Sapaan Perupa Papua
Karya-karya yang ditampilkan dalam Papua Design Weeks sebagian besar memiliki pendekatan seni desain dengan maksud untuk merengkuh pasar.
Kehidupan masyarakat Papua lekat dengan seni meski sejauh ini memang belum maksimal terkabarkan. Ketika sebagian anak muda Papua merantau, tidak sedikit yang menempuh studi dan menjadi mahasiswa di Yogyakarta, lalu melebur dengan komunitas seni yang ada. Mereka pun memberikan sapaan khas.
”Sewaktu kecil, saya sering melihat ayah dan kakek melukis untuk rumah adat. Ada tiga warna yang dipakai, yaitu hitam, putih, dan merah. Ketiganya dari bahan arang kayu, lumpur putih, dan getah buah tertentu untuk warna merah,” kata Jhon Kaisma (23), mahasiswa Jurusan Biologi Semester IV, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, Selasa (12/1/2021).
Jhon berasal dari Kabupaten Mappi, Provinsi Papua. Masyarakat Mappi menganut kultur dataran rendah. Wilayah ini berbatasan dengan Kabupaten Asmat di bagian utara, Kabupaten Merauke di sisi timurnya. Kemudian di sisi selatan berbatasan dengan Kabupaten Boven Digoel. Di sisi barat berbatasan Kabupaten Asmat serta Laut Arafura.
Jhon dari marga Khaisma tumbuh di lingkungan keluarga yang akrab dengan tradisi menggambari berbagai perlengkapan adat mereka. Perlengkapan itu di antaranya tombak kayu dan salawaku atau perisai berbahan kayu. Ketika ada ritual pesta adat, tidak jarang mereka juga bertugas mencorat-coret wajah orang khas budaya Papua.
”Saya pernah ikut menggambar dengan lumpur putih untuk orang-orang ketika mau ikut pesta adat,” ujar Jhon, yang mendapat salah satu penghargaan Papua Design Weeks di Yogyakarta.
Jhon menghadirkan karya seni bersama sejumlah rekannya asal Papua di ajang pameran Papua Design Weeks di Sangkring Art Space, Yogyakarta, yang berlangsung 10-21 Januari 2021. Para peserta pameran hadir dari sejumlah asrama mahasiswa Papua di Yogyakarta, berasal dari kabupaten berbeda-beda di Papua.
Selain dari Mappi, ada juga yang berasal dari wilayah Kamasan, Tambrauw, Bintuni, Manokwari, Maybrat, Raja Ampat, Waropen, Yahukimo, dan Fakfak. Jhon merasa ada kehangatan dalam kebersamaan dengan rekan-rekannya asal Papua di Papua Design Weeks.
Kebersamaan bagi mahasiswa lintas tradisi lokal masyarakat Papua di perantauan itu suatu kemewahan. Selama ini, mereka jarang berhimpun dalam program kerja seni bersama, malah yang tidak jarang terjadi justru saling berseteru.
Ini diakui Elna Febi Astuti (36), Ketua Penyelenggara Papua Design Weeks, yang pernah cukup lama tinggal di kota Sorong, Provinsi Papua Barat. Program Papua Design Weeks menjadi upaya merekatkan mahasiswa Papua dan syukur-syukur ini menjadi inkubasi usaha di bidang seni dan desain khas Papua oleh masyarakat Papua.
”Mereka peserta pameran dari delapan asrama mahasiswa Papua di Yogyakarta. Ada 78 mahasiswa yang terlibat untuk pameran ini,” ujar Elna seraya menambahkan, karya seni komunal dan individual yang dipamerkan berjumlah 22 judul karya.
Pameran ini diinisiasi komunitas Noken Solution bersama Hati Btari di Yogyakarta, menggandeng Sangkring Art Space. Jenni Vi Mee Yei, pengelola Sangkring Art Space, mengatakan, pameran di masa pandemi Covid-19 ini untuk menengok karya seni yang selama ini masih berada di pinggiran. ”Karya mereka itu sebetulnya bagus-bagus, tetapi pasar belum mendukung,” ujar Jenni.
Merengkuh pasar
Karya-karya yang ditampilkan dalam Papua Design Weeks sebagian besar memiliki pendekatan seni desain dengan maksud untuk merengkuh pasar. Akan tetapi, tidak sedikit pula yang hadir sebagai karya seni modern melalui beragam lukisan atau sebagai seni instalasi yang merujuk karya seni kontemporer.
