Di Yogyakarta dan Solo, juga secara umum di Indonesia, ”world music” sangat dinamis dengan pertumbuhan kelompok yang makin banyak. Begitu pula forum-forum untuk mengekspresikannya.
Oleh
Dwi As Setianingsih
·5 menit baca
Di tengah pandemi Covid-19, Indonesian World Music Series 2020-Sound of Archipelago digelar secara virtual di Bandung, akhir November lalu. Tak sekadar menyuguhkan karya musik etnik aktual dan inovatif yang mengutamakan kekuatan lokal genius Nusantara, festival ini juga menunjukkan betapa ragam musik Nusantara bisa terus dieksplorasi.
Pada festival yang baru pertama kali digelar ini, tampil 10 kelompok musik dari 9 wilayah di Nusantara. Mereka adalah Kelompok Musik Timur Jauh dari Pulau Ternate, Kelompok Bunyi Zaman dari Makassar, Sulawesi Selatan, Kelompok Musik Olah Gubang dari Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Ayu Laksmi dan Svara Semesta dari Pulau Bali.
Tampil pula Kelompok Tukang Tabuh dari Jakarta, Kelompok Musik Biramanata dari Bandung, KaGaNga Art Musik dari Bengkulu, Kelompok Musik Bellacoustic dari Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Kelompok Riau Rhythm dari Pekanbaru, Riau, dan Kelompok Musik SUN dari Bandung.
Seluruhnya tampil mengusung karya musik berbasis musik tradisional dari wilayah masing-masing, umumnya dikemas dengan sentuhan kekinian dari sisi aransemen. Tidak mengherankan apabila terjadi perkawinan unik antara musik tradisional yang dihasilkan dari alat-alat musik ’tradisional’, seperti kecapi, sape’, talempong, suling, dan kendang, dengan alat musik ’modern’, seperti gitar, bas, drum, juga kibor.
Menyimak perkawinan musik tradisional dan modern seperti itu ibarat membuka khazanah baru dunia musik yang sangat kaya dan menantang untuk dinikmati.
”Jali-Jali”, salah satu lagu tradisional Betawi yang ditampilkan Kelompok Tukang Tabuh dari Jakarta, misalnya, tersimak menjadi semakin kaya bunyi. Kesan modern terasa kental meningkahi nuansa tradisional Betawi. Begitu juga dengan ”Persembahan” yang ditampilkan oleh KaGaNga Art Musik dari Bengkulu.
Meski begitu, mereka tidak melulu menyuguhkan karya musik ’standar’ hasil perkawinan musik tradisional dengan musik modern, adakalanya juga eksperimental. Contohnya, penampilan Kelompok Musik SUN dari Bandung yang lebih mengedepankan tawaran-tawaran bunyi musik, baik tonal maupun atonal, yang disajikan secara spontan.
Instrumen yang digunakan adalah kendrum (kendang drum), set kendang Sunda dengan penambahan instrumen perkusi lain yang telah dimutakhirkan, serta kacapi (kecapi) Sunda. Dalam komposisi berjudul ”Prunapang”, paduan antara kendrum dan kecapi tersimak seolah tak serasi di gendang telinga, namun tetap harmonis.
Nada-nada yang dimainkan melompat-lompat ritmis, sekaligus dinamis, membawa pada nuansa musik yang terasa magis. Suara vokal yang dibawakan seperti orang melakukan beatbox, menirukan bunyi-bunyian ritmis dan alat musik, membuat musik yang mereka suguhkan makin terasa berisi.
Biramanata dari Bandung juga menyuguhkan karya instrumental yang tersimak imajinatif dengan karya berjudul ”Asa” melalui paduan berbagai instrumen musik seperti flute, sape’, kendang, gitar, dan bas. Sesekali muncul isian vokal yang lebih berupa lengkingan dan senandung tanpa lirik, menambah syahdu komposisi yang disuguhkan.
