Lebih dari 50 tahun persahabatan keduanya terjalin, sudah seperti saudara kandung. Stigma yang menempel sebagai bekas tahanan politik menyulitkan keduanya. Inilah cerita dalam film ”You and I”.
Oleh
Fransisca Romana Ninik
·5 menit baca
Kegetiran hidup menyatukan dua perempuan dalam persahabatan paling manis. Kaminah dan Kusdalini hanya saling memiliki untuk bertahan melewati hari-hari yang tidak berpihak kepada mereka.
Film You and I merekam hari-hari tua keduanya dengan sentuhan-sentuhan yang mengaduk-aduk emosi. Film besutan perdana sutradara Fanny Chotimah ini meraih Piala Citra untuk kategori film dokumenter panjang terbaik dalam Festival Film Indonesia (FFI) 2020. Sebelumnya, You and I juga meraih The Asian Perspective Award, penghargaan tertinggi di ajang Asian Competition of the 12th DMZ International Documentary Film Festival di Korea Selatan.
You and I berkisah tentang Kaminah (Mbah Kam) dan Kusdalini (Mbah Kus) yang bertemu pertama kali di penjara tahun 1965. Prolog dalam film menyebutkan, usia mereka ketika itu 17 dan 21 tahun. Foto-foto hitam putih menampilkan sosok keduanya kala remaja.
Kusdalini dipenjara selama dua tahun, sedangkan Kaminah tujuh tahun. Dari cerita Kaminah, ketika Kusdalini dibebaskan lebih dulu, dia pingsan. Kus masih setia menengok Kaminah di penjara sampai-sampai ditanyai petugas penjara apakah Kus ingin masuk penjara lagi.
Lebih dari 50 tahun persahabatan keduanya terjalin, sudah seperti saudara kandung. Dari penuturan Fanny, Kaminah ditolak oleh keluarganya, lalu tinggal bersama Kusdalini. Stigma yang menempel sebagai bekas tahanan politik menyulitkan keduanya untuk melanjutkan hidup layaknya orang lain. Tak menikah, tak bisa sekolah, tak bisa bekerja, mereka berjualan soto.
Di hari-hari tuanya, mereka berjualan kerupuk. Tinggal di rumah sederhana dengan atap bocor di sana-sini dan nyaris roboh tak membuat Kaminah dan Kusdalini menyerah. Kebaikan tetangga sekitar menguatkan mereka.
Mbah Kam dengan setia merawat Mbah Kus yang mengalami demensia dan pendengarannya berkurang. Tak hanya fisik, Mbah Kam juga setia merawat ingatan Mbah Kus tentang teman-teman mereka dari foto-foto, dari tayangan di televisi, dan dari pertemuan-pertemuan dengan komunitas penyintas tragedi 1965. Masih ada potret lawas Presiden pertama Republik Indonesia Soekarno yang, kata Mbah Kam, sampai kapan pun akan terus dia ikuti ajarannya.
Memori
Meskipun berlatar peristiwa 1965, Fanny tidak mengulik peristiwa itu dalam You and I. Bahkan, latar belakang kedua sosok tersebut hingga membuat mereka dipenjara pun tidak dieksplorasi.
”Sebenarnya awalnya cerita lebih condong tentang memori, berangkat dari demensia Mbah Kus. Tetapi ternyata, kisah persahabatan keduanya lebih kuat,” ujar Fanny yang tinggal satu kelurahan dengan kedua tokoh filmnya di Laweyan, Solo, Jawa Tengah.
Fanny berkenalan dengan Mbah Kus dan Mbah Kam lewat proyek Museum Rekoleksi Ingatan yang dibuat produser film ini, yaitu Yulia Evina Bhara, Amerta Kusuma, dan Tazia Teresa, tahun 2016. Salah satu bentuk proyek itu adalah buku Sang Pemenang Kehidupan karya fotografer Adrian Mulya dan penulis Lilik HS. Mbah Kam dan Mbah Kus merupakan salah satu profil yang diangkat dalam buku tersebut.
