Puisi Chairil Anwar Difilmkan
Inspirasi untuk sebuah karya seni film seperti sumur yang tidak pernah kehabisan air untuk ditimba.
Inspirasi untuk sebuah karya seni film seperti sumur yang tidak pernah kehabisan air untuk ditimba. Puisi-puisi karya penyair besar Chairil Anwar (1922-1949) pun difilmkan dan tidak ada kata yang diimbuhi atau dikurangi untuk dijadikan petikan naskah dialog tokoh.
Sepasang muda-mudi penari bergerak secara teatrikal. Mereka merespons ruang berbatas dinding penuh mural. Sesekali mereka saling merapat ke dinding dengan gerak menyesuaikan irama musik alih wahana puisi Chairil Anwar yang berjudul ”Sajak Putih”.
Kedua penari diperankan Maria Bernadeta Aprianty dan Jefriandi Usman. Di sela gerak tarian mereka, selintas muncul tokoh laki-laki bermain lempar anak panah dengan tangan ke dart board atau papan panah yang dilekatkan di dinding.
Tokoh laki-laki itu diperankan Lucky L Moniaga. Tokoh ini kemudian memulai babak dengan ungkapan bait-bait pembuka puisi Chairil yang berjudul ”Cinta dan Benci”.
Aku tidak pernah mengerti//banyak orang menghembuskan cinta dan benci//dalam satu napas.
Tapi sekarang aku tahu//bahwa cinta dan benci adalah saudara//yang membodohi kita, memisahkan kita.
Ia terhenti sejenak. Kemudian dilanjutkan kata-kata puisi berikutnya oleh seorang tokoh perempuan. Tokoh ini diperankan Tengku Marina.
Sekarang aku tahu bahwa//cinta harus siap merasakan sakit//cinta harus siap untuk kehilangan//cinta harus siap untuk terluka …. Dan seterusnya.
Kedua tokoh berdialog dengan kata-kata puisi Chairil dikuti ekspresi gerak tubuh. Mereka tak ubahnya kedua penari sebelumnya. Mereka menari di satu ruang yang dibatasi dinding-dinding penuh mural.
Keduanya menari dan terus berdialog dengan baris-baris kata puisi Chairil. Mereka menari seperti ingin saling menyentuh, ingin saling merengkuh dan memeluk erat-erat. Namun, itu tak kunjung bisa. Selalu saja ada selapis dinding hadir menghalangi penyatuan tubuh mereka.
Hingga satu puisi tuntas tersampaikan, tubuh keduanya hanya bisa saling menepi ke dinding. Tubuh meraka seakan saling berpelukan, tetapi terhalang selapis dinding. Mereka hanya bisa saling merapat di permukaan dinding yang berlawanan.
Adegan pilu berlatar tafsir puisi ”Cinta dan Benci” menjadi babak pembuka film puisi Binatang Jalang berdurasi 22 menit ini. Under Banner Production bekerja sama dengan Federasi Pekerja Seni Indonesia memproduksi film ini yang disutradarai Exan Zen.
Film puisi Binatang Jalang diputar perdana untuk kalangan penonton undangan terbatas di Jakarta, Rabu (30/12/2020). Exan menuturkan, film ini didedikasikan untuk menghidupkan kembali puisi-puisi Chairil bagi generasi muda yang sudah banyak melupakan puisi-puisi pelopor penyair Angkatan 45 tersebut.
”Saat ini sudah ada salah satu dinas Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang ingin mendukung pemutaran film ini di sekolah-sekolah,” ujar Exan.
Buku gambar gerak
Barangkali saja puisi-puisi Chairil Anwar terasa berat bagi kalangan generasi muda sekarang. Melalui film puisi ini, diharapkan bisa meringankan puisi-puisi Chairil agar mudah dicerna.
”Kami menafsir puisi-puisi Chairil seperti menjadi buku gambar gerak,” ujar Exan.
Baris-baris kata puisi menjadi teks dialog yang disusun menjadi sebuah rangkaian berlatar gerak dan peristiwa. Exan menyusun delapan puisi Chairil untuk teks dialog. Puisi-puisi itu meliputi ”Cinta dan Benci”, ”Sia-sia”, ”Tak Sepadan”, ”Sajak Putih”, ”Yang Terampas dan Yang Putus”, ”Kepada Pelukis Affandi”, ”Aku”, dan ”Nisan”.
