Hujan Salah Musim
Istilah "udan salah mongso" diambil dari pengungkapan orang-orang di pedesaan di Jawa. Ini biasa diutarakan ketika menyikapi perubahan musim tanam atau panen di tengah musim yang tidak menentu.
Karya seni rupa melahirkan banyak tafsir kata. Begitu pula pilihan kata mampu menyulut beraneka gagasan seni rupa. Ini terjadi ketika diberikan pilihan tema, ”Udan Salah Mongso”, yang bermakna hujan salah musim, melahirkan aneka gagasan seni rupa yang diwujudkan menjadi mural di kampung-kampung kota Semarang, Jawa Tengah.
Benedicta Alodia Yap (25) merespons hujan salah musim dengan membuat mural seorang perempuan berambut panjang tergerai, menghadap ke samping kiri. Di telinganya tersemat sumping, hiasan telinga menyerupai sayap burung mengepak.
Latar belakang gadis berupa jilatan api berkobar-kobar. Di belakang api itu ada sedikit latar goresan warna hitam. Alodia memberinya judul, ”Bayangan Gelap”. Seperti dilihat di tempat tinggalnya di Salatiga, Jawa Tengah, kegelapan bakal terjadi ketika air sungai makin kotor dan hitam. Tetumbuhan di sekitar sungai itu pun mati.
Alodia menafsir tema ”Udan Salah Mongso” sebagai ulah manusia yang berdampak pada rusaknya alam. Pencemaran tidak hanya mengancam kehidupan biota sungai, dan Alodia mengingatkan itu bakal mengancam kehidupan manusia juga. Manusia sedari dini harus memperbaikinya.
Di dalam muralnya, manusia digambarkan sebagai wanita Jawa berambut panjang yang tidak lagi bergelung, tetapi tergerai lepas yang siap bergerak dan bekerja. Alodia menggambarkan transformasi menuju modernitas untuk sigap memperbaiki lingkungan meskipun modernitas itu sendiri yang membawa risiko kerusakan lingkungan.
”Kerusakan lingkungan sudah lama terjadi. Kita sering merasa tidak berdaya, tidak bisa berkontribusi apa-apa,” kata Alodia, Jumat (4/12/2020), ketika dihubungi di Salatiga.
Perupa muda lulusan Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga ini terlibat dalam kegiatan mural di salah satu kampung, yaitu Petemesan. Muralnya ada di pintu besar sebuah gudang industri.
Para perupa lain membuat mural yang tersebar di kampung Bandarharjo, Bustaman, Jatiwayang–Ngemplak Simongan, Kemijen, Randusari–Nongkosawit, Sendangguwo, dan Subali–Krapyak.
Kolektif Hysteria Semarang menghimpun beberapa perupa dari sejumlah kota. Karya-karya mural itu dihadirkan di dalam Pameran ”Udan Salah Mongso” (Rain in the Wrong Season), sebagai program pameran keliling Galeri Nasional Indonesia (GNI) ke-21. Pameran ini diselenggarakan secara daring dan dibuka pada Selasa (1/12/2020).
Serat Jayabaya
Perupa asal Bondowoso, Jawa Timur, Abqoriyin Hizan (29), yang menetap di kota Malang, turut dalam pameran itu. Ari, sapaan akrabnya, membuat mural di kampung Subali–Krapyak dengan karya ”Pratondo” (Pertanda), yang mengalihwahanakan teks kuno Serat Jayabaya.
Ari memetik penggalan teks Serat Jayabaya berbahasa Jawa yang berbunyi, ”Akeh udan salah mongso, akeh prawan tuwo, akeh rondo meteng, akeh bayi tanpo bapak. Akeh agomo akeh sing nantang, kamanungsan akeh sing ilang….”
Teks itu kira-kira bermakna banyaknya hujan salah musim, banyak perawan tua, banyak janda hamil, banyak bayi tanpa bapak. Kemudian banyak yang menantang agama, dan nilai kemanusiaan banyak yang hilang.
Alih wahana teks itu diwujudkan sebagai figur seorang perempuan di tengah hujan dan hampir tenggelam. Tangan kanannya memegang payung yang terbuka, tetapi terbalik. Rintik hujan masih mengguyur. Kepala Batara Kala tanpa rahang bawah ada di atasnya.
”Saya menggambarkan figur perempuan itu sebagai sosok ratu adil seperti disebutkan di dalam Serat Jayabaya,” ujar Ari.
Kehadiran ratu adil sebuah konsepsi penantian sosok pemimpin yang mampu mengubah keadaan buruk menjadi lebih baik. Ari melukiskan sosok ratu adil itu sedang memegang payung terbalik dan mulai tergenang air hujan.
Itulah semiotika kerumitan yang bakal ditemui sang ratu adil ketika ingin mengubah keadaan. Lingkungan yang rusak, tidak mudah untuk dipulihkan. Seperti hutan gundul akan mempercepat erosi atau pengikisan tanah subur hingga menghilang di permukaannya. Ketika ingin menghutankan kembali, tantangannya menjadi berat meski masih ada harapan.
