Religi Inspirasi Karya
Pada abad ke-20 di Barat, seni mengalami sekularisasi sehingga sepenuhnya terpisah dengan agama. Namun, masyarakat lain mengalami perjumpaan yang konstan dengan agama.
Masa pandemi Covid 19 mendatangkan perubahan banyak hal, termasuk ritual keagamaan. Yang semula publik harus datang mengikuti ritual di rumah ibadah, untuk menghindari kerumunan, ternyata ritual bisa dipindahkan lewat saluran internet. Religi pun menjadi inspirasi karya menarik bagi seniman.
Dua bentangan rajutan benang kasur terjalin di kotak-kotak kawat ram atau strimin berukuran 60 cm x 120 cm. Ini sekilas seperti karya lukisan abstrak monokromatik putih. Karya seniman Bonifacius Djoko Santoso (48) ini diberi judul, ”Pabrix” (2020).
”Karya ini terinspirasi membeludaknya ritual online (daring/dalam jaringan). Di situ seperti kesucian bisa diciptakan di internet,” ujar Djoko, seniman lulusan Program Studi Seni Keramik pada Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) Institut Teknologi Bandung (ITB), Kamis (21/1/2021), di Jakarta.
Djoko memeluk agama Katolik. Ia merujuk peribadatan atau misa yang bisa diikuti umat Katolik lewat streaming, sebuah metode pengiriman konten audio ataupun video lewat internet, baik secara langsung atau tidak langsung.
Karya lainnya dengan medium dan ukuran yang sama diberi judul ”Untuk Doa-doa yang Tak Terkabulkan” (2020). Rajutan benang kasur di dalam karya itu membentuk tanda salib. Djoko merefleksikan, tidak setiap doa yang dipanjatkan akan terkabul.
”Ada devosi atau ritual yang tidak resmi untuk memanjatkan doa-doa dengan harapan dan kebutuhan khusus. Saya meyakini, doa akan selalu hidup meskipun doa-doa itu tak terkabulkan sesuai yang diharapkan,” ujar Djoko.
Melalui karya ”Untuk Doa-doa yang Tak Terkabulkan”, Djoko meyakini doa yang tidak terkabul itu seperti sesuatu yang akan tetap ”berkeliaran” di udara. Entah kapan, ia yakin akan ada yang menangkap dan mengabulkan doa meski dalam bentuk yang berbeda.
”Butuh kepekaan dalam memanjatkan devosi. Jangan-jangan doa terkabulkan dalam bentuk lain yang tidak pernah kita pahami,” ujar Djoko, yang menggandeng dua seniman lainnya, Karin Josephine (32) dan Ignatius Loyola Yulian Ardi (43), menggelar pameran karya seni rupa kontemporer bertajuk ”Devosi” di Orbital Dago, Bandung, Jawa Barat.
Pameran semula dilangsungkan pada 23 Desember 2020 hingga 23 Januari 2021, tetapi akhirnya diperpanjang hingga 31 Januari 2021. Karin Josephine, yang juga istri Djoko, ini lulusan Program Studi Desain Komunikasi Visual, Universitas Binus, Jakarta. Yulian lulusan Program Studi Desain Komunikasi Visual FSRD ITB.
Pameran Devosi dikuratori Agung Hujatnikajennong, dosen FSRD ITB. Di dalam catatan kuratorialnya, Agung mengutip pernyataan Boris Groys, ”Dalam dunia kontemporer, agama telah menjadi ihwal cita rasa pribadi, yang berfungsi sama halnya dengan seni dan desain.”
Keimitasian
Ekspresi Djoko bukanlah tanpa kritik. Melalui karya-karyanya, ia ingin menyampaikan kesucian yang dibangun di internet itu sebuah keimitasian, sebuah tiruan dari sesuatu yang sebelumnya diwujudkan secara nyata dalam relasi kehidupan.
”Saya mempunyai kekhawatiran ritual-ritual secara online itu diikuti hanya untuk membunuh waktu, hanya sekadar untuk mengisi waktu. Berdoa pun akhirnya menjadi sebuah hobi. Kepedulian terhadap sesama secara nyata menjadi terkikis,” ujar Djoko.
Kekhawatiran-kekhawatiran Djoko dituangkan melalui karya-karya serupa dengan material kawat ram dan benang kasur. Karya-karya lainnya diberi judul ”Clavus Percutiens” (2020), ”Aorte Ritual” (2020), ”Piksis” (2020), dan ”Korgull” (2020).
Seniman berikutnya, Karin, menghadirkan empat seri yang diberi judul ”Relung, Renung”. Karin menuangkan aspek kedalaman diri untuk merefleksikan pengalaman terkait ritual Katolik yang dijalani.
