Kesempatan yang Sama
Agus berharap, karya-karya terbarunya nanti bisa ditampilkan melalui pameran virtual juga. Ia berharap agar masyarakat mampu mengapresiasi karya seniman yang belum mapan.
Pameran virtual memberikan kesempatan yang sama. Di masa pandemi Covid 19 seperti sekarang, ini momentum bagi seniman yang semula sulit menembus galeri untuk berpameran virtual, sekaligus bagi galeri-galeri atau siapa pun memiliki momentum serupa untuk memasukkan seniman-seniman belum mapan ke dalam bingkai pasar dan wacana seni rupa.
”Saya baru pertama kali ini berpameran. Saya banyak melukis, sampai-sampai membuat les melukis pula untuk anak-anak tetangga,” ujar Agus Urip Wijiyanto (37) di Bojonegoro, Jawa Timur, Kamis (14/1/2021).
Agus pelukis otodidak lulusan SMA, melukis dengan corak realisme dan sesekali tertarik menjajaki ekspresionisme. Bersama pelukis Marchelino Hansell (20), pelukis otodidak pula lulusan SMA Seminari Mertoyudan, Magelang, keduanya digandeng Kenny Yustana di Jakarta untuk berpameran virtual.
Kenny menampilkan lukisan-lukisan karya Agus dan Hansell di laman yang dikelolanya, ChiaroBytes. Ia juga memublikasikan di Instagram untuk pameran virtual yang bertajuk ”In Frame” atau ”Di Dalam Bingkai”, berlangsung pada 20 Desember 2020 hingga 20 Januari 2021.
”Laman Chiarobytes dibuat khusus untuk pameran karya seni rupa di masa pandemi bagi seniman-seniman yang belum mapan supaya lebih dikenal. Ini dimulai pada 15 September 2020, dan selalu berganti pameran untuk setiap bulannya,” ujar Kenny, putra dari seorang pengelola galeri, Andi’s Gallery, di Jakarta.
Chiarobytes berbeda dengan galeri. Ketika ada yang tertarik untuk membeli karya yang dipamerkan, Chiarobytes menghubungkan langsung dengan para seniman bersangkutan.
Untuk pameran virtual berikutnya, Kenny mempersiapkan akan dibuka pada 25 Januari sampai 25 Februari 2021 nanti. Pameran itu bertajuk ”Illustration” dengan lima peserta seniman meliputi Fiona G Handoko, Saadya Gabriela, Debra Anggraeni, dan Kurniawan Wijaya.
Kenny biasanya menjalin kontak dengan para peserta seniman lewat media sosial Instagram. Selain memberikan kesempatan sama bagi para seniman yang belum mapan, pameran virtual menyuguhkan wacana seni rupa makin beragam pula.
Tanpa kuas
Saat dihubungi di Bojonegoro, Agus menceritakan, semua karya lukisan yang dibuatnya selama sembilan tahun terakhir tidak pernah menggunakan kuas. Ia menggunakan pen brush, semacam pena cat semprot.
”Saya merasakan lebih nyaman menggunakan pen brush. Seperti ketika membuat gradasi warna akan terasa lebih halus,” ujar Agus.
Sebanyak 10 lukisan Agus ditampilkan di pameran virtual Chirobytes. Lukisan-lukisan potret itu terlihat bening. Proses gradasi warnanya pun cukup halus. Detail garis dan goresan seperti kerutan di wajah terlihat nyata.
Lukisan yang diberi judul ”Nenek dan Nasi Putih”, dengan media kanvas berukuran 90 X 80 sentimeter, memiliki kenangan tersendiri. Agus melukis Mbah Mi, sebutan untuk seorang nenek yang tinggal sebatangkara dan menjadi tetangganya.
Mbah Mi sebenarnya memiliki sejumlah anak yang tersebar di sejumlah kota. Mbah Mi dibiarkan tinggal sendirian di rumahnya. Agus kerap menjumpai Mbah Mi tidak jarang hanya memakan nasi putih di atas piring.
”Mbah Mi sekarang sudah meninggal,” ujar Agus.
Mbah Mi dilukis sedang duduk berjongkok. Tangan kirinya menyangga piring berisi nasi putih penuh. Tangan kanannya menyentuh nasi untuk siap disantap.
Ada gurat wajah nenek yang terlihat unik. Agus tidak melukisnya dengan wajah yang sedih. Ada tarikan sunggingan di bibir Mbah Mi yang menampakkan nenek ini tetap gembira.
