Rock yang Meroket, Membubung Tinggi
Bagi Kelompok Penerbang Roket, kunci bermusik adalah bersenang-senang, berkarya dengan ”passion” yang besar. Soal pasar, tidak perlu terlalu dipikirkan hingga menguras energi.
Kelompok Penerbang Roket adalah John Paul Patton (bas/lead vocal), Rey Marshall (gitar/backing vocal), dan Igusti Vikranta (drum/backing vocal). Menjelang 10 tahun usia Kelompok Penerbang Roket, mereka telah menjadi awak yang ”meroketkan” kembali musik rock di Tanah Air. Rock yang sempat terpinggirkan, membara lagi di panggung musik Indonesia.
November 2020, Kelompok Penerbang Roket (KPR) melempar singel terbaru mereka, ”Roda Gila”. Singel yang sebenarnya sudah tercipta sejak 2016 ini menyuguhkan musik yang lebih kencang, tetapi tetap mengusung energi muda khas KPR.
Liriknya lugas, ditulis dalam bahasa Indonesia. Berkisah tentang roda kehidupan yang terus berputar tanpa henti. Pesannya, seperti diungkap di lirik yang ditulis oleh Rey, jangan gentar bernyali besar.
”Roda Gila” yang dimainkan dengan kencang itu singel yang terdapat di mini album terbaru milik KPR. Mini album KPR ini berisi lima lagu dan menurut rencana akan dirilis awal tahun ini. ”Kami lumayan enggak sabar, sih. Album ini lumayan lama ngerjainnya. Setahunan lebih,” tutur Viki, sapaan Igusti Vikranta, dalam wawancara bersama KPR via Zoom, Desember lalu.
Pandemi Covid-19 yang memaksa mereka untuk mengarantina dirilah yang membuat mereka bisa fokus menyelesaikan album. Setiap personel jadi punya waktu untuk mengulik lebih dalam instrumen mereka untuk memperdalam musik KPR.
”Album ini dijamin (bikin) awet muda. Gue senengnya di album baru ini, spirit forever young-nya nongol lagi. Seger. Ini rasa yang kita kangenin lagi terutama di musik rock, kan, kita harus never grow up.Enggak boleh kemakan umur, harus buang jauh-jauh adulthood. Energi itu yang akhirnya kita dapetin lagi di album ini,” kata Viki.
Lama tak tampil di panggung akibat pandemi, tampaknya juga turut menyumbang ledakan energi KPR. Selain itu, musikalitas dan chemistry antarpersonel yang terus bertambah seiring perjalanan mereka membuat musik mereka semakin matang. Masing-masing mengeksplorasi diri sehingga menghasilkan bebunyian baru yang segar, berenergi muda.
”Cuma tetap enggak jauh dari benang merah KPR,” kata Viki. Lebih cepat dan lebih segar merupakan penggambaran yang paling pas untuk mini album KPR terbaru kelak.
Tidak main-main, mastering ”Roda Gila”, misalnya, digarap di studio Abbey Road di London, Inggris. Ini bukan sekadar gaya-gayaan. Namun, lebih sebagai bentuk tanggung jawab dan profesionalitas KPR.
Mereka membuang jauh-jauh pilihan untuk rekaman sendiri meski saat ini teknologi rekaman sudah sangat canggih dan memungkinkan untuk itu, termasuk alasan budget yang lebih murah.
Rock lawas
KPR terbentuk tahun 2011. Sebuah studio di kawasan Cinere mempertemukan ketiganya yang sama-sama senang bermain musik, mengidolakan band-band rock yang sama, seperti Duo Kribo, AKA, dan Panbers. Dari luar negeri ada Led Zeppelin, Deep Purple, dan Black Sabbath.
Adalah Duo Kribo, band era tahun 1970-an yang digawangi oleh Ahmad Albar dan Ucok Harahap, yang menginspirasi kelahiran nama KPR. Nama KPR diambil dari lagu milik Duo Kribo, ”Mencarter Roket”, yang dirilis 1978.
Namun, tak hanya Duo Kribo, band-band rock lama di era 70-an yang menjadi favorit mereka juga turut memberikan pengaruh tak kalah besar pada musikalitas KPR. Menyimak KPR, rock lawas ibarat bangkit kembali, tentu dengan sentuhan lebih segar karena KPR pun besar dengan musik-musik era kini.
