Suara Lantang dari Pinggir
Program Peduli Suara Lantang dari Pinggir menggagas gerakan tiga hal, yakni gerakan menuju Indonesia yang inklusif, setara, dan semartabat.
Dunia kreatif menawarkan beragam cara untuk bergerak bersama mendorong Indonesia yang inklusif, menuju Indonesia yang sejatinya adalah rumah perbedaan. Suara lantang dari pinggir patutlah ditengok.
Seorang perempuan komika atau komedian yang melawak di panggung seorang diri, Sakdiyah Ma’ruf, menyuarakan, bagi semua saja yang selama ini dianggap liyan, minoritas, terpinggirkan, atau sebagai ”kelas dua”, kini saatnya merebut mikrofon di panggung. Dari pinggir berangkat dan berdiri di tengah, berbicara lantang. Meski hanya sesekali!
”Sekali lagi, mari kita merebut ruang-ruang berbicara dan berekspresi yang selama ini diambil dari yang liyan, minoritas, kelas dua, dan sebagainya. Kita harus melawan rasa takut dan intimidasi,” ujar Sakdiyah, Jumat (5/2/2021), di Jakarta.
Sehari sebelumnya, Kamis, Sakdiyah tampil secara daring dalam Program Peduli Suara Lantang dari Pinggir di Komunitas Salihara, Jakarta. Program ini diinisiasi The Asia Foundation atas dukungan Pemerintah Australia, bertemakan ”Bergerak Bersama Menuju Indonesia Inklusif”, yang berlangsung pada 29 Januari hingga 6 Februari 2021.
Sakdiyah menjadi salah satu pengisi program tersebut. Sebuah pengantar menguraikan, Sakdiyah terlahir dalam lingkungan konservatif Muslim keturunan Arab di Jawa Tengah. Ia sangat memimpikan Indonesia sebagai rumah untuk semua, semua kelompok, terlepas dari latar belakang yang berbeda-beda, agar dapat berkarya, berekspresi, dan berdialog secara terbuka.
Bagi Sakdiyah, pada kenyataannya konservatisme sering tidak berpihak pada perempuan. Ia juga melihat munculnya dominasi narasi sosial keagamaan tertentu yang berdampak pada perempuan dan minoritas.
Selain itu, berbagai bentuk kekerasan, terutama terhadap perempuan, terus meningkat dan didukung berbagai narasi yang meminggirkan korban. Kekerasan terhadap lingkungan, politik yang tidak berpihak kepada rakyat, dan sikap konsumen yang abai menambah panjang daftar tantangan untuk mencapai masyarakat inklusif dan menjunjung tinggi keberagaman.
”Kegiatan ini menjadi sangat berarti bagi saya. Semoga berarti juga buat semua yang selama ini merasa dipinggirkan oleh struktur dan sistem,” ujar Sakdiyah.
Melawan stigma
Juga tidak kalah penting dalam memperjuangkan Indonesia yang inklusif, yakni melawan stigma. Tiga gadis remaja asal Garut, Jawa Barat, yang tergabung dalam Voice of Baceprot atau VOB, menyuarakan isu tersebut.
”Selama ini, musik keras mendapat stigma sebagai musik dari orang-orang urakan, jauh dari agama, jauh dari aturan, dan sebagainya. Kami bertiga membawakan musik keras ini dengan tetap berhijab, taat beragama, dan berusaha tetap menjalani hidup yang baik,” ujar vokalis sekaligus pemain lead guitar VOB, Firda Kurnia, didampingi Euis Siti Aisyah (pemain drum) dan Widi Rahmawati (pemain gitar bas).
Firda, yang akrab disapa Marsya, juga melihat musik keras selama ini menghadapi berbagai prasangka. Bersama rekan-rekannya, Marsya berniat melakukan pembuktian. Musik keras seperti halnya musik-musik lain.