Agus melukiskan beberapa helai rambut hitam di sela rambut Mbah Mi yang hampir seluruhnya beruban putih. Lengan tangan kanannya masih terlihat berurat dan tidak terlalu kurus. Mbah Mi masih terlihat kuat.
Di samping kanan Mbah Mi ada sepotong tongkat bambu kecil. Mungkin ini tongkat untuk alat bantu Mbah Mi ketika berjalan. Motif batik untuk kain jarit yang dikenakan Mbah Mi pun dilukiskan dengan detail. Menurut Kenny Yustana, ini lukisan andalan Agus untuk pameran kali ini. Lukisan yang memberikan pesan kemanusiaan yang kuat.
”Melalui lukisan Mbah Mi ini saya ingin menyampaikan, seorang anak jangan sekali-kali meninggalkan orangtua di akhir masa hidupnya,” kata Agus.
Lukisan karya Agus lainnya masih tentang figur seorang nenek, ada pula seorang bayi dan perempuan-perempuan muda. Agus melukis dalam bentuk figur yang tunggal.
Ada satu figur di antara 10 lukisan yang ditampilkan, berupa figur mitologi Jawa, yang diberi judul ”Nyi Roro Kidul”. Agus menggunakan pen brush di atas kertas berukuran 90 x 70 sentimeter.
”Ada pengalaman unik setiap kali saya melukis Ibu Ratu (sebutan untuk Nyi Roro Kidul),” ujar Agus.
Agus menceritakan pengalaman unik yang tidak rasional itu seperti tiba-tiba menghirup aroma wangi atau terdengar bunyi tetabuhan gamelan di saat melukis Nyi Roro Kidul. Pernah pula suatu ketika ada pusaka berbentuk bilah keris yang tiba-tiba datang terselip di dinding kayu rumahnya.
”Pernah pula muncul suara dari lemparan batu mengenai daun pintu. Saya mendengar, tetapi tidak pernah melihat batunya,” ujar Agus.
Dengan pengalaman-pengalaman seperti itu, Agus tetap menjalani kegiatan melukis seperti biasa. Dengan keahliannya melukis potret wajah, Agus kini mengembangkan lukisan-lukisan bercorak ekspresionisme yang belum pernah dipamerkan.
Agus berharap, karya-karya terbarunya nanti bisa ditampilkan melalui pameran virtual juga. Ia berharap agar masyarakat mampu mengapresiasi karya seniman yang belum mapan. Agus menyebutnya dengan seniman kecil, seperti dirinya.
Aura positif
Seniman muda Hansell menampilkan corak lukisan yang berbeda. Ia mengembangkan corak dekoratif dan bercorak kartun. Ada sebanyak 10 lukisan ditampilkan di dalam pameran virtual ini.
Lukisan diandalkan berjudul ”Colourful Flamenco”, dengan media cat akriliks di atas kanvas papan berukuran 29 x 21 sentimeter.
Menurut Hansell, lukisan ini menawarkan aura positif dari warna-warni penari Flamenco. Flamenco menurut riwayatnya sebagai tarian Istana Moor di India yang terus dikembangkan, terutama di wilayah Andalusia atau Spanyol.
Kebetulan Hansell memiliki seorang teman yang juga penari Flamenco. ”Saya berkolaborasi dengan melukiskan aura positif dari warna-warni penari Flamenco,” ujar Hansell.
Lima lukisan Hansel dilukis secara manual. Selain ”Colorful Flamenco”, ada lagi ”Pieta Makhluk Gaib”, ”Skull and Sin”, ”Tribute to I.T”, dan ”Riwet Gak Sih?”
Selebihnya, lima lukisan lain dilukis secara digital. Seperti karyanya yang diberi judul ”Flamenco”, Hansell melukis secara digital dengan ukuran 1.000 x 1.000 piksel. Selain itu, judul karya digital lainnya meliputi ”Kita Itu Seringnya Loyo”, ”Burung Fiktif”, ”Doa Sejuta Umat”, serta ”Manusia dan Gaboet”.
Agus dan Hansel menampakkan jati diri masing-masing. Mereka berkarya dengan rasa kepercayaan diri yang tinggi. Inilah modal berharga ketika saatnya mendapat kesempatan sama hadir di sebuah pameran virtual yang dapat diakses orang di belahan bumi mana pun.