Ada rajutan kisah yang acap kali tak santer jadi buah bibir tetapi dirasakan semua saat masa pandemi. Inilah benang merah ”Quarantine Tales”.
Oleh
Riana A Ibrahim
·5 menit baca
Kata karantina mendadak akrab merasuk dalam obrolan sehari-hari. Bagaimana tidak? Merajalelanya Covid-19 memicu karantina di sejumlah negara, termasuk Indonesia. Namun, di balik tiap dinding tempat orang-orang terpaksa mengungkung dirinya, ada rajutan kisah yang acap kali tak santer jadi buah bibir tetapi dirasakan semua.
Film bertajuk Quarantine Tales yang tayang pada 18 Desember 2020 melalui Bioskop Online ini berupaya menangkap fenomena yang tersimpan dari rumah ke rumah sepanjang pandemi ini. Ada lima film pendek yang dikemas menjadi satu kesatuan besutan dari lima sutradara. Cerita-cerita ini berlatar belakang kesepian, kekosongan, ketakutan, dan imajinasi.
Cerita pembuka pada babakan ini adalah film pendek berjudul Nougat yang juga karya perdana aktris Dian Sastrowardoyo sebagai sutradara. Berkisah tentang tiga saudara perempuan yang sejak lama terpisah jarak meski tinggal satu kota. Kesibukan Ubai (Marissa Anita), Ajeng (Adinia Wirasti), dan Denok (Faradina Mufti) membuat mereka susah bersua, hanya memanfaatkan panggilan video untuk bertatap muka.
Hingga memasuki tahun ini di mana semua komunikasi memang menggunakan fasilitas video tatap muka. Ketiganya justru rindu. Ada persoalan yang selama ini disembunyikan malah terungkap. Pelukan dengan saudara yang melewatkan masa kecil bersama pun dicari sebagai penawar.
”Aku, kan, sebenarnya anak tunggal, tetapi kok kayaknya menarik ya untuk melihat hubungan saudara kandung di masa pandemi begini. Apalagi dengar dari cerita teman-teman juga. Yang dari kecil selalu sama-sama, punya kenangan bersama, tetapi pas udah gede tuh keliatannya terus pada sendiri-sendiri. Mau ketemu aja susah banget. Aku melihatnya di pandemi ini malah terus pada mulai nyambung lagi,” tutur Dian saat jumpa pers peluncuran film Desember lalu.
Dalam proses penulisannya, Dian mengaku banyak dibantu oleh produser Shanty Harmayn yang juga merupakan Chief Executive BASE Entertainment. Semula, Dian merasa tidak percaya diri saat ditawari ikut mengisi salah satu film omnibus produksi BASE Entertainment ini. ”Eh ternyata seru juga menjadi sutradara,” ujar juara Gadis Sampul 1996 ini.
Film kedua besutan Jason Iskandar berjudul Prankster dibintangi Roy Sungkono dan Windy Apsari. Maraknya orang menangguk popularitas dari tayangan yang isinya ngerjai orang menjadi sorotan Jason. Dikisahkan, Didit tak menyangka prank yang dilakukannya pada Aurel yang tengah merintis karier memasak berbuah petaka.
”Situasi pandemi ini, kan, banyak yang ngajakin online atau live. Bikin hiburan. Lalu banyak yang menjadi content creator. Penginnya menghibur, tetapi ada yang enggak pas. Sebelumnya juga banyak yang mikirnya hanya nyari viewers, nyari uang, jadi enteng buat nge-prank. Jadi kehilangan empati dan sisi humanity,” ungkap Jason.
Kondisi ini memang menyesakkan. Beberapa waktu lalu, video seorang Youtuber berpura-pura memberi bantuan yang ternyata berisi sampah sempat viral. Hal serupa muncul lagi di tengah pandemi, yakni memberi bantuan kepada ibu tua tetapi berisi batu. Ada banyak prank lain yang tanpa disadari berdampak negatif bagi korban. ”Ini enggak bisa terus-terusan begini,” kata Jason.