Binatang Jalang disematkan sebagai judul film ini yang dipetik dari salah satu puisi yang berjudul ”Aku”. ”Binatang Jalang” pun menjadi julukan bagi penyair Chairil yang mati muda di usia 26 tahun itu.
”Puisi-puisi Chairil sangatlah hebat. Kami tidak ingin begitu saja membuatnya menjadi ringan. Kami masuk ke ruang tengah yang tidak terlampau ringan dan tidak mencoba menjadi sehebat Chairil,” kata Exan.
Film Binatang Jalang menjadi pelopor film puisi di Indonesia. Saat ini ada beberapa Festival Film Puisi Internasional, antara lain Wiemar Poetry Film Award (Jerman), International Film Poetry Festival (Athena), Zebra Poetry Film Festival (Berlin), dan O Bheal Poetry-Film Competition (Irlandia).
Exan berencana mengikutsertakan film puisi Binatang Jalang ke berbagai festival tersebut. Film puisi ini pun akan berlanjut untuk puisi-puisi para penyair berikutnya. Saat ini tengah dirancang film puisi dengan karya-karya penyair Sapardi Djoko Darmono (1940-2020).
”Festival-festival itu mempersyaratkan durasi film maksimal sepanjang 15 menit. Film Binatang Jalang saat ini memiliki durasi 22 menit sehingga perlu diedit ulang hingga berdurasi maksimal 15 menit agar diterima untuk festival internasional,” kata Exan.
Bagi Exan, film puisi Binatang Jalang bukan berbicara tentang kisah hidup Chairil Anwar. Film ini sekadar mengembangkan rangkaian delapan dari puluhan hingga ratusan puisi karya Chairil menjadi sebuah narasi film. Namun, sedekat mungkin narasinya memang melekat dengan kisah tragis yang dihadapi Chairil selama hidupnya.
Bukan pembacaan puisi
Film puisi Binatang Jalang bukanlah pembacaan puisi. Film ini ingin mengomunikasikan puisi lewat film. Setidaknya, inilah gagasan yang disampaikan Aidil Usman, Direktur Seni dan Koreografi film ini.
”Kita menghadirkan aktor, bukan pembaca puisi untuk film puisi ini,” ungkap Aidil.
Meskipun tidak sedang mengisahkan kisah hidup Chairil, koreografi Aidil tetap terinspirasi kisah hidup Chairil terutama dari persoalan percintaannya dengan perempuan-perempuan. Bagi Aidil, Chairil memiliki cinta yang platonik, cinta yang tidak ingin sepenuhnya dijalani hingga menjadi suami dan istri.
Chairil memiliki obsesi merengkuh perempuan-perempuan yang memikat hatinya. Namun, Chairil sendiri menciptakan dinding-dinding pembatas bagi hubungan mereka.
Oleh karena itu, Aidil memilih metafora selapis dinding selalu ada di antara kedua tokoh laki-laki dan perempuan yang ingin saling merengkuh di film ini. Dinding sebagai metafora cinta yang platonik, cinta yang tidak pernah kesampaian menuju jenjang hubungan suami dan istri. Cinta platonik yang seperti rasa kagum tanpa tawaran jaminan hidup bersama menyongsong masa depan.
”Puisi-puisi Chairil sekaligus puisi kegagalan menaklukkan perempuan,” kata Aidil.
Koreografi di dalam film puisi Binatang Jalang menjadi perpaduan antara adegan gerak teatrikal dan gerak realisme. Dialog dari teks puisi Chairil memungkinkan hal itu.
Koreografi Aidil memadatkan ruang dan mendekatkan diri pada imaji puisi. Kata-kata puitis Chairil yang bernas dan ringkas tidak memberi peluang ruang yang lengang.
Aidil tetap berpegangan pada metafora sebuah dinding. Pada akhirnya, dinding tidak hanya digambarkan menjadi pembatas kasih sepasang muda-mudi itu. Namun, dinding sekaligus menjadi buku penutup kisah.
Tokoh laki-laki di akhir babak terempas ke dinding dan terbujur kaku di tempat tidurnya. Sebelum itu terjadi, ia menuliskan baris-baris puisi di dinding dan berhalusinasi memandangi tubuh perempuan yang dikasihinya berdiri dengan kaki mengangkang.
Meski berhasrat, ia tak lagi kuat dalam sekarat. Akhirnya, tubuhnya terempas ke dinding dan kaku.