan.
Untuk kali pertama, Netflix merilis sebuah laporan mengenai upaya untuk mewujudkan inklusivitas berjudul ”Sowing the Seeds: Inclusion Takes Root at Netflix”, pada 13 Januari 2021. Laporan ini ditulis oleh VP of Inclusion Strategy Netflix Verna Myers.
Myers seorang konsultan inklusivitas yang dipekerjakan Netflix sejak Agustus 2018. Ia selanjutnya memimpin tim strategi inklusi, yang kini beranggotakan 17 orang, untuk mendorong keragaman budaya, inklusi, dan keadilan dalam aktivitas operasional Netflix.
”Banyak yang telah menulis mengenai budaya kami tentang kebebasan dan tanggung jawab. Namun, hal terpenting yang kami pelajari adalah ketika Anda menyandingkan budaya itu dengan keberagaman dan inklusivitas—ini membuka kemampuan kami untuk berinovasi, kreatif, menyelesaikan masalah,” tulis Myers dalam laporan tersebut.
Dalam laporan itu, Netflix memiliki 8.000 karyawan tetap di seluruh dunia. Dari jumlah ini, 47,1 persen adalah perempuan per Oktober 2020 atau naik dibandingkan 40,3 persen pada 2017. Rasio jender yang hampir seimbang ini tetap konsisten di rantai kepemimpinan, yakni 10 perempuan berbanding 11 laki-laki.
Di jajaran yang lebih rendah, perempuan pekerja di bidang teknis lebih sedikit (34,9 persen). Namun, perempuan menjadi mayoritas di posisi kreatif dan perusahaan (55,1 persen).
Selain itu, Netflix menyajikan data terkait ras dan etnis—sayangnya hanya tersedia untuk karyawan di AS. Komposisi karyawan berkulit putih mencakup 45, 5 persen dari jumlah keseluruhan. Kulit putih mendominasi komposisi di jajaran pemimpin, yakni 58 persen. Proporsi ini stabil selama tiga tahun terakhir.
Karyawan Asia adalah kelompok ras yang mendominasi kedua, yaitu sebesar 23 persen secara keseluruhan dan 15,7 persen di jajaran pemimpin. Karyawan Hispanik/Latino mencakup 8,1 persen secara keseluruhan dan 4,9 persen di jajaran pemimpin. Netflix menggandakan jumlah karyawan kulit hitam menjadi 8 persen secara keseluruhan dan 9,5 persen di jajaran pemimpin.
”Kami telah membuat kemajuan yang bagus selama tiga tahun terakhir. Tapi, jujur saja, kami tidak berada di tempat yang kami inginkan dan perlu melakukan lebih baik. Kami memiliki banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk menarik lebih banyak orang yang kurang terwakili ke perusahaan kami,” lanjut Myers.
Lensa inklusi
Laporan inklusivitas Netflix itu turut memaparkan tinjauan kualitatif atas upaya tim strategi inklusi. Sejak 2018, tim yang dipimpin Myers ini menyosialisasikan lensa inklusi. ”Seperti yang saya bahas sebelumnya, ini adalah cara untuk merangkul perbedaan, mencari bias, dan mempertimbangkan dampak keputusan pada kelompok yang terpinggirkan atau kurang terwakili,” tulis Myers.
Namun, seperti yang ditulis Myers, perubahan budaya yang berkelanjutan di tempat kerja membutuhkan pelatihan guna melengkapi setiap karyawan dengan lensa tersebut. Total tim strategi inklusi Netflix itu telah menggelar lebih dari 120 pelatihan yang diikuti lebih dari 5.600 karyawan.
Netflix juga memperbaiki proses perekrutan karyawan dengan merekrut Kabi Gishuru, Director of Inclusion Recruiting Netflix. Gishuru melatih 200 karyawan bidang perekrutan agar mengenali bias dalam proses wawancara dan menemukan kandidat di luar sistem tradisional, misalnya membuat kamp pelatihan teknis untuk mahasiswa dari HBCUs (historically black colleges and universities).
Laporan inklusi Netflix juga menjabarkan tiga prioritas yang harus dilakukan di masa depan untuk mewujudkan inklusivitas dalam perusahaan. Tiga prioritas itu adalah melanjutkan perekrutan karyawan yang kurang terwakili, khususnya Hispanik/Latino, menyelidiki konsep inklusi yang ada di luar AS, dan mengeksplorasi bagaimana mengukur ”kesehatan inklusi” perusahaan.
”Zaman netral sudah berakhir, kita membutuhkan zaman keberanian. Pekerjaan ini bukan mengenai kesempurnaan, ini mengenai kerendahan hati, kerentanan, dan ketidaktahuan sebanyak pembelajaran. Jika kami terus mencoba memperbaikinya, sebuah era kesetaraan yang baru akan muncul,” ujar Myers.
Skandal masa lalu
Langkah Netflix untuk membuat tim strategi inklusi muncul setelah terjadi sebuah krisis internal dalam perusahaan pada pertengahan 2018. Saat itu, Kepala Komunikasi Netflix Jonathan Friedland menggunakan istilah rasis untuk orang kulit hitam dalam sejumlah diskusi.
Pertama, Friedland menggunakan istilah tersebut dalam sebuah rapat humas yang mengundang kritik dari sejumlah karyawan karena tidak pantas dan menyinggung. Ia kembali menggunakan istilah itu di depan dua karyawan SDM Netflix, keduanya berkulit hitam, ketika sedang menjelaskan insiden pertama. Friedland kemudian dipecat.
”Friedland dibebastugaskan karena penggunaan kata tidak pantas pada setidaknya dua kesempatan di tempat kerja. Insiden kedua mengonfirmasi adanya ketidakpahaman yang mendalam dan meyakinkan saya untuk melepas Jonathan sekarang,” kata CEO Netflix Reed Hastings lewat memo internal.
Friedland digantikan oleh Rachel Whetstone. Whetstone sebelumnya memimpin tim komunikasi dan kebijakan di Uber dan Google. (THE HOLLYWOOD REPORTER)