Kasur Empuk dan Lentera Tisna Sanjaya
Pameran karya Tisna Sanjaya di bekas gedung Bioskop Dian yang mangkrak di Bandung itu menggelitik kesadaran
Tak disangka seniman Tisna Sanjaya (62) memilih bangunan tua mangkrak di pusat kota Bandung yang penuh sampah dan bau busuk untuk pameran tunggal karya-karyanya. Ia menata kasur-kasur empuk di lantai yang diterangi lentera sebagai simbol pandemi kebudayaan serta kepura-puraan pemimpin kota.
Bangunan tua itu dikenal sebagai Bioskop Dian. Konon, di masa kolonial Hindia Belanda ini sebagai Bioskop Radio City yang dibangun CP Wolff Schoemaker pada tahun 1923 dengan gaya arsitektur Art Neveau di atas tanah seluas 1.105 meter persegi.
Lokasinya, persis di samping kanan Pendopo Kota Bandung, di Jalan Dalem Kaum, seberang Alun-alun Kota Bandung dan Masjid Agung. Terbayang, lokasi Bioskop Dian sangat sentral di pusat kekuasaan politik kota Bandung. Namun, sekian puluh tahun lamanya Gedung didiamkan tak terurus.
Sebanyak 33 kasur terbungkus kain sprei putih bersih ditata membentuk barisan rapi di lantai Bioskop Dian. Sebuah lentera “teplok” atau “dian” ditaruh di atas potongan bambu dan ditegakkan di sisi atas bidang kasur.
Belasan lukisan yang sebagian besar dibuat Tisna dengan teknik cetak tubuh dipajang di sisi kiri dan kanan barisan kasur. Warna-warna lukisan monokromatik hitam di atas bidang putih seakan tubuh-tubuh yang berdiri tegak menyaksikan siapa saja yang tertidur di kasur-kasur empuk tadi.
Ini seni instalasi yang disajikan Tisna dalam pameran tunggal bertajuk Dian Lentera Budaya, 20 Desember 2020 hingga 28 Januari 2021. Pameran virtual ini dikuratori Agung Hujatnikajennong, dosen Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) Institut Teknologi Bandung (ITB).
Pada pembukaan pameran, Tisna mengundang beberapa wartawan dan tamu undangan terbatas lainnya. Tisna mengajak mereka untuk berbaring di setiap kasur dan menyaksikan video di sebuah layar besar yang digelar di dinding bagian depan.
Layar itu menampilkan rekaman video kondisi Bioskop Dian yang penuh sampah busuk, sebelum digunakan untuk pameran. Kemudian sampah-sampah plastik, ada pula bangkai hewan membusuk, dibersihkan. Lantainya diguyur dengan air hingga bersih.
Plafon untuk langit-langit gedung yang berbentuk setengah lingkaran sudah tidak utuh lagi. Banyak yang runtuh.
Ada sebagian sampah disisakan Tisna dan tidak dibuang. Sampah-sampah itu dibungkus plastik dan dijadikan karya seni instalasi Tisna di lokasi pameran.
Saat pembukaan, Tisna ikut berbaring di kasur. Ia kemudian bangkit berdiri dan membawa sebuah cemeti, lalu berjalan berkeliling di antara lorong-lorong kasur.
Ia mencambukkan cemetinya di setiap kasur yang kosong tak terisi. Seraya berjalan dan mencambuk-cambukkan cemetinya, Tisna melafal doa-doa berbahasa Arab dan ungkapan harapan “bangun” dengan bahasa Sunda.
Instalasi buntalan plastik berisi sampah dihampiri Tisna. Ia mengguyurnya dengan air. Tisna mendaras doa. Doanya, tidak lain agar gedung Bioskop Dian di masa berikutnya bisa terurus, tidak dipenuhi sampah. Syukur-syukur, gedung bekas bioskop itu berubah menjadi pusat kesenian, bahkan pusat kebudayaan bagi dunia.
“Pameran di gedung bersejarah yang mangkrak ini bukan semata ekspresi estetika personal. Pameran ini sebenarnya bertujuan ingin mengubah mentalitas yang tidak pernah memberi penghargaan terhadap warisan bersejarah,” ujar Tisna, yang juga dosen Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) Institut Teknologi Bandung (ITB), ketika dihubungi di Bandung, Rabu (6/1/2021).
