Gliter di Tangan Entang Wiharso
Seniman Entang Wiharso (53) di Rhode Island, Amerika Serikat, akhir-akhir ini menciptakan makin banyak karya lukisan dengan memanfaatkkan bahan kerlap-kerlip gliter.
Seniman Entang Wiharso (53) di Rhode Island, Amerika Serikat, akhir-akhir ini menciptakan makin banyak karya lukisan dengan memanfaatkkan bahan kerlap-kerlip gliter. Di tangan Entang, gliter itu metafora pelantang suara meneriakkan pada dunia agar mewaspadai sayap-sayap kanan politik yang kini berkembang.
Gliter yang berkilauan ini adalah partikel kecil berbahan plastik. Ada unsur aluminium yang mampu menyerap warna-warni hingga berkilau metalik.
Gliter banyak digunakan untuk kosmetik. Banyak juga untuk kerajinan, pelapis mainan, kostum pakaian, dan sebagainya. Namun, Entang menggunakannya sebagai media lukisan dicampurkan cat akriliks dengan sederet kisah.
Awal mulanya, ketika Entang residensi di Melbourne, Australia, pada 2016. Ia mengikuti berita penetapan Donald Trump sebagai presiden terpilih Amerika Serikat (AS), mengalahkan pesaingnya, Hillary Clinton.
Entang memperhatikan situasi politik yang terjadi. Kubu yang kalah melancarkan protes. ”Kubu yang menang, tidak memedulikan protes itu, justru merayakan kemenangan dengan glittery, penuh kemilau,” ujar Entang.
Di Melbourne inilah Entang kemudian berjumpa dengan gliter di suatu toko kerajinan. Ia tertarik dan membelinya, lalu mengggunakan untuk melukis.
Penggunaan gliter terus berlanjut hingga pada 2020 ini menemukan makna tersendiri. Seperti di dalam karya lukisan Entang berjudul, ”Camouflage Self Portrait” (Kamuflase Potret Diri, 2020), dengan media gliter dan cat akriliks di atas kanvas 60 x 50 sentimeter. Entang menyingkap kamuflase atau sesuatu yang ambigu.
Titik-titik gliter beraneka warna tersebar di bidang kanvas. Lukisan potret diri Entang pun memiliki nuansa. Dengan sudut pandang berbeda, citra lukisan tampak beda.
Sumber cahaya turut menentukan citra lukisan. Inilah yang kemudian dimaksud Entang, dengan gliter akan ada kamuflase di dalam lukisan. Di dalam keseharian, kamuflase itu menyamarkan. Tidak jarang, kamuflase mengandung keculasan yang dirahasiakan demi mencapai tujuan tertentu.
Selama pandemi Covid-19, Entang menemui makna media gliter yang makin tajam. Gliter jadi metafora spektrum politik kelompok-kelompok sayap kanan yang kini tidak hanya muncul di Amerika Serikat, juga negara-negara lain di dunia, termasuk Indonesia.
Entang melihat ada kamuflase di situ. Akan tetapi, Entang melihat semua bertitik tolak dari kepentingan ekonomi.
Gerakan politik
Entang sempat hadir sebagai narasumber Dialog dan Presentasi Virtual ”Promising Land Chapter 2” pada 6 Desember 2020 sekitar pukul 22.00 waktu Rhode Island atau 7 Desember 2020 waktu Jakarta. Diskusi diselenggarakan Galeri Can’s Jakarta, yang dipandu kurator Bambang Asrini Wijanarko.
Diskusi ini bertema Promising Land atau Tanah yang Menjanjikan. Sebelumnya, ini pernah menjadi tema pameran Entang di New York, Amerika Serikat, pada 2017.
Mengenai gliter dan sayap-sayap kanan politik dinyatakan Entang dalam wawancara dengan Kompas setelah diskusi itu. ”Dengan gliter, mata kita begitu mudah ditipu. Mata kita tidak melihat sumber cahaya yang membuat gliter itu berkilau,” ujar Entang.
Lantas, Entang bercerita tentang fenomena politik pasca-terpilihnya Joe Bidden sebagai Presiden ke-46 Amerika Serikat (AS). Di sisi lain ada sekelompok masyarakat AS yang menolak keputusan itu. Mereka yang menolak keputusan politik itu sebagai kelompok sayap kanan yang diwakili kelompok-kelompok agama dan konservatisme.