Ada karya fungsional berupa instalasi lampu hias untuk ruangan. Hiasan dekoratif naif khas Papua ditaburkan di sela-sela permukaan lapisan tabung yang berlubang-lubang untuk jalannya sinar lampu dari dalam.
Beberapa partisi atau penyekat ruang dihadirkan dengan memanfaatkan material batang-batang kayu. Batang-batang kayu itu ditata sebidang, lalu dihiasi dengan ragam kultural Papua, seperti bentuk anak-anak panah.
Ada pula batang kayu yang dijadikan desain kapstok tegak untuk cantolan tas atau baju. Ada lagi, batang-batang kayu berukuran kecil disusun tegak melingkar. Di tengahnya dipasang lampu bersinar sehingga jadilah desain lampu hias.
Lukisan-lukisan beragam tema pun ditampilkan. Bob Ahale (23), mahasiswa Jurusan Teknik Arsitektur Universitas Widya Mataram, asal Yahukimo, sebagai salah satu pelukisnya.
”Saya belajar melukis secara otodidak. Sebelum kuliah di Yogyakarta, saya tinggal di Sentani, Jayapura, menempuh studi SMA di sana dan mulai banyak membuat coretan gambar di buku,” ujar Bob, yang juga menerima penghargaan Papua Design Weeks.
Selama di Yogyakarta, Bob mulai mengenal media lukis lainnya. Ia mulai membuat lukisan dengan menggunakan media kanvas dan cat akrilik.
Pertama kali menggunakan media tersebut pada saat Bob merayakan ulang tahunnya, 31 Januari 2020. Ia melukis wajah penyanyi reggae, Bob Marley (1945-1981).
Bob melukis dengan kanvas berukuran 45x30 sentimeter. Kemudian, Bob beralih melukis wajah khas kepala suku di Papua dengan ukuran yang lebih besar, 50x60 sentimeter.
Lukisan wajah kepala suku di Papua itu kemudian dibuat kembali untuk dipamerkan di Papua Design Weeks kali ini. Ada hiasan unik di wajah kepala suku yang dilukis Bob, yakni mengenakan hiasan tulang gigi taring babi terkait di kedua lubang hidungnya.
Hati kayu
Jhon Kaisma masih menyisakan kisahnya. Ini tentang hati kayu, yakni bagian tengah kayu keras yang dipergunakan untuk beragam perlengkapan tradisi di kampung halamannya, seperti untuk membuat tombak kayu atau salawaku.
”Bagian yang dipakai harus hati kayu. Setelah selesai dibentuk, lalu digambari dan dipahat mengikuti gambar, kemudian diberi warna,” ujar Jhon.
Hiasan dekoratif khas masyarakat Papua untuk perlengkapan rumah adat selalu punya makna. Jhon mengatakan, perlu berada di tempat rumah adat untuk menjelaskan makna-makna gambar atau lukisan yang dibuat itu.
”Saya pernah menanyakan kepada bapak saya ketika melukis. Setiap lukisannya selalu punya arti,” ujar Jhon.
Untuk pengambilan hati kayu di bagian dalam tentu akan menyisihkan atau membuang bagian-bagian luar kayu. Ini direspons tim pendamping Papua Design Weeks agar Jhon justru menciptakan karya berbahan lapis luar kayu, bukan hati kayunya.
Kayu gelondongan berdiameter sekitar 40 sentimeter pun diambil dan dirajang melintang. Rajangan-rajangan kayu itu berbentuk papan asimetris. Bagian hati kayu diambil dengan bentuk potongan lingkaran.
Sisa-sisa potongan lingkaran inilah yang kemudian digunakan Jhon untuk membuat karya seni instalasi partisi. Ada bagian kayu yang memiliki potongan lingkaran utuh, ada pula potongan lingkaran itu terputus sebagian.
Jhon menyusun potongan-potongan lapis luar kayu itu menjadi partisi berbentuk segi tiga. Tinggi dan lebarnya berkisar 2 meter. Jhon pun memberi pesan dan makna terhadap karya ini.
Lingkaran hati kayu yang berbentuk sama adalah jiwa manusia semua bernilai sama. Namun, bentuk luar kayu yang asimetris dan berbeda-beda itu sebagai ragam rupa manusia. ”Dengan perbedaan-perbedaan itu, manusia pun memiliki kebebasan untuk berbuat, berbuat ingin menuju surga atau neraka, misalnya,” ujar Jhon.
Inilah sapaan Jhon bersama para perupa lain asal Papua lewat Papua Design Weeks di Yogyakarta.