Tetap waras
Berlanjut pada film ketiga berjudul Cookbook milik sutradara Ifa Isfansyah. Adegan dibuka oleh Chef Halim (Verdi Solaiman) dan Pak Naryo (Kiki Narendra) yang sedang membicarakan kelanjutan buku resep masak yang hendak diterbitkan. Di tengah pandemi ini, buku yang selama ini lama terselesaikan tak disangka segera beres dan siap dicetak.
Chef Halim pun memupuk ambisi untuk kembali menulis buku lagi mengingat waktunya yang senggang karena terus-menerus di rumah sepanjang pandemi. Tak disangka, kehampaan dan ketakutan yang selama ini ditekannya lewat kesibukannya menjadi seorang juru masak tiba-tiba meluap.
Bayang-bayang masa lalu yang tadinya terkikis karena teralihkan dengan banyak pertemuan dan kegiatan muncul berlarut-larut dalam mimpi. Kehilangan yang tak terobati membuat Chef Halim terpuruk. Meski tak gamblang, karya Ifa kali ini seakan menjadi pengingat bagi yang bertahan di tengah pandemi untuk tetap berinteraksi dan menjaga kesehatan mental dengan kegiatan yang menyenangkan dan menenangkan.
”Kenapa chef? Karena kalau ngomongin karantina itu yang kebayang saya mau cerita memasak dan masakan, di rumah itu jadi aktivitas selama karantina bersama keluarga. Menyenangkan jelas karena selama ini kita sibuk dan enggak sempat untuk seperti itu. Saat garap ceritanya, saya pakai karakter yang dekat dengan makanan, yaitu chef itu,” kata Ifa.
Film keempat milik Acho Tenri, yakni Happy Girls Don’t Cry, memotret fenomena giveaway yang banyak disebarkan pelaku media sosial. Dengan mengambil genre komedi satir, Adinda Rizky, Rifnu Wikana, dan Marissa Anita cukup apik mengeksekusi peran sebagai keluarga menengah ke bawah yang terbawa mimpi tetapi terhantam pandemi.
Kompleksitas tentang harapan remaja yang terpengaruh untuk menjadi seperti idolanya di media sosial, baik dari segi gaya hidup, pergaulan, maupun cita-cita, berbenturan dengan kondisi orangtua yang kehilangan pekerjaan di tengah pandemi. Jangankan berbicara cita-cita atau melanjutkan sekolah, uang untuk menyambung hidup keesokan hari saja sulit hingga barang-barang di rumah satu per satu dijual.
”Tapi bisa beli kuota karena itu seperti kebutuhan primer sekarang. Apalagi dengan fenomena giveaway itu, orang-orang jadi ikut terus, ngeklik terus, padahal uang susah. Saya aja enggak pernah tuh dapat giveaway, he-he-he,” ujar Acho.
Akhir kisah ditutup karya Sidharta Tata berjudul The Protocol. Lagi mengusung komedi satir tentang dua perampok yang baru dilepaskan dari penjara setelah Menteri Hukum dan HAM mengeluarkan aturan untuk membebaskan sebagian narapidana karena pandemi. Di tengah perjalanan, Abdurrahman Arif yang menjadi salah seorang perampok diliputi kegalauan.
Rekannya kolaps di jalan setelah mengalami batuk dan sesak napas. Ia pun berasumsi kawannya itu terkena Covid-19. Tak bisa membawanya ke rumah sakit karena baru saja merampok, Abdurrahman berupaya membuang jasad temannya dengan tetap mematuhi protokol kesehatan, hingga akhirnya dia memilih menguburkannya di sebuah hutan. Tetap dengan protokol kesehatan yang ketat dan usaha keras melindungi diri.
Hal ini pun berkaca pada proses pembuatan filmnya yang diupayakan minim orang. Lima film tersebut digarap tak melibatkan banyak artis. Kru di lapangan pun terbatas. ”Konsep kami ini tetap shooting langsung, kan, karena itu aku pilih tempat terbuka yang lega,” ujar Sidharta Tata.
Kini sudah Tahun Baru, karantina masih akan berlanjut. Bertahan dan tetap waras bukan hal yang mudah, tetapi nyatanya 2020 mampu dilewati.