VOB dirintis di Garut pada tahun 2014 dengan jumlah 15 anggota. Pada tahun 2016, Marsya bersama Siti dan Widi menyempal untuk menempuh jalur musik metal sampai sekarang.
”Kami pernah mengalami diskriminasi akibat dominasi patriarki, seperti tidak bisa pentas dalam sebuah festival. Sekarang, kami eksis lewat musik untuk melawan diskriminasi, memperjuangkan kesetaraan jender, dan melawan stigma,” ujar Marsya.
Voice of Baceprot memiliki makna suara baceprot. Baceprot dalam bahasa Sunda berarti cerewet atau berisik.
VOB memiliki lagu-lagu yang populer, seperti ”School Revolution”, ”The Enemy of Earth is You”, juga yang berjudul ”Rumah Tanah Tidak Dijual”. Mereka membawakan lagu-lagu bermuatan kritik sosial dari hasil pengamatan mereka sehari-hari.
Mereka menolak penggunaan istilah mayoritas dan minoritas dalam hidup keseharian. Juga menolak istilah pribumi dan nonpribumi. ”Bagi kami, apa pun perbedaannya tetap memiliki hak yang sama, tetap memiliki otoritas yang penuh atas hidup masing-masing,” kata Marsya.
”Sejauh Kumelangkah”
Program Peduli Suara Lantang dari Pinggir juga menghadirkan pemutaran film yang berbicara tentang disabilitas dan inklusivitas berjudul Sejauh Kumelangkah (2019). Film ini garapan produser dan sutradara Ucu Agustin, yang kini menetap di Washington DC, Amerika Serikat.
Film berdurasi 35 menit itu sebelumnya berhasil meraih penghargaan Piala Citra 2019 untuk kategori Film Dokumenter Pendek Terbaik. Ucu tangkas dalam menghadirkan makna dan isu disabilitas.
Film dokumenter ini seperti studi bagi siapa pun, terutama pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya, untuk mewujudkan infrastruktur inklusivitas. Ucu membidik sebuah komparasi situasi yang dihadapi dua gadis remaja penyandang disabilitas netra yang bersahabat akrab sejak kecil, dan kini hidup terpisah di Indonesia dan Amerika Serikat.
Kedua gadis remaja itu adalah Andrea Carla Darmawan, yang menetap di Virginia, Amerika Serikat, sejak berusia lima tahun, dan Indri Alifia Syalsabila, yang tinggal di lingkungan asrama bagi penyandang tunanetra di Jakarta. Mereka sempat bertemu ketika masuk taman kanak-kanak di Lebak Bulus, Jakarta.
Keduanya setelah remaja sama-sama menempuh studi di sekolah inklusi. Mereka berbaur dengan remaja seusia yang sebagian besar tidak mengalami hal seperti dirasakan Andrea dan Indri, yang tidak bisa melihat.
Dalam film Sejauh Kumelangkah, Andrea hadir sebagai tokoh Dea, sedangkan Indri sebagai tokoh Salsa. Ucu menyuguhkan gambar bergerak yang menyentuh. Keseharian Salsa tinggal di asrama terekam dengan baik. Ucu, misalnya, menghadirkan suasana ruang tidur Salsa bersama teman-temannya di asrama.
Tempat tidur mereka ternyata bertingkat dua. Tanpa melihat, terbayang betapa sulitnya bagi mereka yang tidur di tingkat atas ranjang tersebut. Mereka harus meniti tangga dengan benar, begitu pula harus memijaknya dengan tepat tatkala ingin turun dari tempat tidur.
Di sekolah, Salsa menjumpai tangga pula. Dalam situasi keramaian bersama peserta didik lainnya yang bisa melihat, Salsa menaiki dan menuruni tangga tersebut dengan bantuan teman yang bersedia menuntunnya.
”Salsa dihadapkan pada keterbatasan mobilitas di sekolahnya,” ujar Ucu dalam sebuah percakapan dari Washington, Jumat pagi WIB.