Pada awal KPR, mereka fokus membongkar lagu-lagu rock zaman dulu. Hanya saja musiknya agak berubah karena KPR adalah band baru.
Mengusung musik rock lawas Indonesia, tentu juga membawa KPR untuk konsisten sejak awal menyuguhkan lirik-lirik dalam bahasa Indonesia. Selain lebih mudah dalam penggarapannya, mereka melihat hal serupa juga dilakukan para pendahulu mereka. Band-band rock luar negeri pun bangga menggunakan bahasa ibu mereka.
”Kalau kita lihat band-band lama di Indonesia banyak banget yang memakai bahasa Indonesia dengan lirik yang simpel. Temanya juga macem-macem. Ini seru, enggak kayak kebanyakan orang, bikin lagu dengan bahasa Indonesia tapi biasanya tentang cinta. Ini juga untuk menaikkan lagi budaya menulis lagu dengan bahasa Indonesia,” tutur Coki, sapaan John Paul.
Secara sederhana, karena tujuan KPR ingin menaikkan lagu-lagu rock lawas Indonesia, sudah sepantasnya mereka juga menulis liriknya dalam bahasa Indonesia. Proses kreatif dalam penciptaan lagu biasanya diawali dengan musik, baru disusul dengan lirik yang lahir lebih spontan.
Bukan berarti tak ada pesan pada lirik yang spontan. Seperti halnya ”Roda Gila” yang mengingatkan agar tak gentar mengarungi kehidupan, di lagu ”Teriakan Bocah” yang dibuat tahun 2012 juga ada pesan agar tak mati konyol hanya karena tawuran.
Bersenang-senang
Di industri musik Tanah Air, rock bisa jadi bukan primadona. Sejak awal berdiri, KPR pun sadar akan hal itu. Namun, KPR tetap percaya diri.
Personel KPR semula tak terpikir untuk mencari uang dari bermusik rock. Awalnya, hanya karena senang bermusik. Bagi mereka, seperti diungkap oleh Rey, kunci bermusik adalah bersenang-senang, berkarya dengan passion yang besar. Soal pasar, tidak perlu terlalu dipikirkan hingga menguras energi.
”Cuma pada akhirnya emang kami balikin lagi, sih. Saat KPR muncul, musik yang sedang naik, kan, folk. Mereka sudah punya pasar sendiri. Akhirnya kami bikin pasar sendiri aja. Yang lain lagi sibuk ke kanan, kami bikin yang ke kiri aja sekalian,” ujar Viki.
Strategi itu ternyata tak salah. Berbekal rumus bersenang-senang dan menikmati apa yang mereka lakukan saat melata dari satu panggung ke panggung lainnya untuk mempromosikan KPR, respons yang mereka terima justru sangat positif.
Sedikit demi sedikit, KPR pun terus menancapkan nama di hati penggemarnya. Panggung mereka tak pernah sepi. Bersamaan dengan itu, bara musik rock pun terus menyala semakin benderang. Hingga kini, KPR telah menghasilkan album Teriakan Bocah (2015), HAAI (2015), dan Galaksi Palapa (2018).
Tantangan dalam berkarya tentu terus muncul. Salah satu yang terbesar adalah keinginan untuk selalu menghasilkan karya yang berbeda. Tiga kepala berbeda kerap memunculkan perdebatan yang tak bisa dielakkan.
”Kami bertiga ini egonya gede banget,” ungkap Viki yang merasa beruntung karena meski ego sama-sama besar tak pernah berantem serius.
Meski kini roket mereka tinggi mengangkasa, banyak yang menyebut KPR sebagai ujung tombak musik rock Indonesia, beban untuk menghadirkan karya terbaik disikapi dengan santai. Prinsipnya, tak boleh menjadi ”normal”, harus tetap ”gila” dalam berkarya.
Bagaimanapun mimpi harus tetap dibangun, seperti saat KPR berdiri. Seperti mimpi tampil di panggung utama Festival Glastonbury, tampil satu panggung dengan dedengkot rock Ozzy Osbourne, juga mimpi tampil di Stadion Wembley, keliling dunia. Dengan musik kencang dan energi muda KPR, semoga semesta mendukung.