Beberapa warga kampung melihat harapan baik. Sukatno (49), warga kampung Kemijen, Kecamatan Semarang Timur, mengungkapkan, kehadiran para perupa membangkitkan kesadaran identitas dan sejarah kampung.
Mural di kampung Kemijen mengingatkan kembali kampung yang dikenal sebagai titik pertama pengembangan kereta api di masa kolonial Hindia Belanda tahun 1868. Di kampung itu pernah berdiri Stasiun Samarang, stasiun kereta api pertama di Indonesia.
Bangunannya kini berada di bawah permukaan tanah. Beberapa penanda bangunan stasiun bagian atas hingga kini masih terlihat di antara hunian padat warga perkampungan tersebut. Akan tetapi, ini nyaris tidak ada yang memedulikannya.
”Bangunannya sudah ada di bawah permukaan tanah antara 8 hingga 10 meter,” ujar Sukatno.
Para perupa membuat mural kereta api kuno untuk mengingatkan sejarah itu. Selain itu, Kemijen juga dikenal sebagai wilayah pesisir yang kerap dilanda limpasan air laut pasang atau rob. Para perupa membuat mural tentang pompa air.
Pompa air dilukiskan memiliki kaki seperti hewan anjing. Ini mengisyaratkan keberadaan pompa air sebagai anjing penjaga yang harus waspada ketika rob melanda kampung tanpa permisi.
Rohmad (50), warga kampung Randusari, Kelurahan Nongkosawit, Kecamatan Gunung Pati, menceritakan karya mural di kampungnya memberi pengetahuan sejarah kampung. Ada lukisan mural bedug Sidogori.
”Itu bedug kuno yang dibuat dari kayu sidogori di masjid kampung kami. Kayu sidogori berukuran besar sudah cukup langka. Ada riwayat melegenda di kampung ini,” kata Rohmad.
Konon, sidogori berukuran besar. Namun, pohon itu dikencingi seekor anjing dan tidak bisa lagi tumbuh menjadi besar. Di balik cerita ini, Rohmad menyadari perubahan lingkungan memungkinkan perubahan jenis-jenis tumbuhan tertentu sulit tumbuh menjadi besar. Udan salah mongso makin memperjelas perubahan itu.
Antroposentrisme
Pameran ini merespons masalah kekinian terkait dampak perubahan ekosistem bagi kehidupan masyarakat. Udan salah mongso menunjukkan pekatnya antroposentrisme, paham yang menganggap manusia sebagai pusat keadaban, sehingga kerusakan lingkungan akibat ulah manusia ditimpakan kepada keadaan alam itu sendiri.
”Pameran ini ingin mengkritisi antroposentrisme. Perubahan lanskap mengubah ekosistem lingkungan menjadi makin rusak,” ujar kurator pameran Ahmad Khairudin, akrab disapa Adin, Direktur Kolektif Hysteria, yang juga dosen Antroplogi Universitas Diponegoro (Undip) Semarang.
Istilah ”udan salah mongso” diambil dari pengungkapan orang-orang di pedesaan di Jawa. Ini biasa diutarakan ketika menyikapi perubahan musim tanam atau panen di tengah musim yang tidak menentu. Fenomena ini sesungguhnya terjadi sebagai dampak perubahan lanskap global yang menimbulkan perubahan iklim.
Alih fungsi hutan untuk perkebunan monokultur. Eksploitasi tambang menghancurkan ekosistem hutan. Pencemaran air, tanah, dan udara oleh industri beserta produk-produknya yang tidak ramah lingkungan. Semua tak terelakkan.
Adin mengutip istilah ”anthropocene” sebagai pembabakan baru manusia mengubah struktur geologi Bumi yang berdampak pada iklim dan lingkungan. Ungkapan ini dinyatakan Paul Josef Crutzen, ahli klimatologi berkebangsaan Belanda, dalam International Geosphere Biosphere Program (IGBP) di Cuernavaca, Meksiko, Februari 2000.
Pandemi Covid-19 diyakini sebagai migrasi virus dari hewan ke manusia karena ekosistem hidup mereka terganggu. Ini salah satu fenomena anthropocene.
”Manusia diserang balik oleh perilaku aniaya mereka sendiri,” ujar Adin.
Jauh sebelum kepanikan Covid-19 melanda, banyak pemikiran untuk mencari pendekatan baru. Antroposentrisme dikaji ulang. Animisme dan dinamisme dilihat lagi sebagai upaya penghargaan terhadap alam.
Kampung dengan beragam ritual masih banyak yang melanggengkan tradisi penghargaan terhadap alam. Akan tetapi, tradisi terjebak pada ritus yang diulang-ulang tanpa dimaknai konteks kekiniannya.