”Gerakan politik sayap kanan di AS, bagi saya terasa lebih mencekam. Karena warga sipil di sini bisa secara legal memiliki senjata api,” kata Entang. Peringatan Entang ini juga relevan dengan situasi Indonesia sekarang.
Candi harapan
Entang lahir di Tegal, Jawa Tengah, 19 Agustus 1967. Ia lulus dari Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta pada 1994. Pada 1997, Entang menikahi Christine Cocca, warga Amerika Serikat, yang menekuni bidang sejarah seni. Hingga kini mereka menetap di antara Yogyakarta dan Rhode Island.
Sebelum masa pandemi sampai sekarang mereka berada di Rhode Island. Kurator Bambang Asrini menyebutkan, Entang pada periode Juni 2019-Juni 2020 juga harus mengerjakan riset untuk sebuah karya seni dengan dana hibah program kebersamaan (fellowship) dari John Simon Guggenheim Memorial Foundation.
”Ini penghargaan luar biasa. Entang tidak hanya mewakili Indonesia, tetapi juga Asia, untuk mendapat penghargaan fellowship dari Guggenheim itu,” ujar Bambang.
Entang mengatakan, program kebersamaan Guggenheim sebenarnya ditujukan untuk banyak profesi di berbagai bidang. Ia mengajukan proposal riset sebagai alat berkomunikasi dengan Amerika Serikat, sekaligus keinginannya untuk berkontribusi bagi negara yang menjadi tempat tinggal kedua setelah Indonesia.
Entang meriset lanskap AS dengan sejarahnya. Ia mendatangi museum-museum serta monumen yang ada di sejumlah negara bagian AS. Hal yang ditemui banyak berorientasi pada sejarah kemanusiaan, seperti rasisme dan perbudakan. ”Saya sudah memulai riset, tetapi belum sampai pada pembuatan karya,” katanya
Entang
Dari risetnya itu, Entang berencana memproduksi karya yang terinspirasi dari karya sebelumnya, ”Temple of Hope” (Candi Harapan). Di dalam diskusi virtual, miniatur ”Temple of Hope” itu disampaikan.
Struktur bangunannya berbentuk silang atau tanda plus menggunakan material lembar aluminium. Bangunan itu membentuk lorong empat penjuru dengan panjang masing-masing lorong direncanakan 40 meter sebagai Tunnel of Light atau Lorong Cahaya.
Dinding bangunan dari aluminium itu memuat relief, layaknya candi-candi yang ada di Jawa. Relief-relief itu nantinya menceritakan tentang lanskap Amerika Serikat dengan sejarahnya yang tidak jauh dari persoalan rasisme dan perbudakan.
Entang mengembangkan karya relief dengan bahan lembar aluminium untuk Temple of Hope sejak 2009. Ini mengingatkan bentuk pahatan yang ada di candi-candi di Jawa berisikan narasi tradisional Hindu Jawa.
Pada 2018, Entang pernah memamerkan karya ”Temple of Hope: Door to Nirvana” di Galeri Nasional Australia. Pintu masuknya sesuai arah mata angina utara, selatan, timur, dan barat.
Pada dinding dan atap metal terpampang teks yang merujuk tema tradisional dan mitos tokoh-tokoh di Indonesia. Kemudian narasi itu disandingkan dengan motif budaya populer keseharian dan isu-isu sosial politik kontemporer.
”Temple of Hope: Door to Nirvana” di Australia juga terinspirasi dari banyaknya pengungsi peperangan yang datang ke Australia dari belahan dunia lain, terutama Timur Tengah. Entang menyuguhkan refleksi terhadap intoleransi yang makin mengglobal.
Karya ”Temple of Hope” pada 2018 juga pernah dipamerkan di Yogyakarta. Ada pengalaman menarik di dalam proses produksi karya itu.
”Saya menjumpai seorang pengungsi dari Afghanistan sebagai mahasiswa ISI Yogyakarta, yang memiliki penilaian Indonesia pun sudah ada yang radikal dan intoleran seperti di negaranya,” ujar Entang.
Ketika itu, Entang pun meminta mahasiswa pengungsi Afghanistan itu turut menuliskan harapannya di dinding ”Temple of Hope”. Mahasiswa Afghanistan itu menuliskan, agar Indonesia kembali kepada identitas dan jati dirinya lagi.