Penulis cerita ini membuat alur maju dan mundur untuk menuntun penonton mendapatkan rangkaian cerita yang utuh. Ketika mundur ke 25 tahun lalu, perlakuan rasialis sangat jelas terlihat.
Oleh
Fransisca Romana Ninik
·4 menit baca
Kisah pencuri ulung dengan trik-trik yang membuat dia seolah sosok siluman menemukan kesegaran dalam serial Lupin. Penceritaan, puntiran, dan fantasinya ditarik ke dimensi yang lebih luas dari sekadar kisah pencurian barang-barang berharga oleh seorang ”pencuri terhormat”.
Lupin merupakan serial aksi kriminal dan misteri Perancis yang tayang mulai 8 Januari 2021 di kanal Netflix. Ceritanya diadaptasi dari karakter Arsene Lupin, sosok fiktif yang diciptakan tahun 1905 oleh penulis Perancis, Maurice Leblanc. Petulangannya ditampilkan dalam 19 novel dan 39 novelet (novel pendek).
Karya Leblanc itu telah banyak diadaptasi dalam sandiwara, film, komik, dan serial televisi. Arsene Lupin juga menjadi tokoh atau bintang tamu dalam karya penulis lain.
Di Perancis, sosok Arsene Lupin demikian dikenal. Di kota Etretat, 2,5 jam berkendara dari Paris, terdapat Le Clos Arsene Lupin, sebuah museum yang didedikasikan kepada sosok pencuri terhormat itu. Lokasinya adalah bekas rumah Leblanc. Tempat ini ramai dikunjungi para penggemar cerita Arsene Lupin. Tak jarang para pengunjung ini berpakaian ala Arsene Lupin, dengan jubah hitam dan topi tinggi berwarna sama.
Petualangan Arsene Lupin yang tertuang dalam buku-buku itu menginspirasi si tokoh utama dalam serial Lupin untuk menjalankan aksinya. Segala hal terkait Arsene Lupin bertebaran dalam serial tersebut. Penonton yang tidak familiar dengan karakter Arsene Lupin bisa sedikit banyak mengenal sosok tersebut, sementara bagi penonton yang sudah akrab bisa menikmati aksi ”Lupin” masa kini.
Serial Lupin ditulis George Kay dan Francois Uzan, dengan sutradara Louis Leterrier (3 episode), Marcela Said (2 episode), dan Ludovic Bernard (2 episode). Serial terbagi dua bagian, yang pertama terdiri atas lima episode yang sudah dirilis, sementara bagian kedua belum dirilis. Kisahnya mengikuti aksi Assane Diop (diperankan Omar Sy), seorang anak imigran Senegal yang bekerja sebagai petugas kebersihan di Museum Louvre, Paris.
Rupanya di museum itu hendak diselenggarakan lelang Kalung Sang Ratu, sebuah kalung mewah yang pernah dipakai Marie-Antoinette, milik keluarga Pellegrini, keluarga kaya raya yang menguasai banyak sendi kehidupan kota. Assane, yang memiliki nama samaran Paul Sernine dan Luis Perenna, berniat mendapatkan kalung itu.
Pencurian kalung membawa kisah ke masa lalu ketika Assane kecil menemani ayahnya, Babakar (Fargass Assande), bekerja untuk Pellegrini. Babakar, yang dikenal terhormat, dituding mencuri kalung tersebut lalu dipenjara. Malu, Babakar mengakhiri hidupnya di sel tahanan, meninggalkan Assane yatim piatu di panti sosial.
Assane tumbuh dengan mempercayai bahwa ayahnya pencuri. Hingga 25 tahun kemudian, dia berusaha menguak masa lalu dan mencari kebenaran serta membalas keluarga Pellegrini. Satu-satunya peninggalan ayahnya, buku Arsene Lupin, gentleman-cambrioleur, menemani hidupnya dan jadi pegangannya dalam upaya pembalasan itu.
Peralatan canggih
Berbeda dengan Lupin 100 tahun lalu, Lupin masa kini membekali diri dengan peralatan canggih untuk mendukung aksinya. Perangkat komputer dengan kamera pengawas adalah teman riset paling setia bagi Assane untuk menelusuri segala hal.
Di situ digambarkan, perangkat tersebut membantu dia menguak latar belakang incarannya, merencanakan aksi, termasuk mengelabui lawan-lawannya. Dia bisa menembus sistem keamanan dan memanipulasi sistem seperti yang diinginkannya. Dia bisa pula berganti identitas dan penampilan, sesuai taktik yang hendak diterapkan.
Agak berlebihan penggambaran kecanggihan tersebut, barangkali bisa dibandingkan dengan unsur fantasi dalam novelnya. Disebutkan bahwa kadang kala Leblanc menggunakan elemen semacam batu dewa yang mengandung radioaktif yang dapat menyebabkan mutasi atau air mineral yang tersimpan di bawah danau dalam petualangan Arsene Lupin.
Unsur kejutan dan hiburan didapatkan dari ”rahasia” aksi Diop yang membuat dia layaknya Lupin yang tak pernah tertangkap. Sosoknya yang pandai menyamar juga membuat dia tak terendus sekelompok polisi yang dipimpin Kapten Romain Laugier (Vincent Londez). Cara kerjanya rapi, kadang terlihat terlalu rapi sampai-sampai tidak masuk akal.
Semua tak lepas dari pesona Sy, pemerannya. Sy dikenal, salah satunya, lewat film The Intouchable, tentang perawat seorang kaya yang lumpuh. Dia bisa berubah dari Paul Sernine yang menawan dan keren dalam balutan jas perlente menjadi Djibril Traore, narapidana tak berdaya demi melancarkan aksinya.
Isu rasial
Aktor kulit hitam ini juga menjadi elemen kejutan dalam film karena tak sedikit penggemar Arsene Lupin di Perancis yang berpendapat bahwa Lupin tidak semestinya berkulit hitam. Kedua penulis naskah paham bahwa tanggapan semacam itu bakal mencuat. Mereka malah memanfaatkan hal itu untuk sedikit mengungkit isu rasial yang belakangan merebak di Perancis, bagaikan bara dalam sekam.
Penulis cerita ini membuat alur maju dan mundur untuk menuntun penonton mendapatkan rangkaian cerita yang utuh. Ketika mundur ke 25 tahun lalu, perlakuan rasialis itu sangat jelas terlihat. Akan tetapi, bahkan hingga ke masa kini, masih ada juga orang yang memandang sebelah mata orang kulit hitam. Tak akan sulit untuk langsung jatuh hati pada akting Sy dalam balutan suasana tersebut.
Alur maju dan mundur membuat serial Lupin terasa dinamis meski di beberapa adegan terasa berpanjang-panjang. Sedikit humor di sana-sini menyelamatkan ceritanya sehingga tidak terlalu membosankan. Kadang kala ada bagian yang terasa klise dan mudah ditebak, tetapi ada pula puntiran tak terduga.
Meskipun sudah diantisipasi, ketegangan yang muncul tetap terasa menyenangkan. Rasa penasaran atas petualangan si Lupin akan mencuri perhatian penonton untuk terus terpaku pada layar dan mengeklik ”tombol episode selanjutnya”.