Tertarik, Fanny mengunjungi keduanya dan langsung jatuh cinta pada kehangatan dua nenek tersebut. Dari situ, dia merasa ingin membagikan kisah kedua nenek ini kepada lebih banyak orang. ”Grogi, sih, karena aku enggak pernah jadi sutradara sebelumnya. Tetapi, kalau mau menyerahkan ke orang lain, prosesnya tentu bakal lama lagi, chemistry-nya belum tentu sama. Jadi, ya, harus aku,” katanya.
Prosesnya tak mudah, lanjut Fanny. Dia banyak melakukan pendekatan agar Mbah Kus dan Mbah Kam terbiasa dengan kehadiran kamera dan nyaman untuk bercerita di depannya.
Kesabaran Fanny berbuah. Rekaman kehidupan sehari-hari Mbah Kus dan Mbah Kam begitu natural, dari mencuci baju, membungkusi kerupuk, makan, minum obat, menyapa tetangga, hingga naik angkutan umum ke tempat pertemuan komunitas penyintas. Detail gambar, ekspresi, dan percakapan keduanya membangun kisah tentang sebuah kehidupan yang tak mudah, tetapi tak juga membuat menyerah.
Dalam perjalanan pembuatan film, ada hal-hal yang tidak disiapkan Fanny. ”Dokumenter, kan, katanya begitu. Sutradaranya Tuhan. Jadi, aku menyesuaikan. Dinamis saja,” ucapnya sambil tertawa.
Meskipun ada kedekatan emosional dengan tokohnya, Fanny bisa mengambil jarak. Saat pengambilan gambar, kata Fanny, dia tak jarang ikut meneteskan air mata meski harus sering disembunyikannya.
Tangisan Mbah Kam saat bertutur tentang masa lalu, ditingkahi humor kecil tentang ingatan Mbah Kus yang luntur. Percakapan tentang si teman ini atau teman itu yang masih hidup atau sudah mati, selalu mengundang senyum karena Mbah Kus selalu lupa.
Fanny membungkus puncak ceritanya juga dengan menarik, yakni saat Mbah Kam merawat Mbah Kus yang terus menurun kesehatannya. Meskipun tahu bakal seperti apa akhirnya, Fanny dengan sabar ”menuntun” penonton untuk tidak tergesa-gesa sampai ke sana. Hasilnya adalah rasa tercekat di tenggorokan dan lelehan perlahan air mata di pipi.
Takaran tepat
Meskipun mengaduk-aduk emosi, Fanny tidak membuat film tersebut mengharu biru setiap saat. Tidak terlalu banyak drama yang membuat penonton berurai air mata. Bukan melulu kesedihan yang hendak ditampilkan, melainkan justru kekuatan pribadi dan hubungan tokohnya. Emosi yang hadir pun tepat takarannya.
”Aku menghargai Mbah Kus dan Mbah Kam, jadi enggak mau eksploitatif juga. Mereka memberi akses besar ke ruang privat mereka, tetapi aku pilih secara etika yang mana yang bisa ditampilkan,” tutur Fanny.
Sebab, yang paling mendasar dari film You and I sebenarnya adalah tentang kemanusiaan. Bahwa stigma yang ditempelkan satu manusia pada manusia lain sungguh bisa membawa penderitaan tak terperi. Film ini menjadi pengingat bahwa banyak orang diperlakukan tidak adil akibat stigma tersebut.
Ketika menerima penghargaan atas filmnya, perasaan Fanny bercampur aduk. ”Di satu sisi aku senang, karya ini dihargai. Di sisi lain, aku sedih, enggak bisa berbagi kebahagiaan dengan mereka (Mbah Kam dan Mbah Kus),” ujarnya.
Meskipun demikian, You and I bukan semata tentang Mbah Kam dan Mbah Kus. Ada banyak penyintas tragedi 1965, yang barangkali juga senasib dengan keduanya. Ini untuk mereka juga, imbuh Fanny.