Situasi bertolak belakang disuguhkan melalui keseharian Dea di Virginia. Ucu membidik adegan ketika Dea, meski tidak bisa melihat, bisa belajar mengemudi mobil. Seorang instruktur mendampingi di sebelahnya.
Dea awalnya terlahir dengan kondisi low vision atau berkemampuan melihat dalam skala rendah. Hingga usia delapan tahun, Dea benar-benar tidak bisa melihat. Dea tampak riang tatkala menyetir mobil itu. Ini suatu hal yang mustahil bagi yang tidak bisa melihat, tetapi Dea berpedoman, dalam hidupnya harus mampu mewujudkan mimpi-mimpinya.
Ucu memperlihatkan program-program pembelajaran khusus bagi penyandang disabilitas netra yang dialami Dea. Kondisi sebaliknya dari Salsa pun diperlihatkan, seperti melalui sebuah wawancara dengan seorang guru Salsa. Guru itu sulit memahami penyelesaian tugas oleh Salsa di kelas karena tidak mengerti huruf Braille yang digunakan.
Ucu jujur menghadirkan drama kehidupan yang sungguh ironis, yang dihadapi dua sahabat tunanetra berbeda situasi tersebut. Ucu bahkan menghadirkan adegan miris ketika menutup film ini.
Ketika itu, Salsa seorang diri tengah menyeberang jalan raya yang penuh dan ramai lalu lalang kendaraan. Ucu mencoba mengerti apa yang dirasakan Salsa atas peristiwa seperti itu. Salsa mendengar deru mesin-mesin kendaraan bermotor. Ia merasakan gerak kendaraan-kendaraan berjalan mundur.
Salsa dan Dea, dua gadis remaja tunanetra yang bersahabat sampai sekarang, masih tetap berkomunikasi dengan sarana internet. Meski terpisah jarak yang jauh, keduanya tetap terhubung. Melalui film garapan Ucu ini, keduanya sedang menuntun pengetahuan kita untuk bisa benar-benar mewujudkan inklusivitas.
”Saya melihat di Indonesia belum tampak kemauan politik untuk benar-benar mewujudkan kehidupan inklusif bagi disabilitas. Inklusi bisa dimulai dari mana saja, bisa dari keluarga, bisa dari sekolah, dan di tengah masyarakat, tetapi pemerintah harus andil menciptakan infrastrukturnya,” ujar Ucu.
Inklusif, setara, semartabat
Program Peduli Suara Lantang dari Pinggir menggagas gerakan tiga hal, yakni gerakan menuju Indonesia yang inklusif, setara, dan semartabat. Penyelenggara ingin merangkul masyarakat yang belum bisa merasakan dampak dari pembangunan ekonomi dikarenakan persoalan identitas.
Ditunjukkan beberapa kategori identitas yang masih masih mengalami beragam persoalan itu. Mereka meliputi anak dan remaja rentan; masyarakat adat dan lokal yang terpinggirkan; korban diskriminasi, intoleransi, dan kekerasan berbasis agama; orang dengan disabilitas; korban pelanggaran hak asasi manusia masa lalu; restorasi sosial; dan transpuan atau transjender perempuan.
Penerimaan sosial merupakan satu-satunya jalan. Komunitas yang termarjinalkan harus hadir dan diterima di tengah-tengah masyarakat. Pemerintah dalam hal ini semestinya menyediakan sarana dan prasarana infrasrukturnya untuk mewadahi penerimaan sosial dengan baik.
Program Peduli Suara Lantang dari Pinggir adalah sebuah sentakan kecil melalui Sakdiyah Ma’ruf, personel Voice of Baceprot, Ucu Agustin, Konser 7 Ruang DSS Music, teater boneka Papermoon, dan sebagainya. Mereka menawarkan isu-isu inklusivitas yang penting dipelajari bersama.