”Lewat karya-karya itu saya mempertanyakan sebuah rutinitas ritual sejak kecil hingga sekarang,” ujar Karin.
Karya ”Relung, Renung 1” (2020) dengan medium kolase kertas dan ram kawat di atas kanvas berukuran 100 cm x 100 cm. Kanvas putih didominasi lembaran kertas berwarna coklat. Ada sedikit goresan warna merah di atas kertas yang ditempelkan.
Di bagian tengah itu Karin melekatkan potongan kawat ram satu kolom kotak yang membujur secara vertikal. Di bagian bawah, potongan yang lebih pendek dilekatkan menyimpang horizontal. Ini seperti membentuk tanda salib yang terbalik.
Ram kawat yang berdiri tegak seperti sebuah tangga. Ini merefleksikan relung terdalam Karin ingin menggapai ketinggian, yang mungkin bermakna keilahian, mungkin juga dinamakan takhta surgawi itu.
Seri karya ”Relung, Renung” lainnya menonjolkan kolase ram kawat membentang secara horizontal. Rajutan kawatnya lebih menonjolkan kesan sebuah jahitan. Ini seperti jahitan-jahitan luka.
Karya-karya berikutnya dihadirkan Yulian. Ia menghadirkan lukisan-lukisan dengan tinta pena dan pewarna alami daun teh.
Sebuah karya diberi judul, ”Relikui?2” (2020) dengan medium pewarna alami daun teh di atas kain berukuran 90 cm x 200 cm. Yulian melukis figur tubuh seorang laki-laki berambut gondrong.
”Lukisan ini terinspirasi dari sebuah perdebatan tentang tubuh Yesus yang tergambar di sebuah kain kafan. Kain kafan itu sebelumnya membungkus jasad Yesus ketika dimakamkan,” ujar Yulian.
Karya lain di antaranya lukisan yang diberi judul ”Santo” (2020) dengan medium tinta ballpoint di atas kertas 50 cm x 65 cm. Yulian melukis realisme wajah seorang Santo atau sebutan untuk orang yang dianggap suci, yaitu Ignatius Loyola, sekaligus nama baptisnya.
Seni dan agama
Kurator pameran Agung Hujatnikajennong memaparkan, berbeda dengan ”pertentangan abadi” antara sains dan agama, hubungan seni dan agama tidak pernah benar-benar oposisional. Meski pula hubungan seni dan agama juga tidak senantiasa mesra.
”Agama sebagai sebuah ajaran telah menyumbang banyak pada dunia penciptaan artistik,” ujar Agung.
Penciptaan karya artistik dalam konteks tradisional menunjukkan manifestasi ajaran agama yang sangat jelas. Sementara dalam seni modern, hubungan seni dan agama cenderung selalu berada dalam tegangan.
Pada abad ke-20 di Barat, seni mengalami sekularisasi sehingga sepenuhnya terpisah dengan agama. Namun, masyarakat lain mengalami perjumpaan yang konstan dengan agama. Seperti di Indonesia, perjumpaan seni dan agama tergolong intens dan cenderung dinamis.
”Perbedaan mencolok terlihat pada masa sebelum dan setelah reformasi. Jika pada masa Orde Baru manifestasi agama dan spiritualitas dalam seni rupa cenderung kuat, setelah 1998 terjadi perubahan,” kata Agung.
Pascareformasi 1998 otonomi seni dan agama dihadapkan pada penguatan fundamentalisme. Kebebasan berekspresi berada dalam posisi terancam sensor dampak dari penguatan fundamentalisme.
Agung menyoroti karya-karya dalam Pameran Devosi kali ini sebagai praktik kesenian yang jarang. Karya-karya yang ditampilkan tidak hanya berorientasi pada pencapaian nilai artistik, tetapi menguatkan pula pencapaian kritisisme.
”Karya-karya yang dipamerkan itu manifestasi kritik, bukan sekadar perayaan,” kata Agung.
Manifestasi kritik juga terlihat dari beberapa materi yang ditampilkan. Seperti ram kawat dan benang kasur tidak pernah ada di dalam perbendaharaan material seni murni.
Agung menyinggung karya lukisan Yulian yang diberi judul ”Fantomas Mundi” (2020) dengan media cat akriliks di atas papan kayu dan kotak lembaran akriliks 69 cm x 110 cm. Ini terinspirasi lukisan tubuh Yesus yang dianggap sebagai karya Leonardo da Vinci, kemudian dihilangkan pada bagian wajah dan tangannya.
”Lukisan itu sebagai ikon yang sangat religius, tetapi akhirnya menjadi komoditas. Di sinilah kemudian terjadi komodifikasi ikon keagamaan,” ujar Agung.