Memeluk Luka, Mengurai Duka
Padahal, apa yang dialami perempuan pasca-kehilangan anak sangat kompleks. Pada tahap awal, derita dan putus asa yang terasa. Hal ini sering berkelindan dengan rasa malu dan rasa gagal.
Kelahiran anak selalu membawa bahagia bagi pasangan yang menantikannya. Kebahagiaan yang teramat pantas diperoleh setelah melalui proses menyakitkan di ambang hidup dan mati. Namun terkadang tak dapat dihindari, kepiluan adakalanya menghampiri saat yang terjadi lepas dari skenario ideal manusia.
Tanggal 17 September semestinya menjadi hari yang membahagiakan bagi Martha (Vanessa Kirby) dan Sean (Shia LaBeouf) karena putri pertama yang mereka tunggu akan lahir. Namun, hari itu justru menguarkan derita bagi keduanya, terutama bagi Martha.
Baru beberapa menit memeluk dan menciumi bayi kecil yang ditunggu, Martha dan Sean mesti kehilangan anak mereka untuk selamanya. Lewat film bertajuk Pieces of A Woman yang tayang pada 7 Januari 2020 di Netflix, perjuangan Martha mengatasi luka batinnya dikisahkan.
Selama 30 menit pertama, kegelisahan dan intensitas emosi sudah diperlihatkan. Membangunkan kesadaran bahwa kehidupan kerap kali tak sesuai rencana, termasuk dalam menyambut kehidupan baru. Hal yang sejatinya dipersiapkan sebaik mungkin oleh para orangtua dengan estimasi waktu berdasarkan teknologi.
Nyatanya, teori dan praktik kadang tak sejalan. Kehadiran bidan pengganti Eva Woodward (Molly Parker) untuk menggantikan bidan utama yang juga tengah menangani kelahiran di tempat lain membuat Martha bergeming.
Meski pernah dipersiapkan lewat kelas pra-kelahiran untuk momen tak terduga, tetap saja sulit mengelola perubahan yang tak diharapkan di tengah sakitnya kontraksi. Martha pun tak bisa menunggu bidan yang diyakininya karena kelahiran sang bayi tidak bisa ditunda.
Detik demi detik, proses persalinan secara detail digambarkan dengan saksama. Membuat penontonnya seolah ikut merasakan nyeri. Adegan tak terlupakan yang dibesut sutradara Hongaria, Kornel Mundruczo, atas skenario yang dibuat oleh istrinya, Kata Weber, yang juga pernah kehilangan anak ini mendobrak pakem Hollywood.
Produksi Hollywood umumnya masih tabu menunjukkan proses persalinan yang riil tanpa dibalut komedi atau malah masuk dalam unsur film horor.
Berbeda dengan film dari Benua Eropa yang sudah sejak 1920-an berani menunjukkan proses persalinan sesungguhnya. Seperti dokumenter besutan Dziga Vertov berjudul Man with a Movie Camera atau Ingmar Bergman lewat Brink of Life pada 1950-an.
Usai klimaks yang ditempatkan sebagai pembuka adegan, waktu seolah berjalan lambat sejalan dengan matinya rasa yang dialami Martha. Latar tempat, suasana, dan pemilihan tone gambar pun sama sekali tak berwarna dan terasa dingin. Bahkan, kondisi digambarkan masih bersalju pada bulan Februari dengan jalanan yang lengang dan suram.
Itu pula yang ditunjukkan Martha. Tak ada tangisan sesenggukan atau teriakan histeris sebagai penanda luka. Sosok Martha yang semula hangat dan menyenangkan dieksekusi dengan pas oleh Kirby menjadi pribadi yang dingin, pahit, dan muram. Kirby yang juga menghidupkan sosok Princess Margaret dalam serial The Crown ini menampilkan level akting lebih tinggi pada film ini. Pieces of A Woman juga diputar di Festival Film Venice 2020.
Bukan deret angka
Sesuai dengan judulnya yang menggarisbawahi tentang perempuan, film berdurasi 128 menit ini juga kembali menawarkan momen lain yang susah dilupakan.