Nilai luhur
Erlan Wardana, inisiator Etnic Creative Base Bandung mewakili penyelenggara IWMS 2020, mengungkapkan, perhelatan IWMS 2020 digagas sebagai sebuah perhelatan musik tradisi untuk menunjukkan bahwa musik tradisi di setiap wilayah di Nusantara terus berkembang. Perkembangan itu selayaknya dibarengi dengan upaya untuk mengangkat nilai luhur yang dimiliki musik tradisional.
Sebagai sebuah ajang yang baru pertama kali digelar, apa yang ditampilkan di IWMS 2020, seperti diungkapkan salah seorang inisiator IWMS 2020, Ayu Laksmi, diakui belum mencakup keseluruhan kelompok musik yang ada di Nusantara. Masih diperlukan upaya terus-menerus dan gotong royong untuk membuat sebuah festival yang berjejaring.
Hal ini penting, karena, menurut Ayu, world music atau musik yang berbasis tradisi merupakan harta karun yang bisa menjadi masa depan Indonesia. Tidak ada negara di belahan dunia lain yang memiliki kekayaan budaya dan tradisi seperti Indonesia.
”Dengan festival ini, kita mengabarkan, setidaknya kita punya satu pintu untuk keluar dan satu pintu untuk dapat melihat potensi kita, terutama musik. Musik bisa menjadi destinasi untuk Indonesia. Orang ke Indonesia tidak hanya melihat keindahan alam, tapi juga keragaman musik Indonesia,” papar Ayu. Selain Ayu, IWMS 2020 juga diinisiasi oleh Amar Afrizal dari Jakarta dan Aristofani dari Pekanbaru.
Musik bisa menjadi destinasi untuk Indonesia. Orang ke Indonesia tidak hanya melihat keindahan alam, tapi juga keragaman musik Indonesia.
Di Jawa Barat, misalnya, tak hanya sumber musiknya saja yang berlimpah, tetapi juga para pelakunya. Ada yang berbasis ritmik, metal, bambu, juga membran.
”Apa yang diambil, dikerjakan, dan diolah menjadi sumber musikal untuk berkreasi dan untuk membuat sebuah karya yang harus diperjuangkan terus karena karya ini akan jadi identitas buat bangsa ini, yang menjadi tolok ukur, nilai jual, bukan komersial saja, tapi nilai jual kebudayaan, peradaban, nilai tawar kita pada masyarakat luar, bahwa kita memiliki source yang sangat banyak,” kata Ketua Komite Musik Dewan Kesenian Kota Bandung Djaelani.
Hal serupa diungkapkan oleh Arita Bagja dari Biramanata. Meski saat ini mereka kesulitan untuk mencari panggung, salah satunya karena pandemi, kreativitas mereka tidak berhenti.
Ismet Ruchimat yang mendirikan Sambasunda melihat perkembangan world music di Indonesia saat ini luar biasa pesat. Banyak kelompok sudah berkiprah di luar negeri. Sangat berbeda dengan kondisinya ketika dia mendirikan Sambasunda di tahun 2000-an. ”Tapi siapa yang memperhitungkan,” lontarnya.
Pengamat musik Joko S Gombloh pun mengungkapkan hal serupa. Di Yogyakarta dan Solo, juga secara umum di Indonesia, world music sangat dinamis dengan pertumbuhan kelompok yang makin banyak. Begitu pula forum-forum untuk mengekspresikannya, meski jarang yang secara eksplisit disebut sebagai forum world music.
Terkait perhelatan IWMS 2020, Joko memberi catatan tentang adanya kecenderungan menuju arus utama yang kini menjadi pola seragam. ”Ini yang mungkin harus kita kritisi bersama karena kalau kita kembali ke akar world music, mestinya ekspresi yang ditampilkan harus pelangi (warna-warni) dengan karakter lokalnya seperti apa,” kata Gombloh.