Alun-alun
Sorotan Tisna lebih meluas, tidak hanya terhadap gedung Bioskop Dian yang mangkrak. Tisna kemudian menyoroti kawasan Alun-alun Kota Bandung yang ada di seberang Bioskop Dian.
“Alun-alun Bandung citra pusat kota yang penuh kepura-puraan. Alun-alun itu tampak hijau dan indah dari kejauhan, tetapi hijau rumput alun-alun itu hanya kamuflase yang terbuat dari rumput berbahan sintetik plastik,” ujar Tisna.
Ketika Tisna melangkahkan kaki ke tengah alun-alun, terlihat rumput gersang pun terhampar. Bagi Tisna, alun-alun juga berubah secara simbolik sekadar menjadi halaman Masjid Agung Bandung.
Tisna menaruh harapan yang tidak muluk. Pameran tunggal bertajuk Dian Lentera Budaya agar berdampak bagi perubahan kawasan di sekeliling Bioskop Dian. Terutama bagi Kawasan alun-alun Bandung supaya makin memiliki manfaat bagi masyarakat. Revitalisasi Bioskop Dian hanyalah titik awal.
“Sampai sekarang belum ada yang secara artikulatif, penuh komitmen, terutama dari pihak Gubernur Jawa Barat yang secara legal mempunyai kewajiban untuk menata, memperbaiki, merevitalisasi gedung Bioskop Dian,” tutur Tisna.
Sejauh ini Pemerintah Provinsi Jawa Barat memiliki kewenangan pengelolaan gedung ini. “Bioskop Dian memungkinkan untuk direvitalisasi supaya lebih aman, nyaman, dan indah. Ini berdampak pada citra kota Bandung sebagai kota yang mempunyai visi seni dan budaya,” kata Tisna.
Pameran Dian Lentera Budaya bagi Tisna, merupakan ekspresi estetika personal yang dilebarkan menjadi sebuah gerakan kebudayaan.
Di satu kaki Tisna terus berkarya, bereksplorasi, bereksperimen, dan berinovasi secara personal. Di satu kaki lainnya, Tisna berproses untuk berunding, bersilaturahmi, dan melobi pihak-pihak yang berkewajiban merawat warisan kebudayaan.
“Saya di masa pandemi Covid 19 ini mencoba mencari cara supaya tetap waras, tetap sehat dengan cara mencari ruang-ruang yang asalnya indah. Tetapi, ruang-ruang sosial itu kemudian bertahap membusuk dan ditutupi oleh kepura-puraan penguasa. Inilah pandemi kebudayaan yang harus dibongkar,” ucap Tisna.
Tidak sehat
Kurator Agung Hujatnikajennong memungut relevansi makna pameran tunggal Tisna ini dengan masa pandemi Covid 19 sekarang. Bioskop Dian yang dibiarkan mangkrak serta jadi tempat tumpukan sampah dan bangkai binatang itu menyiratkan gaya hidup tidak sehat, gaya hidup yang tidak berkelanjutan, gaya hidup yang dipenuhi kepura-puraan.
“Melalui pameran ini, tiba-tiba Tisna Sanjaya mencambukkan cemeti dan membangunkan kita dari gaya hidup yang tidak sehat,” ujar Agung.
Pandemi Covid 19 sama halnya sebagai buah dari gaya hidup manusia yang tidak sehat. Pembangunan atas nama peradaban manusia makin mengabaikan ekosistemnya. Manusia tidak lagi peduli dengan kelestarian hutan, kelangsungan sumber air bersih, dan kehidupan yang selaras dengan makhluk lain.
Gaya hidup tidak sehat juga diperlihatkan dengan tindakan yang abai terhadap lingkungan sekeliling. Bioskop Dian yang telantar dan kumuh, contohnya. Sikap abai dan masa bodoh itulah bagian dari gaya hidup tidak sehat.
Buah gaya hidup tidak sehat dalam memperlakukan Bioskop Dian dibahasakan Tisna sebagai pandemi kebudayaan. Yang ditebar bukan virus Covid 19, melainkan virus-virus yang membuat mental malas, mental koruptif, mental dekil, dan sebagainya. Virus pandemi Covid 19 dan pandemi kebudayaan sama-sama mematikan.
“Pameran karya seni Tisna Sanjaya itu menggerakkan kesadaran. Kesadaran untuk menjadikan sesuatu lebih baik dari sekarang,” ujar Agung.