Martha yang tengah mati rasa mendadak dipaksa berhubungan badan oleh Sean. Meski sempat menolak, Martha akhirnya mencoba dan meminta Sean untuk bersabar. Namun yang terjadi, Sean justru makin berang karena merasa kehilangan mood dan malah meninggalkan Martha. Belakangan, Sean justru memuaskan nafsunya itu kepada sepupu Martha.
Sean juga melakukan kekerasan terhadap Martha. Sebuah birth ball dilemparkan Sean tepat ke kepala Martha karena pasangannya terlambat pulang. Martha tak membalas, tak juga menangis, atau berteriak. Ia hanya menyundutkan rokok ke birth ball itu hingga kempis sambil merebahkan kepala di sofa.
Di luar itu, ibu Martha terus menekannya untuk mengajukan gugatan kepada bidan yang menanganinya. Menurut ibunya, cara paling tepat untuk lepas dari kesedihan adalah menempatkan kesalahan kepada si bidan. Ibunya juga mendorongnya bersuara menguraikan perihnya akibat kematian sang bayi.
Menurut jurnal American Psychological Association, pengalaman kehilangan anak, baik keguguran maupun pasca-melahirkan, rupanya merupakan bahasan yang dianggap tabu di negara yang dikenal modern itu. Akibatnya, para ibu meraba sendiri cara mengatasi kehampaan dari peristiwa traumatis itu.
Orang terdekat yang semestinya jadi sistem pendukung utama di tengah kekosongan jiwa itu malah sering kali gagal mengenali rasa kehilangan mendalam dari seorang ibu. Mereka menekan perempuan yang baru saja kehilangan ini untuk lekas move on dengan berbagai cara agar tidak dianggap lemah.
Bidan, dokter, bahkan tenaga kesehatan juga memilih fokus pada kesehatan fisik si ibu, tanpa terlatih memahami sisi emosional yang terguncang. Psikolog atau psikiater juga mengalami keterbatasan mengatasi persoalan ini.
”Yang terjadi, mereka seolah tak pernah diberi hak untuk berduka atas kehilangannya. Itu semua berujung mereka menjadi merasa terisolasi. Perempuan memang yang paling merasakan. Itu jelas, mengingat dia yang terhubung dan merasakan ikatan detik demi detik dengan bayi yang ada di kandungannya,” jelas seorang psikolog klinis dari Center of Reproductive Psychology di San Diego, Janet Jaffe.
Padahal, apa yang dialami perempuan pasca-kehilangan anak sangat kompleks. Pada tahap awal, derita dan putus asa yang terasa. Hal ini sering berkelindan dengan rasa malu dan rasa gagal. Dari riset yang dilakukan, tahapan ini berpotensi berkembang ke arah anxiety dan depresi. Ini karena perempuan kekurangan ruang untuk berduka dan menentukan cara terbaik bagi mereka.
Meski digempur dari banyak sisi, Martha dengan susah payah mampu menemukan langkah mengurai duka. Sederhana, tetapi mungkin tak dimengerti sekelilingnya. Martha memilih memaafkan bidan dan menanam apel karena wangi apel mengingatkannya pada harum kepala bayinya saat itu.
Selama ini, pembicaraan pun terus mengulas seputar angka. Unicef mencatat pada 2018, sebanyak 2,5 juta bayi baru lahir meninggal pada bulan pertama kehidupan. Dari jumlah itu, sekitar sepertiganya meninggal pada hari pertama kehidupan. Seperti yang dialami Martha. Bayangkan betapa banyak Martha lain di luar sana yang terlunta batinnya.
Mereka dianggap mampu mencerna kehilangan belahan jiwanya dengan instan. Mereka dengan mudah dihakimi lemah karena menarik diri dari pergaulan atau terus menangis sambil mengurung diri. Berbagai label lain disematkan pada mereka, hanya karena masyarakat gagal dan enggan memberi ruang bagi mereka untuk memproses duka mendalam. Bahkan, mereka tega menjadikan problem ini tabu untuk dibahas.
Perempuan memang harus kuat dan berdaya. Namun, temani dan berilah waktu dan keleluasaan agar luka dan duka dapat dipeluknya hingga lebur dengan caranya sendiri.